Kilas Balik Memburu Perjumpaan (24): Tulisan Rhoma Irama Berharga Historis
Sumber: fokusjabar, 28-01-2015
Film ‘Hanya Tuhan Yang Tahu Sayang’, akan dibintangi Ida Iasha, Ade Irawan, (alm) Jack Maland, serta beberapa pendukung film Rhoma terdahulu. ‘Saya sering bekerja untuk film Rhoma…’ kata A Rachman, yang pernah jadi asisten sutradara film ‘Begadang’, ‘Pengorbanan’ dan ‘Pengabdian’. Tetapi siapapun sutradaranya, film Rhoma tampil dengan identitas tersendiri. ‘Dakwah Islam dan musik Soneta, merupakan identitas saya dalam film’ tegas Rhoma. Bahkan untuk kekuatan identitasnya, pernah merujuk Yatie Octavia di film ‘Kemilau Cinta Di Langit Jingga’.
Aktris pemeran ‘Ani’ yang identik dalam sejumlah film Rhoma, tidak lagi jadi pasangan harmonis Rhoma, setelah gunjingan heboh di balik film ‘Rahasia Perkawinan’ (1979). Rhoma pernah berganti pasangan dengan Camelia Malik, Ida Iasha dan Rica Rachim, yang kemudian jadi isterinya. ‘Saya tidak pernah melarang Rica untuk main film, selama dia sendiri mau’ Rhoma melirik isterinya. Rica Rachim manggut dan tersenyum. Lalu kenapa ‘rujuk’ Rhoma dan ‘Ani’, tidak menuai sukses pasar?
‘Saya kurang tahu…’ balas Rhoma sambil tertawa kecil. Benar ‘rujuk’ itu tak mengantar sukses perwajahan film Rhoma dalam memanjangkan identitas ‘Rhoma’ dan ‘Ani’. Selepas perjumpaan di Paseban, Garut, saya tak pernah tahu tentang rencana produksi film ‘Hanya Tuhan Yang Tahu, Sayang’. Jadi diproduksi, atau berganti judul? Setahu saya, manakala Rhoma Irama lepas dari parpol PPP, ‘kran’ pencekalan tulisan saya kembali dibuka. Lega hati saya, saat ‘Suara Karya Minggu’ edisi 4 Juni 1995, memuat pemberitaan human interes tentang Rhoma Irama.
Kapan lagi bisa membangun perjumpaan dan kedekatan dengan Rhoma Irama? Tak ada jawaban pasti. Mungkin, sama dengan rencana judul filmnya. ‘Hanya Tuhan yang tahu, sayang…’ Sebenarnya banyak peluang perjumpaan, yang terlewatkan kamera. Bukan hanya dengan Rhoma, sederet artis lain pun terpaksa berlalu dari kebutuhan dokumentasi. Namun saya bersyukur, karena masih menyimpan foto momentum penting dalam mengayuh profesi. Foto yang merekam pertamakali saya menjumpai artis.
Sedikit orang tahu, jika (alm) Ellya M Haris, terbingkai sebagai artis pertama yang saya wawancarai. Itupun, sebelum saya berpangkat wartawan. Saat itu masih membantu keagenan koran HU ‘Suara Karya’ di Tasikmalaya. Namun panggilan naluri memburu artis membara, saat terkabar Ellya menggelar show di Alun-alun Kecamatan Rajapolah, Tasikmalaya (19 Agustus 1972). Saya minta bantuan rekan Rosmajid yang pernah menggeluti dunia fotografer, untuk bisa menemui penyanyi dangdut papan atas waktu itu. Dari kampung Sayuran, berdua naik motor Honda tua boncengan.
Dalam keremangan malam dan siraman gerimis, motor pun meluncur membawa angan jumpa artis. Kami menyeruakkan jejalan massa di Alun-alun Rajapolah, hingga bertemu sang artis di ruangan kantor kecamatan. Seketika orang berdesakkan di mulut pintu. Sebagian mengintip di balik jendela..Sempat grogi juga, waktu panitia menyebut saya sebagai wartawan! Saya berusaha mencairkan ketegangan, hingga bisa mengalirkan perbincangan komunikatif. Uniknya, pentas dangdut Ellya pula yang jadi momentum awal karya tulis saya di Majalah ‘Diskorina’ Yogyakarta (akhir 1970).
Saat itu, reputasi Ellya M Haris tengah berkilat dengan sukses lagu ‘Kau Pergi Tanpa Pesan’, ‘Pengertian’ dan ‘Sawen Kamahina’, lalu beraksi di Gedung ‘Sumber Sari’ Garut bersama Band Rhapsodia. Hanya saja, saya belum bisa mencuri waktu untuk wawancara. Nonton pun, menempati kursi paling belakang. Pertemuan terakhir dengan artis legendaris dangdut pendendang lagu ‘Boneka India’ (Ellya Agus) itu, berulang setelah berganti nama Elly Khadam. Pentas dangdutnya menghadirkan bintang tamu aktor film (alm) Dicky Zulkarnen dan Mieke Widjaya (1976) di Bayongbong, Garut.
Kapan dan di mana pun, suara Elly Khadam mengalun dengan lagu ‘Kau Pergi Tanpa Pesan’, proses titian karier saya pun kembali membayang. Harga kenangan itu sama dengan kekuatan historis di balik kepopuleran lagu ‘Begadang’, ‘Ani’ dan ‘Rupiah’ , berlapis ‘Cuma Kamu’, ‘Hitam’ serta ‘Biduan’, yang mengusik ingatan saat kedekatan dengan Rhoma Irama dan Rita Sugiarto. Tulisan tangan Rhoma, 3 September 1975, di Garut, kini memecah tanya tentang saat nama Yodaz mulai dipopulerkan di media cetak.
Sesuai permintaan saya, Rhoma Irama mengalamatkan tulisannya untuk ‘Asri Sagit’: ‘Buat rekan Asri Sagit. Semoga anda dapat menjadi wartawan yang baik, sebagaimana diharapkan oleh bangsa dan negara’ tulis Rhoma dalam kertas notes wawancara saya. Nama ‘Asri Sagi’ pun tergores dari tulisan Elvy Sukaesih. Saya pilih nama Asri Sagit, yang bermakna Dasriyo berbintang Sagitarius! Nama itu sebelum kelahiran nama Yodaz di Majalah ‘Aktuil’ Bandung. Tak penah saya duga, tulisan Oma Irama itu jadi kesaksian momentum sebuah nama, di saat saya bimbang memilih Asri Sagit dan Yodaz. Goresan tangan Raja Dangdut itu bukti otentik, tahun 1975 nama Yodaz masih berproses. Apapun kata orang, tapi bagi saya itu harga momentum historis ***
(Yoyo Dasriyo)
(Bersambung)
Leave a Reply