GTS (Gundul Tidak Sengaja)

Oleh dr. Sigit Setyawadi SpOg

Rambut saya dulu lebat, meskipun dahi sejak kecil sudah lebar. Jaman mahasiswa, rambut saya sebahu, celana cutbray dengan sepatu yang diberi hak tinggi dan paku paku di bawahnya. Semakin keras bunyi sepatu di lantai, perasaan semakin keren.

Seperti anak muda lain saya juga main gitar meskipun tidak terlalu pandai. Jika ada perayaan tujuh belasan di gang tempat saya indekos, Karang Menjangan gang 5 Surabaya, saya juga naik panggung bersama band kampung. Kebetulan saya ditunjuk menjadi ketua muda mudi RW.

Sejak menikah dengan bu Wati, saya tidak pernah potong rambut di salon atau tukang potong. Rambut saya dipotong bu Wati, cukup dirapikan saja. Begitulah terjadi puluhan tahun sampai saya pensiun dini dari PNS dan tidak praktek lagi. Rambut saya tetap dipotong oleh isteri tercinta. Sehingga kalau saya ditanya potongan rambut model apa, pasti tidak bisa menjawab.

Suatu ketika, tepatnya saya lupa, mungkin kisaran 2008. Ketika waktunya potong rambut, gunting rambut made in Germany yang biasa dipakai untuk memotong ketlisut (hilang sampai sekarang). Akhirnya saya terpaksa pergi ke tukang cukur dekat alun alun Batu.

Setelah duduk di kursi, tukang cukur bertanya: “Di cukur bagaimana?”. Saya dengan santai menjawab: “Dipendekkan rata satu senti”. Maksud saya dipotong hanya 1 senti saja yang penting rata, seperti yang biasa dilakukan bu Wati, cuma diratakan saja. Setelah itu saya fokus ke HP lagi.

Tukang cukur mengambil pencukurnya, memulai dari samping kanan kepala saya. Tiba tiba saja “serrrr….”, rambut bagian samping kepala keatas hilang. Saya melihat kepala saya sudah botak di sebelah kanan. Saya terkejut sebentar, kemudian tenang lagi. Saya sudah terlatih untuk berpikir bahwa semua peristiwa di dunia ini biasa saja. Apapun bisa terjadi atas kehendak Allah. Jika sudah terjadi ya terjadi, meskipun kita bergulung gulung keliling alun alun sambil menangis, itu tetap terjadi. Tidak akan berubah.

Jika saya suatu hari nampak marah itu hanya action saja, untuk mendidik orang yang saya marahi. Paling tidak kedepannya supaya ada perubahan. Tetapi kalau rambut terlanjur terpotong habis, tidak ada gunanya marah kepada si tukang cukur. Karena saya tidak memiliki tanggung jawab mengubah dia. Artinya, kalau saya marah itu hanya untuk melampiaskan nafsu amarah saja. Dan itu tidak ada dalam kamus saya.

Selama menjalankan Amway saya sudah dilatih bahwa marah kepada seseorang itu tidak ada gunanya, hasilnya hanya memutuskan tali silaturahmi saja. Di Amway saya dilatih bahwa kondisi seburuk apapun yang terjadi, tanggung jawab terbesar sebenarnya pada diri kita sendiri. Bukan pihak lain. Dalam hal ini, mungkin perintah saya yang salah. Kalimat: “Dipendekkan rata satu senti”, bisa saja memiliki arti dibuat pendek menjadi satu senti, bukan dikurangi satu senti seperti yang saya maksud. Atau mungkin secara tidak sadar saya sudah menginginkan memiliki kepala gundul. Tukang cukur hanya sebagai eksekutor LOA saya. Wallahualam.

Saat pulang, seisi rumah tertawa melihat penampilan baru saya. Seperti biasa, yang paling keras tertawanya adalah Chaca, bungsu saya. Ke dua kakaknya masih merasa sungkan mentertawakan bapaknya.

Setelah terbiasa dengan penampilan gundul seperti itu, akhirnya saya merasa nyaman karena banyak kelebihannya. Selain tidak membutuhkan sisir lagi, menghemat handuk dan juga irit shampo. Shampo Amway (Satinique) yang sudah pekat itu tambah irit lagi. Sebotol bisa baru habis setelah 2 tahun. Selain itu katanya pria gundul lebih seksi karena tidak ketahuan kalau botak.

Itulah sedikit cerita tentang GTS, Gundul Tidak Sengaja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *