Mengadili Soeharto Sebagai Presiden?

Pindahan dari Multiply

URL: http://indonesiancommunity.multiply.com/reviews/item/153
Penulis: febridiansyah

Apa yang menjadikan mantan orang nomor satu di Indonesia ini tidak pernah berhasil disentuh? Pertanyaan ini menjadi sekedar bermakna retoris, terutama ketika Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menyatakan Soeharto tidak bersalah. Tidak melakukan Perbuatan melawan Hukum.

Sebagai sebuah test case tidak berlebihan jika proses perdata ini dikategorikan sebagai bagian dari kecemasan sosial. Sekaligus memicu gelombang kekecewaan yang berlapis dan apatisme publik pada penegakan hukum. Dan sayangnya, hal ini bermula dari gedung peradilan. Lantas, bagaimana mungkin mengadili Soeharto sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, sementara sekedar sebagai Ketua Yayasan Supersemar saja, palu hakim masih tak bergeming?

Dasarwarsa Reformasi

Menjelang dasawarsa pertama era reformasi, harapan tentang perbaikan mendasar justru ditelikung sedemikian rupa meskipun telah melewati beberapa orde pemerintahan. Satu target besar yang diamanatkan Tap. MPR NO.XI/1998 untuk mengadili Soeharto beserta kroni masih tak jelas juntrungnya. Kasus mega korupsi seperti BLBI, tukar guling Goro, korupsi Bulog, dan lainnya di satu sisi tetap dikampanyekan sebagai prioritas, namun di sisi lain, bahkan penegak hukum belum mampu menyentuh permukaan. Beberapa terdakwa memang divonis besalah, tetapi proses eksekusi, pengembalian kekayaan negara dan rendahnya hukuman yang dijatuhkan semakin mengikis harapan publik. Dalam frase yang ekstrim, inilah sebuah kamuflase penegakan hukum.

Untuk pengusutan Soeharto, misalnya. Hingga saat ini, setidaknya menurut catatan ICW, kejaksaan telah melakukan 26 kali upaya yang terus menerus berujung pada kegagalan. Mulai dari pengusutan harta yayasan Soeharto pada 1 September 1998, sampai dengan tragedi SKP3 Jaksa Agung, Abdurahman Saleh 11 Mei 2006 lalu. Dan, di tahun ke sepuluh pasca teriakan reformasi memenuhi langit Indonesia, sebuah pengadilan di Jakarta Selatan justru membenarkan dalil, Soeharto tidak bersalah.

Ada yang menyebut, mekanisme peradilan perdata justru digunakan sebagai pembersihan dosa-dosa Soeharto. Upaya sistematis mengembalikan nama baik sang mantan Presiden. Sehingga, tidak perlu terkejut ketika suatu saat pengacara keluarga Soeharto akan menuntut balik semua pihak yang bicara tentang korupsi mantan Jenderal TNI ini. Dengan satu dasar sederhana, baik proses peradilan pidana atau pun perdata yang telah dilewati, sama sekali tidak pernah menyatakan Soeharto bersalah. Maka, kesia-siaan reformasi kembali diukir di tahun kesepuluh.

Di akhir Maret 2008, PN Jaksel memutuskan Soeharto sekaligus ahli waris tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Yayasan divonis mengganti kerugian US $105,7 juta dan Rp.46,4 miliar, equivalen dengan Rp. 977 miliar. Atau, 25% dari jumlah uang Negara yang disetor pada yayasan berdasarkan PP No.15/1976 dan SK Menkeu No.333/1978 yang memerintahkan bank-bank pemerintah untuk memberikan sisa laba bersih pada yayasan.

Kebijakan Koruptif

Modus korupsi yang terjadi di era orde baru mempunyai karakter yang sesungguhnya mudah terbaca. Tindakan koruptif dilegalisasi melalui sarana undang-undang. Salah satu persoalan pada kasus Supersemar yang sengaja tidak disentuh Kejaksaan berada di konsep ini. Kejaksaan cenderung hanya menggugat Soeharto sebagai pribadi atau sekedar Ketua Yayasan, bukan sebagai mantan presiden yang menyalahgunakan kekuasaan. Padahal, celah ini sangat mungkin digunakan.

Seperti diketahui, pada tahun 2000, Kejaksaan mendakwa Soeharto melakukan korupsi di 7 yayasan yang pernah diketuai mantan Presiden ini, dengan kerugian negara Rp. 1,7 triliun dan US$ 49 juta. Proses hukum di jalur Pidana ini sebenarnya mungkin mengarah pada upaya mengadili Soeharto sebagai kepala negara. Bukan sekedar sebagai ketua yayasan. Karena tindakan Presiden saat itu yang memaksa bank-bank pemerintah untuk menyetorkan sejumlah dana dapat dikategorikan sesuatu yang memenuhi unsur melawan hukum. Bagaimana mungkin kekayaan negara digunakan untuk kepentingan segelintir orang, yang bahkan kemudian diselewengkan?

Atas dasar itulah, kritik beberapa kalangan terhadap gugatan perdata Yayasan Supersemar relevan dipertimbangkan. Jika gugatan ditekankan pada satu yayasan, maka pertanggungjawaban yang muncul lebih mengarah pada posisi Ketua Yayasan, ketimbang Soeharto sebagai Presiden.

Akan tetapi, kesempatan memperbaiki strategi masih sangat mungkin dilakukan dalam gugatan pada 6 Yayasan lainnya. Salah satu poin yang harus serius dipertimbangkan sebaiknya ditekankan pada: Pertama, aspek melawan hukum yang dilakukan Soeharto sebagai presiden ketika menerbitkan kebijakan dan peraturan yang merugikan negara dan menguntungkan orang lain.

Dan, Kedua, aspek pengembalian kerugian negara yang dihitung dari ”uang rakyat” yang disetorkan untuk 6 yayasan. Kalaupun semasa hidupnya Soeharto tidak bisa diadili, setidaknya sejarah akan mencatat jaksa, hakim dan masyarakat sipil terbaik yang berhasil mengungkap sebagian kebenaran tentang betapa koruptifnya pola kebijakan Soeharto semasa berkuasa.

Kedepan, komitmen Kejaksaan, Hakim dan Publik untuk menuntaskan kasus ini akan menjadi preseden penting. Fakta yang sulit dibantah, bahkan hingga era pemerintahan SBY-Kalla, modus kebijakan koruptif seperti ini seringkali dilakukan. Sebuah kebijakan atau aturan yang memperkaya orang lain dengan tidak patut menggunakan uang rakyat dilakukan dengan vulgar. Penerbitan PP 37 tahun 2006 adalah satu contoh kongkrit kebijakan koruptif yang punya karakter relatif sama. Atau, di era Megawati, penerbitan perppu tentang kehutanan yang luarbiasa menyesakkan dan merugikan rakyat dan Lingkungan Hidup tetap tak bergeming. Tidakkah, pola ini akan terus berulang ketika penegak hukum tidak pernah serius menyeret mantan penguasa di meja hijau untuk mempertanggungjawabkan penyalahgunana kewenangannya?

Selain itu, Jika Kejaksaan serius untuk meneruskan proses hukum Soeharto, selain mempersiapkan rumusan gugatan dan pembuktian, tidak boleh dilupakan upaya menyita aset 6 yayasan lainnya. Karena ini ruang kesempatan membuktikan komitmen dan kinerja dalam pemberantasan korupsi terus semakin sempit. Bukankah publik tak harus menungu Urip lainnya di penanganan mega skandal ini? Tidak ada kata terlambat untuk mengadili Soeharto sebagai mantan presiden. (*)
oleh FEBRI DIANSYAH
http://febridiansyah.wordpress.com/

2 Responses to Mengadili Soeharto Sebagai Presiden?

  1. aa_haq says:

    atanjung wrote on Mar 31, ’08

    Anak hukum ya Mas? Aku suka kasian liat orang2 pecinta hukum di Indonesia, setengah mati sekolah juga ngasi pendapat tetep aja hukum Indonesia itu berjalan ngadat2.

    Pernah ngikutin proses pengadilan Kanselir Helmut Kohl? Beliau diadili dan mengaku salah, tetapi beliau tidak masuk bui ditinjau dari segi “kepahlawananya” untuk jerman, proses pengadilannya juga cepat. Selain itu kesalahan beliau itu bukan korupt untuk pribadi ato keluarganya, seperti beliau diatas yg …….yach tau sendirilah.

    febridiansyah wrote on Mar 31, ’08

    🙂 dulu, saya sangat tidak tertarik hukum. Hingga kemudian, berangkat dari kisruh, kemelut atau ah…kata yang hampir tidak terwakilkan untuk kacaunya bangsa ini..saya berpikir, mungkin hukum adalah salah satu jalannya.
    Kemudian belajar, belajar dan ‘terdampar’ di jogja.
    Apakah hukum akan mengubah segalanya? Saya yakin jawabannya tidak. Namun, saya percaya, harus terus ada yang mengisi lembar-lembar “kumuh” ini.
    Saya percaya, perbaikan adalah keniscayaan ketika ada niat, komitmen dan pengetahuan untuk itu.
    Saya selalu yakin, di luar sana, ada begitu banyak orang baik. Namun, mungkin mereka belum mau bicara. Sebagian masih tidur, sebagian masih menunggu “massa”.
    Kenapa tidak memulai dari diri sendiri?

    Kemudian saya berpikir tentang menulis.
    “Tulis. Tulis..Suatu saat peradaban akan dibangun dalam setiap kata yang kau tulis”, Pramoedya itu pernah bilang demikian.
    Lagipula, saya percaya,
    Menulis adalah satu cara melawan lupa.

    korpsmarinir wrote on Mar 31, ’08

    Mmmm……ntah kenapa….tp gw tetep suka ama alm. pak Harto secara personal. He was a good leader…..a damn good one

    agamfat wrote on Mar 31, ’08

    Ini ditulis pasca pengadilan tidak menyalahkan Soeharto tapi yayasannya?

    atanjung wrote on Mar 31, ’08

    Yap! Bukan cuma hukum yg harus ditegakkan tapi juga moral yg harus ikut berbicara.

    Comment deleted at the request of the author.

    febridiansyah wrote on Apr 1, ’08

    agamfat said

    Ini ditulis pasca pengadilan tidak menyalahkan Soeharto tapi yayasannya?

    Yup…r>Kamis, 27 Maret 2008, PN Jakarta Selatan memutus perkara PMH Soeharto dan Yayasan Supersemar.
    he he he…
    aku tulis setelah itu. Pasca dapat petikan putusannya dari teman media.
    Knp, mas?

    Comment deleted at the request of the author.

  2. aa_haq says:

    rakhoest wrote on Mar 31, ’08

    ok banget…

    ajiek wrote on Mar 31, ’08

    BENER BANGET!
    TULISAN YANG BAGUS!! 5 stars!

    tulusjogja wrote on Apr 1, ’08

    Memang betul sih
    Bahasa hukum dan bahasa politik mungkin beda, apalagi bahasa rasa (keadilan) lebih berbeda lagi.

    3rdevolution wrote on Apr 4, ’08

    Tidak ada kata terlambat untuk mengadili Soeharto sebagai mantan presiden. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *