Memahami Amarah Wamena
Sumber: Satunet.com (http://satunet.com/artikel/isi/00/11/11/31890.html)
Oleh: Munir, S.H.
Puluhan korban jatuh menyusul upaya polisi memaksa penurunan bendera Bintang Kejora di Wamena, Papua Barat (dulu: Irian Jaya). Paling tidak muncul dua persoalan besar pasca upaya paksa itu. Pertama, berkembangnya isu atau pun persoalan konflik horizontal antara pendatang dan masyarakat asli. Kedua, menguatnya kekerasan oleh aparatus negara terhadap masyarakat sipil. Peristiwa ini sendiri membuat banyak pihak mempertanyakan, mengapa kesalahan keputusan pemerintah dalam penyelesaian problem semacam ini terus terulang dan melahirkan korban di kalangan rakyat.
Beberapa waktu sebelumnya Presiden Gus Dur menyatakan, tidak menjadi soal apabila rakyat Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora, asal tidak lebih tinggi ketimbang Merah Putih. Tetapi dua bulan berikutnya Wapres Megawati memerintahkan Kapolri untuk mengambil tindakan atas penurunan bendera itu.
Dua sikap pemerintah ini, lepas dari kelemahan koordinasi di dalamnya, menunjukkan adanya perdebatan etika politik dalam mengambil sikap, yaitu sikap yang mendahulukan perlindungan terhadap simbol-simbol kewibawaan negara atau menghindari terjadinya jatuh korban di kalangan rakyat. Kasus semacam ini juga pernah terjadi pada pertengahan 1980-an ketika Amerika mengambil sikap mengutamakan penyelamatan beberapa diplomatnya di Iran, ketimbang memperhitungkan dampak serangannya terhadap ratusan masyarakat sipil, termasuk wartawan yang akan menjadi korban dari sebuah operasi penyerbuan.
Pergulatan keputusan yang menyangkut etika politik semacam ini juga akan memberikan cermin titik tumpu sebuah rezim kekuasaan. Apakah rezim itu menempatkan simbol kewibawaan di atas segalanya atau memilih langkah yang mempertimbangkan dampak korban manusia yang mungkin timbul dari tindakan represi apabila itu dilakukan. Problem etik ini akan melahirkan konsep tentang pembenaran represi atau tidak, bagaimana memahami reaksi rakyat atas ketidakadilan, dan pembenaran tindakan keras demi sesuatu yang abstrak tapi dibutuhkan bagi pelebaran dan eksistensi kekuasaan. Penting pula disadari soal penyikapan atas problem integrasi juga merupakan persoalan etika politik.
Pemerintah mengambil tindakan keras karena bendera di Wamena dilihat sebagai ancaman terhadap integrasi nasional. Maka basis dari kesadaran politik pemerintah adalah bagaimana integrasi itu diwujudkan dalam kemampuan mengendalikan kekuasaan lewat simbol bendera. Tetapi apakah dalam merumuskan tindakan itu, yang sejak awal telah disadari akan melahirkan pertumpahan darah, atau adakah pertimbangan etik ataupun moral yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Jelas fakta menunjukkan, terbunuhnya lebih dari lima puluh anggota masyarakat di balik upaya penurunan bendera itu benar-benar bertentangan dengan dasar-dasar moral yang dapat diterima.
Pada sisi lain, bendera Bintang Kejora adalah simbol bagi protes sosial masyarakat Wamena atas berbagai bentuk ketidakadilan ekonomi, politik dan sosial serta tindakan alienasi dan kehidupan bernegara. Penumpukan dari berbagai desakan kehidupan itu memudahkan setiap anggota masyarakat memilih menemukan ruang baru di mana rasa keadilan itu terobati. Kasus yang sama juga terjadi di wilayah Aceh dengan tuntutan referendum dan kemerdekaan yang diperjuangkan dengan resiko apapun.
Bentuk perlawanan seperti yang terjadi di kedua wilayah itu menunjukkan adanya kebutuhan-kebutuhan perlakuan yang lebih adil dan realistis atas adanya perbedaan-perbedaan. Karena dalam kasus Papua dan Aceh, justru perlawanan ada setelah adanya perilaku eksploitatif dan perlakuan tidak adil oleh negara. Dan hampir bisa dipastikan, perlawanan yang terjadi di wilayah itu adalah sejarah baru yang terpisah dari apa yang pernah terjadi dalam bentuk perlawanan yang serupa pada masa-masa lalu.
Lalu di mana letak kesadaran dan sumber etika tindakan dalam menghadapi fenomena di atas, tentu kita merujuk pula hubungan konsep kekuasaan dan integrasi, serta bagaimana meletakkan posisi rakyat di dalamnya. Kalau kekuasaan melihat bahwa integrasi adalah angka mati, maka apakah dalam membangun integrasi itu tidak dibutuhkan kerangka etika dalam mempertahankannya. Dapat saja kemudian ditawarkan konsep mempertahankan integrasi dalam sistem kehidupan bernegara yang demokratis serta mengedepankan unsur-unsur keadilan.
Dalam konteks inilah dibutuhkan konsep integrasi yang memperoleh perspektif demokrasi dan keadilan, yaitu integrasi yang diwarnai oleh dua dimensi sekaligus, dimensi struktural dan dimensi kultural. Dimensi struktural adalah, integrasi tidak akan mampu dipertahankan tanpa jawaban-jawaban keadilan, baik itu distribusi ekonomi, peran politik, otonomi masyarakat lokal dan seterusnya.
Dimensi kultural adalah adanya media konsensus yang mampu ditumbuhkan bagi diterima pluralitas sebagai realitas yang tidak terelakkan. Kedua dimensi mengandung unsur utility bagi masing-masing komponen masyarakat. Hal ini mungkin seperti apa yang digambarkan Karl Marx dalam tulisan Ginsberg (1930) yang menyatakan, “Syarat penting bagi terciptanya integrasi adalah tersedianya sarana komunikasi yang tepat. Orang yang menghadapi persoalan bersama belum tentu akan bersatu untuk memecahkan kecuali jika mereka menyadari situasi bersama.” Jadi yang terpenting adalah bahwa orang tidak akan bersatu kecuali jika ada suatu keuntungan yang dapat diduga sebelum mereka menyatukan diri.
Dalam konsep ini, meletakkan bagaimana rumusan integrasi pun mengiring kita untuk memahami ada banyak model mencapainya. Seperti mempertahankan integrasi melalui tindakan kekerasan atau upaya paksa, atau melalui upaya tipu muslihat politik, atau justru melalui sebuah konsensus. Pilihan itu amat terletak pada bagaimana watak rezim kekuasaan dalam memahami tuntutan etika dan moral tindakannya. Semakin kekuasaan tidak memperdulikan etika atau moral tindakannya, maka rezim itu akan semakin menjauhi cara-cara konsensus.
Maka upaya membangun etika pada kekuasaan itu tidak ada lain dari upaya merubah banyak gagasan dan perilaku yang hanya berpijak pada semata-mata kewenangan, menjadi sarana akomodasi dan konsensus. Yaitu sikap yang mengedepankan perlakuan yang adil dan setara setiap komponen masyarakat, termasuk segala bentuk tuntutan dan kehendaknya. Dalam arti bahwa peran maksimal rakyat dalam membangun konsensus adalah syarat penting dari sebuah integrasi.
Konteks ini meletakkan amarah Wamena sebagai kerangka koreksi kemampuan bertindak adil terhadap rakyat Papua. Tuntutan masyarakat melalui simbol Merdeka ataupun bendera Bintang Kejora justru merupakan sumber dari kerangka memberikan jawaban dari rezim-rezim kekuasaan sebelumnya. Tentu kita menyadari etik satu kekuasaan dengan kekuasaan lainnya berbeda, terutama dalam masa yang disebut transisi. Upaya membangun transisi politik yang sedang berlangsung saat ini musti sampai pada koreksi etik perilaku kekuasaan serta bagaimana rezim baru meyakinkan pada rakyat bahwa mereka memang berbeda dan merupakan harapan bagi masa depan. Adakah harapan itu dapat diharapkan oleh rakyat Wamena?
Munir SH adalah Ketua Dewan Pengurus KONTRAS (Komisi untuk Orang-orang Hilang dan Korban Kekerasan). Aktif menulis di media cetak dalam dan luar negeri. Munir menyambut baik informasi dan komentar anda ke alamat e-mailnya di munir91[at]hotmail.com.
Leave a Reply