Desaku, Sebuah Intermezo
Tanggal: 8 September 2007
Judul Asli:
CERITA FOTO II: Desaku, Sebuah Intermezo
Oleh Reef – AustraliaSumber: http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=43077§ion=92 (sudah putus)
Sweet Zeve and para pembaca koki dimanapun anda berada, salam manis dari Oz.
Desa kelahiranku terletak di salah satu ujung kota Salatiga bernama Sraten, kecamatan Tuntang, adalah merupakan desa yang boleh dikata modern. Memasuki wilayah desa Sraten ditandai dengan patung icon desa yaitu Gajah yang berdiri gagah menyambut para tamu yang datang ke Sraten. Listrik sudah masuk desa sejak 25 tahun lalu. Segala fasilitas yang dulu hanya terdapat di kota, sekarang sangat mudah dijumpai di desa kelahiranku tersebut.
Sraten adalah desa mungil yang kira-kira terletak cuma 3 kilometer dari wilayah kotamadya Salatiga. Walau letaknya cukup dekat dengan kotamadya Salatiga, namun sebenarnya Desa Sraten masih merupakan wilayah kabupaten Semarang. Kira-kira sepuluh atau limabelas tahun lalu sudah pernah ada usulan desa Sraten masuk kotamdya Salatiga, namun pada saat itu kebanyakan penduduknya masih belum siap. Karena dengan masuknya Sraten menjadi wilayah Salatiga akan banyak sekali mempengaruhi aspek-aspek kehidupan penduduk Sraten.
Saat liburan lalu, kota Salatiga masih terus memperjuangkan desa Sraten untuk menjadi wilayahnya…dan entah sampai kapan desaku tercinta akan rela masuk menjadi wilayah kotamadya Salatiga.
Desa Sraten, saat ini jauh berbeda sekali dari dua dasa warsa lalu, ketika kutinggalkan. Waktu itu, masih banyak warga yang kurang begitu mampu dan masih banyak rumah-rumah sangat sederhana, dan penduduknya masih mempertahan nilai-nilai tradisional., hanya segelintir orang yang memiliki kendaraan roda empat. Namun kini, hampir 60% rumah-rumah lama sudah berganti wajah dan rumah-rumah baru berasitektur modern menjamur dan bukan barang langka jika pada rumah-rumah tersebut juga memiliki mobil. Hampir setiap rumah memiliki Antenna Parabola, kehidupan penduduknya jauh lebih maju dan makmur dibanding ketika aku masih tinggal di sana.
Beberapa wartel bermunculan walau sebagian besar penduduknya sudah memiliki fasilitas jaringan telepon. Toko- toko kelontong dengan jasa menerima foto copy pun sudah ada, sehingga penduduk tak perlu repot-repot pergi ke Salatiga jika ingin menfoto-copy, bahkan ada juga sebuah studio foto mungil tak jauh dari rumah ibunda tercinta. Desa Sraten juga patut dibanggakan karena merupakan kampung halaman mantan Menhankam era Megawati yaitu Almarhum Matori Abdul Djalil dan juga aktivis Komnas Ham MM. Billah, kebetulanh yang pertama disebut, adalah saudara sepupu dan yang kedua adalah saudara kandung si penulis.
Tak sedikit para generasi muda bergelar sarjana dan mengenyam pendidikan tinggi, walau masih cukup banyak pula para ibu-ibu dan bapak-bapak muda yang mengadu nasib baik di negeri Jiran maupun di Timur Tengah. dan karena jasa para pahlawan devisa jugalah tak heran jika jauh di pelosok-pelosok desa banyak sekali rumah-rumah mungil modern yang masih fresh. Desa Sraten juga memiliki 4 komplek perumahan yang mensupply para perantau yang mengadu nasib di kota salatiga maupun penduduk lokal desa Sraten generasi dua atau tiga. Yeesssss…desaku memang makin bersolek dan cantik plus genit…berkembang pesat dan hei..hei…lihat saja para remajanya yang trendi mengikuti fashion, dan pemudanya yang hilir-mudik mengendarai honda Tiger….anak-anak kampus bertebaran dimana-mana…..so tak ada kesan ndeso-nya sama sekali…dan sipa bilang Sraten sama dengan deso kluthuk??? Desaku tercinta telah melahirkan banyak kaum intelektual yang turut andil membangun Indonesia di berbagai bidang. Sraten….you know I am still yours!!
Namun demikian desa Sraten tidak seratus persen berubah wajah, yaitu keramah-tamanhan penduduknya yang murah senyum serta merupakan tight community where everybody knows everybody….si penulis sendiri di kampung sering dipanggil bu Londo….karena aku bersuamikan seorang “londo” yaitu londo Austrlaia…lho…londo bukannya Belanda???….baru tahu kalau ada Belanda Australia…ha..ha..ha.., di Sraten, terdapat banyak lokasi-lokasi yang masih sama dari jaman aku imut-imut sampai terakhir aku berkunjung bulan lalu.
Salah satu lokasi yang masih utuh yang sempat aku cambangi adalah tempat perbatasan antara desa Sraten dan desa sebelahnya, kira-kira 1 kilometer dari rumah ibuku. Perbatasan itu ditandai dengan sebuah jembatan penghubung di atas sungai. (lihat gambar). Walau sungainya tidak sederas dulu, namun air masih mengalir tiada henti dan cukup bening, dan para penduduk sekitar masih memanfaatkan air sungai tersebut untuk MCK.
Sungai yang membatasi desa Sraten dengan desa-desa sekitarnya tersebut tidak mempunyai nama, dulu kita menyebutnya hanya dengan sebutan “kali kidul (sungai sebelah Selatan) atau kali lor (sungai Utara) dan sebagainya, sesuai dengan lokasi. Sungai yang anda saksikan di gambar, yang dirimbuni pohon bambu dan belukar lain yang berkesan wingit dan medeni, memang dulu sangat terkenal dengan kewingitannya (keangkerannya). Dan tampak jelas betapa nggenggirisi nya pemandangan kali tersebut. Suasana yang rada gelap berhubung beratapkan rumpun bambu yang pekat sehingga membentuk canopy menambah kesenyapan sungai itu.
Banyak cerita-cerita horor dan medeni seputar kali tersebut. Dan yang paling popular saat itu adalah yang bernama Gundhul pecingis dan hantu pocong…. maupun kuntilanak tergantung keadaan dan mood si hantu mau jadi apa…..dan yang demen sekali menyatroni penduduk yang penakut.
Konon sudah banyak korban yang terpaksa harus berpapasan dengan si hantu. Benar atau tidaknya aku sendiri tidak bisa mengatakannya, yang jelas waktu aku masih kecil , cukup membuatku lari terbirit-birit, banyak sekali beredar cerita serem-serem …….untung lokasi jembatan itu lumayan jauh dan aku tidak harus melewati jembatan tersebut kemanapun aku hendak pergi. Katanya…. konon, supaya aman, syarat untuk melewati jembatan tanpa diganggu Dhemit dan Djin prepayangan adalah membunyikan klakson bagi yang berkendaraan atau berkulanuwun permisi bagi pejalan kaki. Dan herannya banyak orang yang mematuhi perintah tersebut. Foto-foto yang sedang anda nikmati diambil oleh suamiku ketika kami jalan-jalan pagi.
Sebetulnya beliau mengambil lebih dari lima foto tapi entah kenapa tiga yang pertama yang berobyek kali dilihat dari sebelah kiri, selalu gagal dan hasilnya gelap gulita, tapi begitu camera dibidikkan ke arah sebelah kanan kali, semua lancar..seperti yang anda lihat. Barulah setelah dicoba berkali-kali berhasil juga. Tak jauh dari jembatan di dusun sebelah, terbentang sawah yang luas yang sayangnya pada waktu kami di sana sawah-sawah tersebut baru selesai dipanen, kosong dan garing. Di kaki langit kita bisa menyaksikan jejeran Gunung Telomoyo, Gunung Merbabu, Gunung Ungaran, dan juga bukit Gajah Mungkur yang memang bentuknya seperti gajah dari belakang. Udara segar pagi menyambut kedatangan kami, sejuk mata ini memandang kebesaran alam, dan senyum ramah penduduk sekitar menambah energi positive dalam diri. ….dan betapa indahnya intermezo ini.
*) Reef adalah sebenarnya Mbak Siti Rif’ah Binti Pakde Sa’dullah
Leave a Reply