Oseng-oseng Mercon

Sumber: KOMPAS Cyber Media – Jalansutra, 29-05-2006
URL: http://www.kompas.com/jalansutra/news/0605/29/113715.htm (sudah mati)

Penulis: Bondan Winarno

Humor a la Yogyakarta memang sering sangat menohok. Lihat saja coret-moret di kaus bikinan Dagadu (sandi wolak-walik yang seharusnya dibaca “Matamu”) yang lucu, nakal, dan sering pula galak.

Sekalipun Dagadu sebetulnya tidak orisinal karena “meniru” kreativitas pabrik kata-kata Joger di Bali, graffiti semacam itu lalu meluas ditiru lagi oleh pembuat kaus lainnya di Yogyakarta. Salah satu yang saya anggap mengerikan baru saja muncul belum lama ini, yaitu logo produk dental Oral-B yang diplesetkan menjadi “Oral Me”. O, seraaaam!

Humor semacam itu ternyata juga muncul dalam peta kuliner Yogya. Sudah agak lama ini ada masakan yang populer dengan nama Oseng-oseng Mercon. Dimulai oleh Mbak Warti yang buka tenda malam hari di Jalan KH Ahmad Dahlan, di seberang SMU Muhammadiyah, sekarang sudah cukup banyak warung tenda di Yogyakarta yang menawarkan masakan murah meriah ini.

Mercon adalah istilah Jawa untuk petasan. Tetapi, mosok petasan dimasak, sih? Apa tidak mbledos (meletus) semua di wajan? Ternyata, masakan ini memang sama sekali tidak dibuat dari petasan. Oseng-oseng sendiri sebetulnya adalah cara masak seperti menumis (stir fry). Dalam masakan yang disebut oseng-oseng mercon ini, bahan dasarnya adalah daging sapi berikut lemak dan tetelan-nya. Istilah mercon dalam nama masakan ini untuk menggambarkan tingkat kepedasannya yang luar biasa. Begitu pedasnya, sehingga orang merasakan seperti sensasi petasan yang meledak di mulut ketika menyantapnya. Menurut Mbak Warti, semula untuk setiap sepuluh kilogram daging diperlukan empat kilogram cabe atau lombok. Tetapi, karena banyak orang yang mengeluh sakit perut, formulanya diubah menjadi 10:2.

Tetap saja, bagi mereka yang tidak tahan pedas, mulut langsung seperti mati-rasa setelah menyantap hidangan super-pedas ini. Oseng-oseng mercon ini semula populer sebagai makanan rakyat yang dompetnya tipis. Dengan sedikit lauk, seporsi besar nasi bisa habis. Tetapi, popularitasnya segera membuat oseng-oseng mercon juga disukai kaum berduit. Bahkan, tak jarang tamu yang baru datang dari kota lain langsung mencari masakan ini.

Saya sendiri sebetulnya tidak seberapa takut dengan tingkat kepedasan masakan ini. Yang lebih saya takuti sebetulnya adalah lemaknya yang tebal. Saya sempat melihat panci masakan yang belum dipanaskan dan menyaksikan lemak yang putih membeku dalam perbandingan yang cukup besar. Setelah dipanaskan, lemak itu lumer menjadi masakan yang sangat berminyak. Dagingnya sendiri sudah empuk, karena masakan ini ternyata tidak sekadar dioseng, melainkan dimasak lama dengam bumbu yang kaya.

Tetapi, ternyata kadar lemak dan kadar cabe yang tinggi dalam sajian ini tidak membuat orang kapok makan di sana. Ketika belum lama ini saya singgah ke sana lagi, ada tamu dari Pontianak yang memesan oseng-oseng mercon seharga Rp 200 ribu untuk dibawa pulang esok harinya ke kampung halamannya.
Ada lagi makanan rakyat yang di Solo dan Yogya dikenal dengan nama Sate Jamu. Wong jamu kok disate? Jamu ternyata kata sandi yang tidak berhasil dari bahasa wolak-walik. Yang dimaksud adalah sate dari daging anjing. Mohon maaf bila istilah ini mengejutkan Anda. Buktinya, cukup banyak penjual sate jamu di Yogya dan Solo.

Mungkin sekali istilah jamu dipakai karena adanya khasiat dari masakan ini terhadap kesehatan. Setelah makan sate jamu, badan jadi terasa seger sumyah. He he he, ada-ada saja istilah orang Yogya … Kadang-kadang, warung tenda yang menjual sate jamu ini juga memakai label lain, yaitu rica-rica. Yang dimaksud adalah daging anjing yang dimasak pedas seperti masakan rica-rica a la Manado. Sebetulnya, masakan daging anjing ini sudah lama menimbulkan tanda tanya di benak saya. Mengapa daging anjing punya konsumen di kedua kota Jawa itu? Bahkan, tidak jauh dari Hotel Melia Purosani saya selalu melihat dua pedagang nasi goreng yang jelas-jelas menulis B2 (daging babi) dan selalu laris setiap malam. Pelanggannya selalu antre menunggu giliran. Padahal, kalau dilihat pelanggannya justru tidak banyak dari suku-suku bangsa yang membolehkan warganya makan daging babi maupun anjing.
Di Yogyakarta juga dapat ditemui beberapa penjual Sate Jaran yang dibuat dari daging kuda. Sebetulnya, sate dari daging kuda ini semula populer di Desa Segoroyoso, di jalan antara Yogya dan Imogiri (kompleks makam raja-raja Mataram). Di Segoroyoso banyak dijumpai jagal sapi dan kuda, dan karena itu sate kuda mulai populer di sana. Sekarang, sudah ada beberapa penjual sate kuda yang buka dagangan di Yogyakarta. Sebetulnya, tradisi makan daging kuda tidak eksklusif orang Yogya. Orang Italia dan Prancis pun mengenal masakan dari daging kuda. Di Kenya, saya bahkan pernah mencicipi steak dari daging zebra.

Sate Karang dan Lontong Sayur

Bicara soal sate, mau tidak mau saya harus menyebut Sate Karang di Kotagede. Teman saya, ekonom kondang dari UGM, Tony Prasetiantono, menyebutnya sebagai sate mayit alias sate mayat. Harap jangan salah duga, satenya tidak dibuat dari daging mayat. Ini termasuk guyonan ala Yogyakarta yang tenang tapi mengerikan itu. Karang adalah nama desa di Kotagede, kota kecil yang menempel dengan Yogyakarta. Di situ ada sebuah pemakaman umum dan lapangan sepak bola. Penjual sate ini, “Sate Pak Prapto”, berjualan sejak sore hari di pinggir lapangan sepak bola yang persis berada di sebelah kuburan. Dari situlah muncul istilah sate mayit alias sate mayat itu.

Satenya merupakan sate sapi manis yang mirip dengan Sate Kempleng di Ungaran, dekat Semarang. Tetapi, ada dua keunikan yang sangat khas Sate Karang. Pertama, sate disajikan dengan tiga pilihan saus atau sambal, yaitu: sambal kacang, sambal kecap, atau saus kocor. Yang dimaksud saus kocor ini mirip sambal rujak yang manis-asam dan encer. Saya sarankan Anda memilih saus kocor ini yang memang sangat khas. Menurut anak muda yang sekarang mengoperasikan warung sate ini, dia sudah merupakan generasi ketiga dari “pencipta” Sate Karang.

Sate sapi manis ini disajikan sebagai lauk untuk lontong sayur yang sebetulnya merupakan sajian utama. Nah, inilah kekhasan yang kedua dari Sate Karang. Para pelanggan duduk lesehan di atas tikar yang disediakan. Minumnya? Es beras kencur.

Wis jan, suegeerrrrr tenin!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *