Liem Swie King, Pemilik “King Smash” yang Melegenda
Namun, membicarakan soal King, bukan hanya soal smash saja. Tetapi juga sikap santun, teguh dengan profesi yang digeluti, disiplin, serta keteladanan untuk terus berkarya. Sikap terpujinya itu terus mengiringi langkahnya, kendati telah pensiun dari mengayun raket tahun 1988.
Nama mantan pebulutangkis kelahiran Kudus (Jateng), 28 Februari 1956 itu memang begitu harum di blantika bulutangkis dunia. Sebagai pemain yang memulai karier di klub Djarum Kudus, King memulai debut di kancah nasional dengan menjadi runner-up Pekan Olahraga Nasional (PON) VIII/1973 di Jakarta. Di final, dia dikalahkan pemain yang lebih dulu terkenal, Iie Sumirat asal Jawa Barat.
Kegagalan itu tidak membuat King yang kini memiliki tiga anak itu kehilangan gairah. Justru, sebaliknya menjadi pemacu api semangat. Apalagi, banyak orang menyebut, King memiliki semangat yang tidak pernah redup. Terbukti, dua tahun kemudian dia mengukuhkan dirinya menjadi juara nasional dengan menggusur Tjun Tjun di partai puncak.
Bicara soal semangat dan etos kerja King sejak masih tinggal di Kudus hingga hijrah menjadi pemain nasional di Jakarta, menurut salah satu pembina PB Djarum Kudus, Saiful Arisanto, anak didiknya itu memang luar biasa. Kalau sudah memiliki ketetapan hati, akan berjuang keras untuk mewujudkannya.
“Semangat King itu paling gampang bisa kita lihat dari latihannya. Dia sering menambah porsi latihannya sendiri. Dan semangat itu tetap terjaga hingga kini. Lihat, dibanding rekan-rekannya dulu, postur tubuh King hingga sekarang tetap atletis dan segar,” ujar Arisanto.
Sebagai pemain, King juga memiliki dedikasi yang demikian tinggi terhadap PB Djarum. Kalau banyak pemain asal Kudus yang memilih pindah untuk membela klub-klub ke ibukota, King justru menghindari. Dia tetap setia kepada Djarum hingga pensiun.
Seperti Keluarga
Maklum, sebagai pebulutangkis dia tidak bisa melepaskan diri dari Kudus dan Djarum. Malah sebaliknya, sebagai pemain, bakatnyalah yang menjadi salah satu alasan pembentukan klub bulutangkis Djarum, yang akhirnya menjadi besar dan tersebar di banyak kota besar di Tanah Air.
“Klub menurut saya sudah seperti keluarga. Walau sudah tidak main, saya masih sering berlatih di Djarum,” aku King.
King memang akhirnya bukan hanya milik Djarum. Ia kemudian menjadi milik bangsa. Karena sudah tidak terhitung lagi penghargaan dan prestasi internasional. Dia pun kerap mengharumkan nama Indonesia ke kancah dunia. Meskipun begitu, hubungannya dengan Djarum tidak bisa dipisahkan.
“Hubungan kami dengan Djarum bukan semata hubungan pemain dengan pimpinan saja. Tetapi sudah seperti keluarga. Dan ini sukar diputus, apalagi dilupakan,” tegasnya.
Sebagai pemain, gelar demi gelar telah dikoleksi King. Namun, yang paling dikenal orang adalah sukses menyabet kampiun All England tahun 1978, 1979, dan 1981. Sebetulnya, tahun 1980, King juga maju ke final turnamen bergengsi yang disebut-sebut sebagai kejuaraan dunia tidak resmi ini. Tetapi, langkahnya dihentikan bintang India, Prakash Padukone.
Hal serupa juga terjadi pada tahun 1976 dan 1977. Di dua kali penyelenggaraan itu, King juga melaju ke partai puncak. Tetapi, lagi-lagi, King belum beruntung karena dijegal seniornya, Rudy Hartono dan Fleming Delf (Denmark) setahun kemudian. Ini menunjukkan bagaimana konsistensi prestasi King yang demikian stabil dengan selalu masuk final All England sejak tahun 1976 hingga 1981. Selain Rudy, mungkin sebuah pencapaian yang susah diikuti pemain lain.
Kegagalan itu tak menyurutkan nama harum King. Justru sebaliknya dengan mengembangkan permainan yang menyerang, dunia bulutangkis dunia harus berterima kasih kepadanya. Permainan yang mengandalkan kecepatan dan serangan gencar itu kemudian melahirkan apa yang disebut dengan King Smash. Prinsipnya, setiap bola pengembalian lawan melambung, langsung dihajar dengan pukulan smash mahakeras King yang dilakukan sambil meloncat tinggi.
“Smash loncat King memang mematikan dan sukar diterka arahnya. Ini karena pukulan itu dilakukan dengan kecepatan dan tenaga penuh,” komentar Prakash, kala itu.
Kiprah King tak hanya di turnamen All England. Banyak gelar di turnamen lain yang gengsinya juga tidak kalah. Dia pernah merebut medali emas Asian Games, Piala Dunia, Cina Terbuka, atau Taiwan Terbuka. Tetapi, insan bulutangkis tentu ingat bagaimana perjuangan King ketika mempersembahkan Piala Thomas ke Tanah Air tahun 1984 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Kala itu King tampil rangkap, main di tunggal dan ganda. Di tunggal, dia dikalahkan Luan Jin (Cina). Kekalahan ini membuat kubu Indonesia panik, sebab sesuai skenario, King ditargetkan bisa mengambil poin lawan Luan Jin. Manajer tim Indonesia, Rudy Hartono, kemudian berjudi saat memilih King berpasangan dengan Kartono untuk ditampilkan di partai terakhir.
Padahal, biasanya Kartono berduet dengan Heryanto. Pasangan ini pun baru saja mencetak prestasi bagus dengan memenangi gelar All England. Namun, di sinilah keteguhan mental dan semangat juang King menjadi penentu.
“Saya tidak down walaupun sebelumnya sudah kalah di tunggal. Saya tetap yakin kita bisa menang,” tutur King, kala itu.
Ternyata benar. Dengan luar biasa King/Kartono mengalahkan ganda Cina, Sun Zhinan/Tian Bingyi. Indonesia pun sukses mengalahkan Cina 3-2. Dramatisnya, angka terakhir didapat setelah Kartono mengelak sambil jatuh terjengkang untuk menghindari kok yang ternyata keluar!
Indonesia pun kembali merebut Piala Thomas. Ini merupakan pembalasan setimpal, setelah di London 1982, kita dikalahkan Cina di final. King sendiri, sebelumnya tahun 1976 dan 1979 juga masuk tim Merah-Putih yang sukses memboyong Piala Thomas.
Meskipun tampil menawan, namun King tetap rendah hati. Dia tidak mau disebut sebagai pahlawan kemenangan Indonesia. Justru sebaliknya, dia menunjuk Hastomo Arbi yang layak diberi predikat pahlawan, berkat kemenangannya atas Han Jian.
“Saya bukan pahlawan. Saya hanya beruntung bisa bermain bagus dan menang,” tuturnya.
Menjadi Pengusaha
Sifat santun dan rendah hati tersebut, rupanya terus dipegang teguh King hingga mundur sebagai pemain dan kemudian bergulat di masyarakat. Ternyata, karakter saat masih aktif di lapangan, berguna sekali saat mengarungi hidup dan kehidupan kelak.
Setelah gantung raket, King memang sempat menutup diri, namun dia kemudian menyadari kekeliruannya. King pun sering menghadiri banyak kegiatan, entah itu acara bulutangkis atau bukan. Ketika PB Djarum memberikan penghargaan terhadap tim Piala Thomas 2002, King juga hadir. Begitu pula ketika mendapat penghargaan prestisius, Hall of Fame dari Federasi Bulutangkis Internasional (IBF) tahun 2003.
“Selebihnya, kalau diundang untuk sebuah acara, saya pun akan datang,” ujarnya.
King adalah orang keempat Indonesia yang menerima penghargaan tersebut, setelah sebelumnya diberikan kepada Almarhum Soedirman, Rudy Hartono, dan Christian Hadinata.
Bila banyak orang sering memanfaatkan popularitas untuk mengeruk uang dan kesempatan, tidak demikian halnya dengan King. Karena memang tidak memiliki keterampilan lain, setelah gantung raket, King memilih menjadi pengusaha. Dia meretas usahanya betul-betul dari bawah. Berkat semangat juang yang tidak pernah pudar, King pun kini sukses mengelola bisnis kebugaran tubuh di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Pusat.
Di sela-sela kesibukannya itu, olahraga tentu tidak bisa dipisahkan oleh King. Kalau tidak bermain tenis, King bisa dijumpai tengah main golf di salah satu padang golf di ibukota. “Selebihnya, saya juga jogging untuk menjaga kebugaran tubuh,” akunya. Wajar kalau tubuh King tidak berubah, tetap atletis dan bugar.
Dalam membina mahligai rumah tangga, King juga sangat demokratis. Dia tidak mau mengekang atau mengarahkan ketiga anaknya, Alexander, Stephanie, dan Michelle, buah perkawinannya dengan Lucy. King memberikan kebebasan seluas-luasnya. Dia pun tidak memprotes ketiga anaknya yang cenderung menyukai basket dibanding bulutangkis.
“Mereka bebas memilih karier,” tuturnya. “Yang terpenting, mereka nantinya harus menjadi orang yang sukses.”
Itulah King, yang sukses sebagai pebulutangkis dan pengusaha berkat semangat tinggi, pantang menyerah, disiplin, dan rendah hati.
Leave a Reply