Perjalanan Seorang Bintang (1): Saya Samarkan dengan Rhoma…

Sumber: Harian Kompas, 20 Juli 1985

Kesibukan meningkat di ferry, antara pelabuhan Merak-Bakauheni. Satu bis berlu pengamanan khusus dari serbuan penggemar. Rhoma Irama bersama Sonetanya dalam perjalanan ke Bandarlampung, menyusul perlengkapan yang sudah berangkat dua hari sebelumnya, berupa iring-iringan sepuluh truk dan dua diesel. “Perjuangan ini harus didukung ritme,” ujar Rhoma.

Ini (seperti biasanya) merupakan awal dari pagelaran Soneta yang selalu berkesan akbar. Sementara dangdut Soneta, seperti dikatakan Rhoma, meskipun berakar dari musik Melayu, tapi meninggalkan sifat terlalu gemulai. Pada Soneta yang menonjol ialah hentakan, dan penuh gairah.

Yang diboyong oleh konvoi truk itu sound system, peralatan musik, dan panggung ketika dipasang di lapangan bola di Tanjungkarang berukuran dari ayap ke sayap kanan dan kiri 55 meter. Sayap-sayap panggung untuk dudukan loud speaker berkekuatan 30.000 watt. Ini seperti digunakan Deep Purple, sepuluh tahun lalu. Belum lagi tata cahaya, di mana Rhoma katanya menanamkan investasi di lampu-lampu antara 100 juta dan 200 juta rupiah.

Sedangkan mengenai kata perjuangan, ritme, inilah Soneta. Mereka tidak meratap menyayat, melainkan menhentak, menggebrak dengan ajakan-ajakan langsung dan dakwah. Meskipun ini dangdut, tapi seorang Rhoma tak perlu lagi berlenggak-lenggok. Dia mengepalkan tangan, menuding, sesekali menghentakkan kaki.

Terlebih lagi bentuk lagu, musik, memang sudah sedemikian rupa. Penuh sentakan, digarisbawahi alat-alat tiup, bahkan kini di timpani yang dipukul menggebu. Ini semua mencuatkan kesan unik, apalagi diletakkan di konteks musik Indonesia. Sementara semua jenis musik Indonesia, bahkan yang berbendera rock jatuh dalam kecengengan begitu mecipta lagu sendiri. Rhoma dengan Soneta, bergerak dari musik gemulai bergaya luas, bahkan keras.

Dan di hadapannya, seperti di Tanjungkarang tanggal 12, 13, 14 Juli 1985, setiap malam lebih dari 40.000 penonton bergemuruhkan tepukan, sesekali ikut berteriak-teriak.

Puluhan ribu penonton, kadang harus ada yang tergencet mati seperti di Surabaya beberapa tahun lalu, itulah penggemar Rhoma. Pertunjukan di Tanjungkarang dilimpahi penonton yang juga mengaku berasal dari daerah lain seperti Metro di Lampung Tengah, atau Kotabumi di Lampung Utara, serta pelosok-pelosok lain.

Pada massa seperti menjadi sasaran musiknya ini (sering disebut sebagai “kelas bawah”). Rhoma berdiri bukan melulu sebagai penghibur. Aura lain darinya ialah simbol moralitas agama dengan sifat agak formalistik.

Bahasa lagunya lurus. Lihat seperti salah satu lagunya. Modern … tak sembahyang bukan modern, tapi suatu keingkaran/urakan bukanlah modern, bahkan nyaris seperti hewan…. Atau yang lain, seperti lagu Emansipasi Wanita? yang terasa sugestif. Petikan syairnya: … majulah wanita, giatlah bekerja, namun jangan lupa, tugasmu utama/apa pun dirimu, namun kau adalah ibu rumah tangga….

Dengan lagu-lagunya (nantinya juga dengan gaya kesehariannya) Rhoma Irama telah menunjukkan sikap yang jelas, posisinya yang jelas yakni juru bicara kelas bawah, tema lagu, sampai bahasa yang pas untuk publiknya.

***

Itu semua tak lain, memang sudah sejak awalnya. Pemusik-pemusik Soneta berkumpul sejak tahun 1971. Yaitu ketika dangdut (kelahiran kata itu sendiri) dilecehkan. Tapi Rhoma yang waktu itu masih bernama Oma Irama, menerima istilah tersebut dengan sikap bangga. Pada gilirannya ketika dangdut berjaya, suka atau tidak, semangat anti-elitisme telah melekat di dangdut.

Dan dia memperoleh gelar seperti film yang pernah dibintanginya, Raja Dangdut (1977).

***

Akhirnya Oma Irama bermain penuh pada peran yang melekat padanya. Soneta resmi didirikan tanggal 13 Oktober 1973. “Saya beli alat satu per satu. Pertama kali hanya punya tifa. Kemudian beli gitar melody, bas, sebelum berkembang seperti sekarang,” tuturnya.

Tapi selain peningkatan investasi material itu, tak kalah penting citra yang terus dibangun. Sementara pamor Soneta kian terang.

Sepulang naik haji tahun 1975, Oma muncul dengan dandanan lain. Rambut tidak lagi gondrong, namun dicukur rapi. Muka juga klimis, dengan tetap menyisakan jenggotnya. Namanya pun ditambahi awalan R (raden), H (haji) menjadi Rhoma Irama. Raden itu katanya punya asal kata raaddin (رأى الدين), artinya melihat agama atau pengetahuan agama.

“Saya adalah raaddin. Konsekuensi orang yang mau pakai raaddin itu harus suka agama. Maka setelah naik haji saya tak ragu. Meski itu tak mau saya tonjolkan, saya samarkan dengan Rhoma,” katanya.

Musik kelas bawah, agama, tak pelak lagi. Rhoma yang telah memberi terobosan baru pada musik Melayu dengan mengambil saripatinya lantas menggabungkan dengan rock, kokoh posisinya. Fanatisme penggemar mungkin bukan melulu atas citranya sebagai penghibur, tapi juga tokoh agama. Kharisma ini masih dibelit-belit lagi dengan faktor lain, di antaranya ketika Rhoma terjun berkampanye politik mendukung PPP pada pemilu 1977 dan 1982. Sebagai pengumpul massa waktu itu, kekuatannya boleh jadi sepuluh kali lipat Ridwan Saidi, Naro, Sudarji atau sebut siapa saja tokoh PPP.

Maka, suatu saat, wartawan dari AS dari TV National Geography, ketika ingin menulis tentang Jawa pun ingin dikenalkan dengan Rhoma Irama, Michael Jackson Indonesia katanya. Tapi bukan. Rhoma bukan Michael, dia fenomena yang lebih luas dari penghibur….

***

Atau toh jika cap bandrol Rhoma tetap penyanyi, penghibur, maka Rhoma paling sedikit menentukan jalur, sikap serta posisi, yang boleh dikata paling pasti dibanding pemusik-pemusik Indonesia lain. Pada lirik lagu misalnya, sejak album Begadang telah seperti hendak dijelaskan, di mana Rhoma berdiri, kelompok mana yang diwakilinya.

Bagi mereka yang punya uang, berdansa-dansi di night club/bagi kita yang tak punya uang, cukup berjoget di sini…. Kadang juga dengan gaya penolakan, yang terasa makin kokoh, keterikatan Rhoma dengan publiknya. Misalnya dari album Gitar Tua, … Bagi pemusik yang anti-Melayu, boleh benci jangan menggangu/biarkan kami mendendangkan lagu, lagu kami lagu Melayu….

Kejelasan tema, kejelasan pengungkapan, sekaligus posisi yang diambilnya, mungkin itu yang menyebabkan Rhoma begitu diterima, kelompok kelas bawah tersebut. Bandingkan dengan misalnya Guruh Soekarnoputra atau tariklah misalnya sampai Leo Kristi. Dua nama itu yang satu dengan gaya elitis, yang lain dengan gaya trubador yang merakyat, boleh dikata semangat kerakyatannya berarti sudut pandang rakyat biasa. Itu lebih untuk “mengajari” kalangan elit atau juga menengah ke atas, tentang masalah-masalah “kelas bawah”.

Rhoma lain. Musiknya berakar dari kelas bawah, bersuara dengan cara kelompok yang diwakilinya, di setiap pertunjukan penonton dengan fasih menirukan lagu-lagunya.

Ditopang oleh semua itu pula, Rhoma membangun kebesaran sah dan diterima. Unit-unit usahanya selain berupa hiburan musik itu, juga studio rekaman Soneta Record, dan perusahaan film Rhoma Film.

Setiap kali, penampilan akbar Rhoma Irama bersama Soneta, mendapat sambutan hangat. Ketika Rhoma mengucapkan salam khasnya, Assalamu’alaikum, seperti bergetar lapangan di Tanjungkarang dengan ucapan balik, “Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”.

(bersambung)

2 Responses to Perjalanan Seorang Bintang (1): Saya Samarkan dengan Rhoma…

  1. Nasrum says:

    Maju terus Rhoma Irama dengan soneta dan voice of moslem, Allahu Akbar. From Makassar we support you to President of the Republic of Indonesia

  2. […] grup deep purple dengan kawan pesepedaan, terlahir cerita bahwa beliau dulu konon yang membeli peralatan panggung grup tersebut kala manggung di jakarta pada tahun […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *