Kilas-Balik Memburu Perjumpaan (15): Menebus Kegagalan Di Pangaduan Kuda
Sumber: fokusjabar, 16-01-2015
Sudah janjian dengan rekan wartawan di Tasikmlaya., untuk bersama meliput pentas musik “Soneta”. Cuaca cerah. Langit membiru. Bersih tanpa sapuan awan. Di pusat perkotaan Tasik, terhampar pemandangan lautan manusia, mengitari kawasan lokasi Alun-alun. Panggung musik “Soneta Grup, terbangun kokoh di depan areal halaman Masjid Agung Tasikmalaya. Gambaran suasana yang jauh berbeda, dibanding waktu Rhoma tampil di Aula Sospol, Jl Pangaduan Kuda, Tasikmalaya.
Bertolak dari rumah rekan Ade Kostaman, selepas Maghrib. Berdua nak becak ke Alun-alun. Langkah cepat diayun menyeruakkan lautan manusia yang menyesak. Saya minta Ade, menembus penjagaan ketat lebih cepat, sebelum rombongan Rhoma Irama tiba. Memang panggung musik itu dgelar di depan Masjid Agung, karena pelaksana show-nya LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an) Kab Tasikmalaya. Pentas dangdut digelar, dalam upaya pengumpulan dana amal, untuk kontingen MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) ke tingkat Jawa Barat.
“Kita harus naik panggung lebih dulu! Cari aman aja…” pinta saya ke Ade. Rekan wartawan ini, segera menghubungi panitia dan penjaga keamanan Harap-harap cemas terlukis dalam sikap rekan Ade Kostaman. “Apa bisa wawancara Rhoma sebelum acara digelar?” bisiknya. Saya bergeleng kepala. Tentu, karena di pentas musik terbuka seperti itu, lebih berpeluang memotret. Untuk program wawancara, harus mencegat langkah Rhoma. Harus janjian wawancara selepas pergelaran.
Di atas panggung, sekitar 20.000 lebih massa penggemar dangdut menyemut. Panitia mengerahkan 390 aparat keamanan dari berbagai kesatuan. Pengidolaan atas Rhoma Irama memang makin menguat. Riuh-rendah tempik sorak penonton memecah, ketika Raja Dangdut dan rombongan memasuki areal pentas. Saya buru-buru menyambut dan menyalami Rhoma, sambil berucap salam, ketika sang “Raja Dangdut” naik ke atas panggung.
“Wilujeng wengi, ‘Kang Haji? Masih ingat saya?” Rhoma Irama memandangi saya. Lalu melonjak dan tertawa. “Oh iya…! Maaf saya kurang fasih bahasa Sunda..” Rhoma tertawa kecil. “Tadi itu apa sih artinya..?” katanya tersipu-sipu. “Wilujeng wengi itu selamat malam….!” balas saya. Rhoma manggut-manggut. “Saya ini memang lahir di sini. Di Tasikmalaya. Tapi sejak kecil, saya hidup di Jakarta. Mana bisa ngomong Sunda…!” tuturnya lagi tersipu-sipu. “Oh iya, Rita sama Tati udah baikan…! Anda ‘kan turut mendamaikan mereka. Malam ini dua-duanya hadir di Tasik…”
Kabar damai dari Rhoma, mengusik kenangan “perang dingin” di antara kembang “Soneta”itu, dalam perjalanan Sumedang – Ciawi, Tasikmalaya. Rhoma bersiap menyandangkan tali gitarnya. Saya mendekat lagi, dan minta waktu wawancara di hotel, seusai pergelarannya. “Boleh..! Datang aja. Nanti saya tunggu…” balasnya melegakan hati. Terdengar kemudian, Rhoma beraksi di pentas musik dendang. Sertamerta tempik sorak massa pun gegap gempita.
Kemasyhuran lagu “Hak Azasi”, “Ingkar”, “Terpaksa”, “Kuraca”, “Begadang II”, “Insya Allah” dan “Narapidana”, berkumandang. Lalu, Tati Hartati berlagu “Jangan Dulu” dan “Kaumku” nyanyian Elvy Sukaesih. Sambutan massa kian menghangat, menjemput penampilan Rita Sugiarto yang memikat dengan dendang “Cup-Cup”, “Percuma” dan “Capek”.. Selepas show, Rhoma Irama menyerahkan bantuan dana senilai Rp 250.000,-(Dua Ratus Limapuluh Ribu Rupiah), Sebelum penonton bubar, saya dan Ade Kostaman bergegas pulang, untuk mengambil dulu Vespa yang disimpan di rumahnya. Memburu janji perjumpaan dengan “Raja Dangdut”***
Yoyo Dasriyo
(Bersambung)
Leave a Reply