Membangun Bangsa dan Menolak Militerisme (1)
Sumber: Satunet.com (http://satunet.com/artikel/isi/00/03/23/10295.html)
Oleh: Munir, S.H.
Membangun Bangsa (Nation) adalah kata kunci dari semangat awal bagian-bagian masyarakat kita menyatukan diri serta memberikan identitas atas dirinya sebagai Indonesia. Dalam perjalanan sejarahnya, identitas itu tidaklah dinaungi oleh nilai-nilai yang sama. Akan tetapi dari waktu ke waktu saling pengaruh antar bagian dalam bangsa ini, ataupun kehidupan global, telah turut menentukan dan membangun watak, nilai serta interpretasi baru atas kebutuhan berbangsa.
Kalau pun hari ini kita masih banyak melihat belum secara jelas dirumuskannya nilai-nilai pengikat dan akan menentukan karakter sebagai sebuah Nation, itu tidak terhindari bahwa rumusan itu sendiri masih akan ditentukan oleh perjalanan sejarah yang sedang kita buat hari ini. Tentu apa yang terjadi saat ini, serta berbagai nilai yang berkembang adalah jalan panjang masa lalu yang diterima secara dipaksakan oleh sebuah kekuatan rezim kekuasaan.
Maka nilai-nilai kebangsaan awal, sebagai semangat mendasari merumuskan diri menjadi sebuah bangsa, telah mengalami pendangkalan akibat perilaku dan nilai-nilai kekuasaan itu. Tentu kita kemudian akan berbicara bagaimana perilaku itu dicerminkan oleh sebuah rezim kekuasaan Orde Baru yang telah memaksakan secara sistematis apa yang kemudian disebut militerisme.
Berbagai persoalan yang saat ini kita hadapi pantas dipertanyakan, apakah memang masih cukup alasan untuk menyatakan kita memiliki nilai luhur yang membanggakan dan mampu mengikat dalam semangat sebagai sebuah bangsa. Tragedi Maluku, Sambas, Kupang, Aceh dan seterusnya telah memberikan gambaran secara jelas, bahwa nilai yang berkembang telah tersesat ke dalam kesadaran anti nation.
Lebih luas lagi, berbagai perilaku politik –khususnya di tingkat elit politik– justru berkembang ke dalam dukungan yang cukup besar terhadap tindakan-tindakan kekerasan dan pengingkaran atas perbedaan pandangan.
Padahal kekuatan ikatan sebagai sebuah bangsa ditentukan oleh penerimaan atas realitas perbedaan itu. Tuduh-menuduh antar kekuatan politik, satu misal, berkembangnya istilah Yahudi, fundamentalis Islam, komunis, dan seterusnya, adalah perilaku politik yang menggambarkan ketidaksiapan sebuah sistem kehidupan bersama.
Tentu kemudian diakui atau memang dilihat secara jujur, yang tersisa adalah karakter atau nilai militeristik dalam kehidupan dan alat ikat bangsa. Jelas untuk menumbuhkan nation yang kuat, sama sekali tidak dapat ditumpukan pada nilai-nilai yang justru anti sifat integratif (faktor pengikat), dan menolak prinsip-prinsip keadilan. Maka betapa pentingnya melihat bahaya militerisme dalam upaya membangun kembali sebuah nation, serta betapa pentingnya membangun demokrasi sebagai alat ikat dan karakter bangsa.
‘Membangun bangsa dan menolak militerisme’ sebagai judul dipilih bukan semata-mata lantaran para anggota DPR meminta dipersenjatai, atau beberapa rangkaian kekerasan di lingkungan elit politik melibatkan penggunaan kekerasan. Tetapi istilah menolak militerisme sendiri dipilih untuk menggambarkan bahwa semangat penataan sistem politik yang ada belumlah didasari atas kesadaran akan arti pentingnya nilai-nilai demokrasi dalam sebuah bangsa.
Realitas politik yang berkembang justru mencerminkan masih miskinnya kesadaran berdemokrasi pada sebagian besar para pelaku politik. Lebih jauh, justru masih tampak adanya semangat keributan politik yang mengedepankan ketidakpercayaan atas sistem yang demokratis. Di samping itu berkembang pula gejala tindakan politik yang berbasis paham militerisme di kalangan sipil. Tentu hal ini juga mengisyaratkan masih kuatnya paham dan perilaku anti demokrasi dalam lingkungan politik nasional.
Kekerasan fisik yang menyerang para elite politik dan publik figur merupakan gejala yang patut memperoleh perhatian lebih. Hal ini tidak semata-mata dilihat dari jatuhnya korban atau reaksi protes yang muncul. Akan tetapi patut diamati adalah berkembangnya simbol-simbol politik tradisional (SARA) yang tidak saja mencerminkan dinamika politik sipil, akan tetapi juga ketakutan politik yang tidak cukup hanya menyandarkan diri pada stigmatisasi, tetapi juga pembenaran bagi sebuah tindakan kekerasan.
Dalam suasana ini, sebagian pelaku politik melihat sistem politik yang dibangun semata-mata merupakan cara memperoleh dan mengendalikan kekuasaan oleh masing-masing kekuatan. Hal ini jelas berbeda dibanding ketika satuan-satuan masyarakat yang berbeda-beda berkumpul bersama karena perbedaan yang ada, maka perlu membangun ikatan bersama untuk sebuah cita-cita bersama.
Konteks hari ini amat menggambarkan, upaya membangun kewibawaan masing-masing kekuatan politik cenderung diletakkan pada simbol-simbol militer, yaitu keperkasaan fisik. Simbol dari kekuatan fisik itulah muncul dalam pengagungan nilai-nilai militer. Nilai itu secara umum muncul dalam bentuk perilaku dan atribut militer, seperti pembentukan satuan tugas (satgas) keamanan pada partai atau organisasi masyarakat, penggunaan simbol-simbol kekuatan fisik atau persenjataan untuk mengancam musuh-musuh politik, dan seterusnya. Teror politik secara fisik adalah bagian lain dari perilaku ini. Kemunculan teror tersebut merupakan penguatan gejala kekerasan politik akibat nilai-nilai yang dianut oleh berbagai kekuatan.
Di sinilah seharusnya kita kembali kepada pertanyaan, apakah benar kesadaran dari semua proses politik itu telah diwarnai oleh nilai-nilai demokrasi atau justru sebaliknya. Sebab dengan berbagai perilaku, pandangan dan tindakan kekerasan politik yang demikian mengkhawatirkan itu, sulit kiranya dapat dicapai sebuah ruang yang sehat bagi pertumbuhan demokrasi dan sebuah nilai bersama dalam Nation.
Militer dan militerisme
Sebagaimana banyak pandangan, proses demokratisasi selalu diikuti penataan kembali sistem politik, khususnya meletakkan posisi militer dalam kontrol kekuatan politik sipil, yaitu dengan membatasi peran militer dan membangun kepatuhan terhadap sistem politik yang menempatkan militer semata-mata state aparatus dibawah supremasi sipil.
Di Indonesia, tuntutan dan upaya penghapusan dwifungsi ABRI (TNI) itu dilakukan melalui berbagai tindakan politik, seperti penghapusan operasi teritorial, penghapusan doktrin kekaryaan, serta peran formal militer lainnya. Berbagai langkah menuju perubahan di tingkat formal itu penting. Akan tetapi perubahan itu tidak secara otomatis menghapus kemungkinan munculnya perilaku yang sama dengan basis rezim kekuasaan dalam kendali militer.
Dalam perdebatan tentang peran politik militer, memang harus dijauhkan dari semata-mata melihat pergumulan politik militer pada organisasi militer saja. Memang sejarah politik di Indonesia cukup panjang diwarnai oleh peran militer sebagai kekuatan politik yang dominan terhadap berbagai kekuatan dan sistem politik sipil. Tidak dapat dipungkiri catatan sejarah itu telah membangun sentimen politik anti militer (sebagai subyek) dan peran militer yang kemudian dipersoalkan adalah protes atas kemenangan kekuatan militer dalam membangun dominasi politik. Kalau hari ini penataan sistem politik menghendaki militer serta segala bentuk pengaruhnya tergusur, tidaklah menjamin pola kerja rezim militer berakhir di negeri ini.
Perlu dibedakan antara membangun sistem yang demokratis dengan semata-mata menggusur militer dari singgasananya. Di sinilah harus diperjelas pemahaman yang membedakan antara tatanan politik tanpa peran militer, dengan sebuah tatanan politik yang menolak militerisme. Tatanan politik yang semata-mata menolak peran militer adalah perubahan di tingkat formal, dan ini dapat semata-mata berbasis pada kekalahan kekuatan politik militer akibat berbagai perubahan nasional ataupun internasional. Sehingga membangun sistem demokrasi adalah menggusur semua pandangan dan perilaku serta prinsip-prinsip dalam sistem yang amat kuat menyanjung tinggi paham militerisme.
Tindakan mendasar dalam upaya perubahan adalah justru terletak pada kesadaran akan nilai-nilai yang diyakini oleh sebagian besar pelaku politik bahwa demokrasi adalah ada dan tidak sama sekali sama dengan cara-cara curang mencapai kekuasaan. Arti penting perubahan adalah membangun nilai dan budaya demokrasi serta mengalahkan paham militerisme. Sedangkan perubahan di tingkat formal adalah lebih merupakan resultante dari keyakinan-keyakinan bagi upaya mewujudkan demokrasi.
Sebuah perubahan baik yang berlangsung secara revolusioner ataupun evolusioner, aspek perubahan nilai dan budaya, adalah suatu yang bersifat mendasar. Betapa perubahan tanpa koreksi akan nilai-nilai tidak lebih adalah praktek tambal sulam kekuasaan yang akan melelahkan semangat rakyat membangun sistem yang adil. Lalu dari mana koreksi atas paham militerisme itu dimulai? ***
Bersambung ke: Membangun Bangsa dan Menolak Militerisme (2)
Munir SH adalah Ketua Dewan Pengurus KONTRAS (Komisi untuk Orang-orang Hilang dan Korban Kekerasan). Aktif menulis di media cetak dalam dan luar negeri. Munir menyambut baik informasi dan komentar anda ke alamat e-mailnya di munir91[at]hotmail.com.
Leave a Reply