Kisah Seorang DIEA

Sumber: Anggaran.go.id, 15-06-2004

Oleh Rachmat Sudia

Kalau di negeri Cina pernah dikenal adanya Pengawal Revolusi, maka istilah yang paling tepat bagi kami adalah Pengawal PPDIA . Bagimana tidak, ketika kantor ini masih menyandang nama KPABPP dan sedang berancang-ancang untuk memasuki pengembangan organisasi informasi yang lebih canggih, pada waktu itu, saya dengan sekitar delapanpuluh orang lebih teman-teman sebaya lulusan SLA memulai karier sebagai pegawai negeri sipil pada kantor ini. Setelah sempat meninggalkan PPDIA beberapa tahun karena dimutasi keluar jawa , saya dengan sejumlah teman kembali ke kantor tersayang ini dengan nama yang telah berganti menjadi DIEA dan tempatnya pun beralih ke Jakarta.

Pada saat-saat terakhir, saya dengan lima orang lainnya yaitu Kusmana, Kusasih Sudarminto, Faizaluddin, Maryono, Marsudi dan Mahmud Usman yang dulu sama-sama memulai bekerja di KPABPP, menyaksikan dan merasakan saat-saat terakhir hilangnya suatu kenyataan yang telah banyak memberi warna kehidupan pada pribadi-pribadi yang pernah hidup didalamnya.

Barangklali tidak ada satupun kantor pada DJA yang begitu berpengaruh besar pada kehidupan pegawainya selain pada PPDIA (walaupun telah beberapa kali berganti nama : KPABPP, SDPD, KPDIA, PPDIA dan terakhir DIEA, kami tetap menyebutnya PPDIA), dan kami merasakan kenangan yang mendalam tentang masa-masa itu.

Bila saya dan terutama bagi teman-teman yang yang pernah dipindah ke kantor lain kemudian membandingkan kehidupan di kantor baru dengan semasa di PPDIA, munculah suatu kerinduan yang mendalam akan masa-masa kehidupan yang lebih nyaman walaupun hidup sederhana hanya mengandalkan gaji dan TC.

Munculnya kerinduan ini adalah sebagai akibat dari adanya ikatan emosional yang tinggi baik ikatan dengan sesama pegawai, maupun ikatan dengan suasana kantor yang lega dan terang benderang dari pantulan sinar matahari, dan koridor-koridor panjang, tangga utama berkarpet merah dan tangga tangga di pi ntu samping yang membawa kenangan, dan ruang aula timur untuk kegiatan-kegiatan bersama, dan teras bawah untuk duduk-duduk sewaktu istirahat kantor, dan teras atas untuk memanjakan mata, dan lorong-lorong sempit dibelakang lemari jati raksasa tempat penghilang penat. Saya bisa masih bisa membayangkan setiap sudut gedung maupun setiap sudut halaman Dwiwarna.

Bila diruntut lagi kebelakang ikatan emosional ini muncul sebagai akibat dari kehidupan bersama yang dijalani dalam waktu yang sangat lama dalam suasana yang hampir cocok untuk semua orang dalam kehidupan yang relatif sederhana. Interaksi-interaksi pada suasana informallah yang yang paling banyak memberikan sumbangan pada timbulnya kebersamaan ini.

Inilah contoh interaksi pada kegiatan-kegiatan olahraga. Cabang olah raga paling menonjol di PPDIA ialah bulutangkis, tenis meja, beladiri, cross country, sepakbola, catur dan gaple…, dan mancing. Walaupun tidak pernah pandai penulis sering juga main bulutangkis.

Dimulai ketika malam-malam membosankan menyergap saya dan sejumlah teman-teman yang sedang menunggu hasil pekerjaan yang sedang diproses komputer, kami di Seksi Pengumpulan Data Gajitetepakan disebelah ruangan kerja. Waktu itu semuanya pemula, saya, Muharam Djuhana, Mas Darjono, Pak Achwa Suhaedi, Kang Djedje Djaenudin, Kang Suarma, Kang Jaja Sukaja dan Emus Rukmana sering main bulutangkis, tapi lebih banyak tertawanya daripada seriusnya. Mentertawakan kekonyolan kami yang banyak keliru memukul bola.

Berawal dari tetepakan itu kami jadi ketagihan. Mulailah kami menikmati teman yang sudah kelas atas bermain bulutangkis seperti Ujang Sugiono Yusuf, Sutarno, Koesdarto (alm), Hansyah, Moch. Syarifudin, Suwarso, Moch. Suprijatno , Kang Somad alis Darmo dan sebagainya. Dan juga kelas menengahnya seperti Ismu Wibisono, BR Simatupang, Kusasih Sudarminto, Hendi Mulya, Kang Adang abdurahman, Bahri, Jaswadi dan lain-lain. Sedangkan penulis sekelas dengan yang sama bodohnya yaitu, Suryana alias Ayut Burayut, Juanda Hamim, Asep Cahyadi, Jojon darjono, Satiman dan pemula-pemula yang telah disebut di atas.
Dan mulailah kami yang pemula ini ngiridit raket.

Bila hari Jumat pagi tiba, komunitas bulutangkis ini tetapakan di lapangan rumput belakang kantor. Main bulutangkis di belakang gedung Dwiwarna ini kami lebih banyak menggunakan bola plastik daripada bola biasa dari bulu angsa, bola biasa akan lebih cepat rusak, karena bulu-bulunya menyerap air ketika jatuh menimpa rumput yang hampir selalu basah. Kami bermain bulutangkis sambil bercanda, berteriak, jahil dan saling meledek. Saya terkenang pada Kang Somad Hotria alias si Darmo, orangnya harak dan sukangajak pasea. Kalau sudah pasea keluarlah segala macam perbendaharaan katanya yang paling garihaltapi lucu. Percaya atau tidak walaupun saya termasuk yang tidak pernah bisa bermain bulutangkis saya juga sering menang kalau bermain double, tentu saja kalau berpasangan dengan Ujang Sugiono Yusuf, Sutarno, Koesdarto atau Moch. Syarifudin. Tentu saja.

Saya juga berlatih tennis lapangan sampai memecahkan raket Widodo. Raket pun hancur dan saya tetap bodoh. Kegiatan-kegiatan cross country termasuk gerak jalan banyak diikuti PPDIA. Sebut saja Gerak Jalan Bandung Lutan Api, Gerak jalan Bogor Jakarta dan sebagainya. Di PPDIA terdapat beberapa kelompok yang sering melakukan cross country. Rute favorit adalah dari kantor ke Pakar Dago diteruskan ke Maribaya Lembang. Waktu itu sebagian besar dari kami masih bujangan dan miskin, sehingga kegiatan yang tidak banyak keluar uanglah yang menjadi andalan kami.

Kegiatan yang saya ikuti dan paling seru adalah memancing. Saya, BR Simatupang , Tri Widodo, Abdullah Fakih, Emus Rukmana adalah orang yang termasuk mendirikan pergerakan mamancing ini dibawah bimbingan suhu Kang Suarma, sang jurig mancing. Sebetulnya Kang Suarma ini orangnya tinggi dan cukup tampan, kulitnyalah yang membuat penampilannya ”rusak”, warna kulitnya hitam karena terbakar sinar matahari setiap minggu baik sinar langsung maupun pantulan dari air kolam. Hanya sedikit kulit disekitar matanya yang menunjukan warna normal karena selalu dilindungi kacamata hitamnya. Kemudian komunitas menancing pun bertambah seperti Kang Adang, Sutarno, Sufian Ruswandi, Asep ”Korong” Pandi, Pak Mapanjiwi Bulu, Pak Kaspul Anwar, Pak Fakih Moh. Sahir, Jaswadi, Bahri, Bana ”Obon” Suhandi (alm) yang terakhir sekali adalah Slamet Witono alias si Mamet.

Bila hari Sabtu tiba kami mulai melakukan pesrsiapan iuran beli bahan untuk umpan yang akan dibuat Kang Suarma. Bila sampai sampai Sabtu pagi belum ada uang untuk biaya mancing, ngutang adalah jalan keluar yang biasa .

Disamping kegiatan olah raga yang memungkinkan interaksi tingi antar pegawai adalah kegiataan koperasi,. KOPPEDA singkatan dari Koperasi Pegawai PPDIA mampu membantu kebutuhan-kebutuhan anggota mulai dari kebutuhan barang keperluan sehari-hari, barang-barang perlengkapan rumah tangga dan pinjaman-pinjaman dalam bentuk uang.

RAT KOPPEDA adalah hajatan besar yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh pegawai PPDIA. Pada RAT ini demokrasi benar-benar berjalan dengan sempurna. Setiap orang bebas berbicara untuk menentukan masa depan koperasi ini. Maka jadilah KOPPEDA sebuah koperasi yang diperhitungkan di kota Bandung. Manajeman yang dijalankan dengan penuh idealis dan pembukuan yang rapi dan transparan dengan komputerisasi membuat kami bangga pada KOPPEDA, sampai sekarang. Acara puncak pada RAT adalah pembagian SHU. Walaupun tidak seberapa kami senang sekali menerima SHU, seperti anak kecil mendapat permen.

Saya mempunyai kenangan sendiri dengan beberapa teman dekat yang sejak mutasi saya 1994 belum berjumpa lagi sampai sekarang. Inilah beberapa diantarany a.

Saya terklenang pada Sri Handoko Al Arief. Dia sekarang di Tegal berwiraswasta. Dia telah dimutasi dari DIEA terakhir dia mengundurkan ketika sedang bertugas di Baucau, Timor Timur. Waktu itu keadaan di sana sudah mulai genting. Saya sering pergi bersama, makan, kuliah maupun nonton. Dia suka sekali makan pepes usus ayam, dan mengucapkannya dalam bahasa Sunda yang salah, pais jeroan peujit

. Saya pun terkenang Damaris Siahaan. Walaupun sering berkomunikasi lewat telepon dan SMS, saya belum pernah berjumpa lagi dengan dia. Terakhir dia di KPKN Magelang dan suaminya yang eks PPDIA juga, Bangun Gunadi di KPKN Tegal. Diantara kami semua, Damaris adalah yang paling cantik, karena memang cuma dia yang perempuan, yang lainnya lelaki semua. Dia selalu hangat dan ramah dengan siapa saja, sayang sekali dia lebih memilih Bangun Gunadi daripada salah satu diantara kami.

Saya pun terkenang pada Mamun Muldana. Dia orangnya pendiam. Senangnya baca buku,. Dengar musik dan jalan-jalan. Saya sering jalan-jalan dengan dia mencari kaset bekas di Cihapit. Saya pernah memperoleh kaset bekas berisi lagu-lagu Joan Baez. Ketika saya masih di luar jawa, kaset itu diamankan almarhum ibu saya. Sampai sekarang bunyi kaset itu masih jernih. Terngiang salah satu lagunya yang berjudul The Last Thing on My Mind. …

As I lay in my bed in the mornin’…
Without you.., without you…
Each song in my breast dies a-bornin’
Without you.., without you…

( Penulis adalah Kepala Seksi di Sub Dit.Monitoring dan Evaluasi Anggaran Direktorat Informasi dan Evaluasi Anggaran )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *