Pentingnya Bimbingan Investasi bagi Insan Perbendaharaan

Oleh Ahmad Abdul Haq

Bekerja di Ditjen Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan dengan take home pay yang cukup tinggi pasti membuat para pegawai merasa bangga dan bahagia. Namun, kurangnya pemberian pemahaman dari organisasi akan pentingnya investasi bagi pegawai berpotensi menimbulkan masalah finansial kelak pada saat pegawai menjalani masa purnabhakti alias pensiun.

Sepanjang ingatan penulis berdasarkan pengalaman selama bekerja di DJPb dan di unit sebelum reorganisasi 2015, memang bisa dikatakan bahwa organisasi tidak pernah memberikan pencerahan kepada para pegawai akan pentingnya investasi untuk masa depan. Padahal, investasi nyata-nyata penting untuk menjamin finansial prima di masa pensiun. Bahkan ketika Kemenkeu menerbitkan surat utang negara (SUN) dengan berbagai jenisnya, pegawai DJPb tidak cukup mendapatkan sosialisasi mengenai seluk-beluknya.

Kemenkeu melalui Badan Diklat Keuangan memang menyelenggarakan diklat untuk menghadapi pensiun yang disebut dengan Diklat Teknis Umum (DTU) Persiapan Purnabhakti. Berapa efektif diklat purnabhakti itu bagi calon pensiunan Kemenkeu? Seorang pegawai Kemenkeu bernama Gunung Silalahi pada 2016 pernah menulis mengenai itu di platform blog Kompasiana. Berdasarkan data yang dimilikinya, Gunung menyampaikan bahwa diklat purnabhakti sebagian besar diikuti oleh pegawai yang hampir pensiun.

Gunung menilai bahwa diklat purnabhakti yang diberikan kepada pegawai yang hampir pensiun tidak lagi cukup efektif. Setidaknya ada beberapa alasan kenapa demikian, yaitu kurangnya kemampuan dan kesiapan menguasai lapangan, gejala post-power syndrome, kurangnya kemampuan menguasai teknologi informasi, dan kurang siapnya menghadapi risiko rugi. Sambil mencontohkan beberapa tokoh pengusaha yang kebanyakan mengalami kesuksesan karena sudah merintis sejak usia muda, Gilang menyarankan agar diklat purnabhakti mulai diperkenalkan kepada para pegawai yang masih berusia muda.

Situs Republika Online pada 20 April 2017 menurunkan tulisan berjudul “90 Persen Pekerja di Indonesia tak Siap Hadapi Masa Pensiun”. Angka 90% dalam judul tulisan itu memang mencakup semua pekerja termasuk karyawan swasta atau pengusaha yang tidak mengikuti program pensiun. Artinya, persentase PNS yang tidak siap pensiun tidak sampai sebesar itu. Namun, tulisan itu mengungkapkan fakta bahwa setelah pensiun tingkat pengeluaran tidak menurun signifikan, berkisar 94 persen dari pengeluaran sebelum pensiun, alias hanya berkurang 6%. Di sisi lain, pemasukan dari uang pensiun maksimum hanya 80% dari penerimaan sebelum pensiun.

Bisa kita bayangkan bagaimana kondisi keuangan pensiunan Kemenkeu yang terbiasa membawa pulang uang banyak. Pejabat eselon IV DJPb yang akan pensiun saat ini. mungkin hanya akan menerima uang pensiun sebesar 20% dari take home pay selama ini. Belum lagi ungkapan fakta lain, bahwa ternyata sebagian pegawai negeri masih memiliki pinjaman di bank ketika memasuki pensiun. Ironisnya lagi, terungkap pula bahwa paling tidak ada 7 dari 10 pensiunan yang tetap harus bekerja untuk melanjutkan hidup.

Tulisan Gunung dan artikel di Republika di atas cukup menguatkan alasan bahwa memang persiapan menghadapi pensiun harus diberikan sejak awal, jauh sebelum masa pensiun itu tiba, untuk memastikan bahwa semua pegawai Kemenkeu siap memasuki pensiun. Skema baru pembayaran perencanaan pensiun bagi PNS yang saat ini sedang disusun rancangan peraturannya, mungkin signifikan untuk meningkatkan uang pensiun bagi para pegawai ber-take home pay tinggi. Namun, tambahan penghasilan pasif dari hasil investasi pasti akan meningkatkan kesejahteraan para pensiunan.

Salah satu yang dapat dianjurkan kepada pegawai untuk mempersiapkan kebebasan finansial di masa pensiun adalah investasi jangka panjang, yaitu dalam jangka waktu lebih dari lima tahun. Banyak jenis investasi yang ada di sekitar kita. Ada yang perlu modal besar, misalnya investasi properti untuk disewakan. Namun, itu tidak mudah dijangkau dalam waktu singkat, bahkan mungkin memerlukan utang ke perbankan untuk memperoleh aset properti.

Sebagian orang menyisihkan uang secara rutin setiap bulan untuk ditabungkan pada tabungan reguler di bank. Meskipun cara tersebut dapat mengumpulkan uang dalam jumlah besar di masa datang, jumlah uang yang terkumpul dalam tabungan hanya sedikit sekali mengalami peningkatan karena tabungan reguler memberikan imbal hasil dalam bentuk bunga atau bagi hasil dalam persentase yang sangat kecil. Bunga/bagi hasil yang kecil mengakibatkan akumulasi tabungan tidak cukup melindungi modal penabung dari “kejahatan” inflasi.

Sebagian lagi menabungkan uang dalam bentuk deposito berjangka. Namanya berjangka, uang deposito hanya dapat diambil dalam jangka waktu yang ditentukan, tidak dapat diambil setiap saat seperti tabungan, namun memberikan imbal hasil yang lebih baik daripada tabungan.

Di luar dari tabungan dan deposito, ternyata terdapat instrumen investasi yang sering terdengar, namun seperti masih terasa asing bagi sebagian besar orang, yaitu investasi di pasar modal. Beberapa jenis investasi di pasar modal yang populer adalah obligasi, reksadana, dan saham. Dikatakan “masih terasa asing”, karena memang investor di pasar modal di Indonesia memang bisa termasuk sedikit jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Investor saham, misalnya, saat ini hanya sekitar 600 ribu orang di seluruh Indonesia.

Banyak pakar investasi berpendapat, bahwa di antara instrumen obligasi, reksadana, dan saham, yang memberikan imbal hasil paling tinggi adalah saham. Dengan imbal hasil yang paling tinggi, risiko investasi saham juga paling tinggi, namun risiko tersebut dapat diminimalkan jika investor mendapatkan bekal pengetahuan yang cukup mengenai fundamental perusahaan. Obligasi dan reksadana juga memiliki imbal hasil yang sesuai dengan tingkat risikonya. Inilah yang dikenal dengan ungkapan “high risk, high return”. Artinya, semakin tinggi risiko dari sebuah instrumen investasi, akan semakin tinggi imbal hasil yang diperoleh. Nah, di sinilah terletak pentingnya pemberian bimbingan investasi bagi investor, karena untuk sukses berinvestasi saham diperlukan “mentor” yang memadai. Mentor berfungsi untuk membantu meraih return yang tinggi dan menekan risiko menjadi serendah-rendahnya.

Untuk keperluan mentoring, DJPb dapat memberikan pelatihan investasi kepada para pegawai yang berminat untuk berinvestasi di pasar modal. Kita dapat mengundang profesional yang menyediakan jasa sebagai mentor investasi. Penyedia jasa semacam itu sudah cukup banyak. Sebagai contoh dapat disebutkan di sini, mentor untuk investasi saham adalah Galeri Saham, Ellen May Institute, dan banyak lagi yang lainnya. Contoh mentor untuk investasi reksadana adalah Ryan Filbert. Sesekali, kita juga dapat mengundang pelaku investasi yang sukses untuk berbagi kisah suksesnya, antara lain Lo Kheng Hong, yang dikenal sebagai “Warren Buffet-nya Indonesia”. Warren Buffet sendiri adalah warga Amerika Serikat yang menjadi investor paling sukses di dunia.

Selain melakukan mentoring, DJPb/Kemenkeu perlu melirik kemungkinan dibukanya Galeri Investasi PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Galeri Investasi adalah nama baru untuk “Pojok BEI” yang selama ini ada di beberapa kampus perguruan tinggi di Indonesia, yang menjadi pangkalan BEI untuk memberikan edukasi investasi bagi masyarakat. Saat ini Galeri Investasi BEI tidak hanya di kampus-kampus, namun juga sampai ke desa, rumah sakit, pasar tradisional, bahkan pangkalan ojek. Dengan demikian, galeri investasi dapat dibuka di kantor-kantor DJPb/Kemenkeu baik di pusat maupun di daerah.

Kiranya makin nyata pentingnya bagi institusi DJPb untuk memberikan bimbingan investasi kepada para pegawai, agar insan Perbendaharaan dapat meraih kehidupan hari tua yang jauh lebih baik. Di tengah semangat menggebu DJPb menjalankan misi mewujudkan pengelolaan kas dan investasi yang pruden, efisien, dan optimal dalam rangka pengelolaan keuangan negara, institusi ini perlu membimbing para pegawainya untuk mewujudkan pengelolaan kas dan investasi yang unggul pula.

Bacaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *