Karena Menguap Terlalu Lebar, Saya Gagal ke Makassar
Senin, 8 April 2013, pukul 14:30 WIB, saya sudah berada di atas pesawat Garuda Indonesia jenis Bombardier CRJ-1000 NextGen jurusan Surabaya. Pesawat sudah siap terbang dan petugas sudah selesai memeragakan tuntunan kondisi darurat. Ketika itu, saya menguap. Tapi, inna lillahi wainna ilaihi raji’un, musibah terjadi, mulut saya tidak bisa tertutup (mingkem). Rupanya saya telah menguap terlalu lebar, sehingga rahang saya “terkunci”.
Saya panggil awak pesawat dengan lambaian tangan. Singkatnya, saya diminta turun dari pesawat agar bisa ditangani segera. Permintaan saya untuk ditangani di Surabaya saja tidak dikabulkan. Sebuah penolakan yang kemudian saya syukuri, karena masalah yang saya hadapi ternyata cukup berat.
Oleh kru Garuda, saya diantar ke ruang karantina kesehatan. Sementara, tiket Garuda saya diganti dengan tiket untuk perjalanan Selasa keesokan harinya pada jam penerbangan yang sama.
Karantina merujuk saya ke RSUP di kota. Saya diantar menggunakan ambulans, langsung menuju sebuah paviliun di RS tersebut.
Seusai registrasi, saya dipertemukan dengan seorang dokter spesialis syaraf. Dokter syaraf menyatakan bahwa ini sebenarnya bukan bidangnya. Beliau hanya tahu bahwa penyakit ini hanya memerlukan tindakan segera. Setelah memberi saya suntikan antinflamasi, beliau menyerahkan saya ke dr. Dwi A., seorang dokter spesialis THT.
Dr. Dwi mencoba melakukan tindakan. Dr. Dwi memasukkan kedua ibu jari beliau ke mulut saya, mencoba untuk memperbaiki. Ternyata tidak berhasil. Dr. Dwi lalu menyuruh saya untuk foto rontgen dan menyerahkan hasilnya ke dokter jaga di UGD dan membekali saya suntikan diazepam yang mungkin nanti diperlukan.
Di ruang radiologi, tempat foto rontgen dilakukan, waktu sudah pukul 18.00 lewat. Selesai memotret saya dengan sinar-X, petugas minta ijin untuk salat maghrib. Sudah hampir isya’, katanya.
Hasil rontgen dengan catatan dari dokter radiologi, sebenarnya selesai dalam waktu 1-2 jam, menurut petugas. Tapi, dimungkinkan untuk “pinjam basah”, yakni hanya membawa foto rontgen-nya saja. Dan “foto basah” itulah yang saya bawa ke UGD.
Di UGD ternyata saya harus registrasi lagi. Cukup lama saya menunggu datangnya dokter spesialis THT yang berjaga malam itu. Akhirnya datang juga. Dokter senior itu, yang saya lupa namanya, kemudian mengambil tindakan seperti yang dilakukan dr. Dwi di paviliun. Mengaku tenaganya tidak cukup kuat, dokter senior meminta bantuan kepada dokter-dokter muda. Tak kurang dari tiga dokter muda mencoba dengan melakukan hal yang sama. Meskipun sudah mencoba bermacam-macam posisi, rahang saya tetap tidak dapat dinormalkan.
Di antara beberapa dokter tersebut, ada seorang dokter muda bernama dr. Dion Purba, yang mengatakan bahwa saya harus ditangani dengan relaksasi. Tapi, beberapa dokter lain memilih tindakan bedah untuk mengatasi masalah saya. Karena itu, saya segera dibawa ke ruang tindakan bedah. Setelah menunggu agak lama, dr. Dion Purba menghampiri saya. Dr. Dion meraba-raba belakang rahang kanan saya dan saya menengok ke kiri. Inilah relaksasi yang dijanjikannya beberapa waktu lalu. Ajaib! Alhamdulillah! Tak sampai satu menit, saya bisa mingkem.
Dr. Dion lalu meminta saya untuk buka mulut. “Jangan terlalu lebar!” dr. Dion bilang. Tapi instruksi terlambat. Saya terlanjur buka lebar dan rahang saya kembali terkunci. Dr. Dion kembali melakukan relaksasi.
Setelah dipastikan saya sembuh, saya diperbolehkan pulang dalam kondisi kepala terikat.
Terima kasih untuk para dokter dan perawat yang melayani saya baik yang paviliun maupun yang di UGD. Terima kasih untuk dr. Dion Purba. “Usapan kasih”-nya telah membuat saya sembuh 🙂
Senin malam, pukul 22 lewat, saya sampai rumah.
Selasa (9/4) pagi, saya mendatangi kantor Garuda untuk membatalkan tiket saya ke Makassar PP.
Gara-gara menguap, gagal ke Makassar….
Waduh. Kok bisa begitu ya mas? saya baru tahu ketika membaca ini bahwa rahang bisa tak dapat terkunci.
Semoga lekas sembuh ya mas.
Saya koreksi sedikit, Bang. tepatnya, “…bahwa rahang bisa terkunci” 🙂
Alhamdulillah, saya tidak menderita terlalu lama. Makasih, Bang Andy.
hehehe, haduh mas, njenengan ki lo, kok aku malah jadi ketawa sih bacanya, maaf yaa….
tp dah siap dinas lagi kan?
itu bukan karena kebanyakan dinas ya? wkwkwkwk
Siaap! 🙂