Priok, Komnas HAM, dan Nasib RUU Pengadilan HAM
Sumber: Satunet.com
- http://satunet.com/artikel/isi/00/07/03/19610.html
- http://satunet.com/artikel/isi/00/07/08/19611.html
- http://satunet.com/artikel/isi/00/07/10/19614.html
- http://satunet.com/artikel/isi/00/07/15/19616.html
Oleh: Munir, S.H.
Daftar Isi
Bagian I
Komnas HAM mengumumkan hasil penyelidikan atas kasus Tanjung Priok dan menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat itu dilakukan baik oleh aparat militer maupun massa yang berunjuk rasa pada tanggal 12 September 1984 itu. Lebih jauh Komnas HAM menyatakan, tidak terbukti adanya pembunuhan massal, meskipun dinyatakan peristiwa itu telah merenggut 23 orang korban meninggal yang diterjang peluru petugas. Pengumuman itu langsung mengundang ketidakpuasan yang amat luas. Utamanya ketidakpuasan yang berakar dari dugaan ketidakjujuran atas apa yang diklaim oleh komisi sebagai kerja maksimal dalam melakukan penyelidikan.
Hasil penyelidikan ini memang mengandung berbagai cacat fundamental apabila dilihat dari perspektif hukum, instrumen HAM maupun politik. Tulisan berikut ini akan memberikan uraian kritik atas laporan kerja Komnas HAM itu, serta menempatkannya sebagai langkah koreksi atas adanya RUU Pengadilan HAM yang akan menjadi dasar bagi kerja Komnas HAM dan pengusutan pelanggaran HAM di kemudian hari.
Sejak awal pembentukan Komisi Penyelidik dan Pemeriksa Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T) oleh Komnas HAM, telah terjadi pro dan kontra soal dasar kerja serta keanggotaan komisi penyelidik itu. Pihak Komnas HAM pada awalnya menyatakan bahwa penyelidikan ini adalah penyelidikan yang didasari oleh kemauannya mewujudkan tuntutan publik, guna pengusutan hukum terhadap adanya pelanggaran HAM dalam kasus Tanjung Priok seperti yang telah dilakukan dalam kerja penyelidikan kasus Timor Timur.
Tuntutan masyarakat jelas cukup beralasan mengingat secara hukum, sejak adanya UU No 39 tahun 1999 tentang HAM dan Komnas HAM dan Perpu No 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, lembaga itu memiliki kewenangan sekaligus pemegang kewajiban pengusutan pro justisia (hukum) atas pelanggaran HAM berat.
Di samping itu, ada kritik atas adanya dugaan diskriminasi penerapan hukum atas kasus Timor Timur yang berorientasi terkesan semata-mata melindungi para Jendral dari ancaman tribunal internasional, ketimbang mengusut kasus-kasus yang berorientasi memberikan jawaban rasa keadilan masyarakat.
Setelah beberapa saat KP3T melakukan tugasnya, pihak korban kasus Tanjung Priok tidak puas dengan komposisi keanggotaan institusi penyelidik itu. Kekhawatiran itu didasari oleh kekhawatiran sikap para anggota Komnas HAM tidak cukup independen untuk melakukan pengusutan kasus pelanggaran yang penuh syak wasangka politik itu. Terlebih dari reaksi pihak-pihak yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur, pada saat KPP Timtim bekerja, telah menyebabkan berkembangnya disinformasi yang cukup luas bahwa Komnas HAM diskriminatif terhadap agama tertentu.
Komnas HAM dengan tegas menolak tuntutan masuknya unsur dari luar, dengan alasan mereka melakukan pengusutan tanpa menggunakan Perpu No 1 tahun 1999 tentang pengadilan HAM sebagai dasar hukum. Sebab pengangkatan unsur di luar Komnas HAM hanya dimungkinkan apabila Perpu tersebut dijadikan dasar hukum.
Argumen yang dikemukakan pihak Komnas HAM karena DPR telah menolak Perpu tersebut untuk diundangkan, maka Perpu ini tidak berlaku lagi. Sehingga kemungkinan pengangkatan unsur dari luar Komnas tidak mungkin. Belakangan argumen yang sama digunakan untuk membenarkan tindakan Komnas menolak melimpahkan hasil kerjanya kepada Jaksa Agung, atau pemeriksaan Pro justisia. Hal ini amat janggal apabila kita lihat dari bagaimana Komnas HAM dan pemerintah dalam kasus Timor Timur membela habis-habisan kewenangan Jaksa Agung untuk menyidik kasus itu, dengan argumen Perpu No 1 tahun 1999 tetap sah sebagai dasar hukum positif, meskipun DPR telah menolaknya.
Terlebih, menurut mereka, pemerintah belum pernah mengeluarkan ketentuan yang mencabut kembali Perpu tersebut. Hal ini diperkokoh dengan gagasan yang tercantum pada pasal 43 RUU Pengadilan HAM yang menyebut Perpu itu tetap berlaku, sampai RUU Pengadilan HAM diundangkan nantinya.
Hal ini cukup menjelaskan bagi kita bahwa memang terjadi upaya pengelabuan yang teramat kasar oleh pihak pemerintah dan Komnas HAM dalam pola standar ganda penerapan hukum ini. Seharusnya memang, secara teoritik, Perpu No 1 Tahun 1999 tentang pengadilan HAM itu tetaplah hukum positif yang berlaku mengikat terhadap semua pengusutan kasus dalam lingkupnya, sampai nanti RUU Pengadilan HAM diundangkan. Sehingga, argumen Komnas HAM yang menolak menerapkan Perpu itu dalam penyelidikan kasus Tanjung Priok bukanlah semata-mata soal dasar hukum, akan tetapi lebih diwarnai oleh sikap politik untuk menghindarkan sebuah penyelidikan yang serius melalui proses hukum yang benar akan kasus pelangaran HAM itu.
Ketika Komnas HAM melaporkan hasil kerjanya, sekaligus merekomendasikan kepada Panglima TNI untuk melakukan pengusutan tuntas terhadap aparatnya yang melakukan tindakan melanggar HAM, rekomendasi ini adalah pukulan balik yang amat berbahaya bagi upaya penerapan hukum. Perpu No 1 tahun 1999 dengan jelas menyatakan bahwa yang berwenang untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat adalah Pengadilan HAM dibawah Pengadilan Umum.
Di samping itu kelembagaan Polisi Militer maupun institusi militer lainnya tidak memiliki kewenangan apapun mempengaruhi dan turut terlibat dalam proses penyelidikan maupun penuntutan perkara kasus pelanggaran HAM. Lalu bagaimana mungkin, komisi justru membalikkannya dengan menyerahkan pada pihak militer, di mana seolah persoalan pelanggaran HAM itu hanya persoalan internal dalam tubuh TNI. Keanehan ini secara kasar dipertunjukkan lewat tindakan dan pernyataan-pernyataan Komnas HAM dalam ‘sowan politik’-nya di Mabes TNI tanggal 24 Maret 2000. Apapun alasannya, komisi justru telah bertindak bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan hukum yang berlaku dan kemauan melakukan pembaharuan hukum yang sedang diperjuangkan saat ini.
Sikap Komnas HAM yang bertolak belakang dengan keharusan itu kemudian tercermin pula pada semua alur logika penyelidikan dan laporannya. Secara umum laporan itu menawarkan beberapa kesimpulan yang patut disimak dan dikritisi. Sebab betapa berbahayanya sebuah pelaporan pelanggaran HAM dimitoskan kembali kepada publik tanpa kesalahan dan ditempatkan sebagai suatu yang mutlak. Sebab harus dihindari pula terbentuknya super body yang menentukan segala suatu tindakan kekuasaan benar dengan argumentasi HAM yang dipaksakan. Apa yang kemudian perlu dikritisi dari laporan Komnas HAM itu?
***
Bagian II
Inti dari laporan Komnas HAM dalam kasus Tanjung Priok itu antara lain,
(a) Peristiwa Tanjung Priok terjadi akibat massa pengunjuk rasa telah memaksakan kehendak dan mengancam keselamatan petugas militer yang berada di lapangan; (b) Tindakan massa itu dipengaruhi oleh pidato-pidato menghasut oleh para mubalig; (c) Massa pengunjuk rasa telah melakukan pelanggaran HAM berat karena menghasut dan terlibat pembakaran beberapa orang di sebuah apotik; (d) Tindakan aparat keamanan yang menembak massa adalah akibat keterdesakan dan keadaan memaksa, bahkan tindakan bela diri semata-mata; (e) Tidak terbukti adanya pembunuhan massal, meskipun diakui 23 orang terbunuh akibat terjangan peluru petugas.
Kesimpulan yang demikian sulit dipahami apabila dilihat dari keharusan suatu penyelidikan pelanggaran HAM. Paling jelas secara umum tidak mungkin sebuah penyelidikan pelanggaran HAM justru disibukkan mencarikan alasan pembenaran tidakan pelanggaran HAM itu sendiri. Kesemua point kesimpulan itu justru menunjukkan konstruksi yang semata-mata mencoba menolak bahwa memang terjadi tindak kejahatan kemanusian oleh negara, kalaupun diakui ada kekerasan negara itu pun sudah dapat dibenarkan dengan berbagai argumen penyerangan massa.
Bahkan sulit dipahami bagaimana mungkin Komnas HAM menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM berat oleh massa berupa penghasutan. Sejauh ini tidak ada ketentuan dalam konvenan HAM yang meletakkan unsur penghasutan sebagai pelanggaran HAM. Ini amat memprihatinkan, bagaimana mungkin Komnas HAM dapat membuat sendiri kerangka fiktif tentang pelanggaran HAM, bahkan mungkin hanya mereka-reka apa sebenarnya tindakan pelanggaran HAM itu.
Komnas HAM menjelaskan bahwa tindakan penembakan itu karena keadaan terpaksa. Kalau memang demikian, adakah pelanggaran HAM dilakukan karena keadaan terpaksa? Jawabannya jelas tidak. Karena secara teoritik suatu tindakan yang dilakukan karena terpaksa untuk membela diri adalah sah dan tidak dapat dituduh melakukan pelanggaran HAM. Dari posisi ini Komnas HAM ingin menjelaskan secara terselubung bahwa tidak ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat dalam peristiwa Tanjung Priok. Dan sebaliknya pelaku pelanggaran HAM berat itu adalah massa.
Sekali lagi kesalahan fatal dilakukan oleh komisi dengan menuduh masyarakatlah yang melakukan pelanggaran HAM berat. Sebab apa yang dimaksud dengan Pelanggaran HAM berat dalam Perpu No 1 tahun 1999 kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam Konvenan Jeneva 1949, yaitu kejahatan yang diklasifikasikan sebagai extraordinary crimes, di mana kejahatan itu adalah suatu kejahatan yang berat dan dahsyat yang dilakukan oleh negara secara terencana, sistematik dan meluas, meliputi tindakan pembunuhan, penghilangan orang, penyiksaan dan seterusnya. Lalu bagaimana mungkin masyarakat dinyatakan telah melakukan pelanggaran HAM berat?
Lebih kasar ketika disimpulkan bahwa tidak terbukti adanya pembunuhan massal. Bagaimana mungkin dengan merujuk pada angka 23 orang korban meninggal akibat penembakan itu, dinyatakan tidak terbukti adanya pembunuhan massal. Padahal merujuk pada berbagai ketentuan internasional dan hukum kebiasaan internasional, tiga orang tewas telah dikategorikan sebagai pembunuhan massal. Lagi-lagi kesimpulan Komnas HAM sangatlah janggal dan tidak sama sekali memiliki pemahaman yang cukup terhadap keharusan penyelidikan HAM yang benar.
Tetapi persoalannya kemudian, apakah benar pengetahuan Komnas HAM terhadap berbagai standar HAM dan penyelidikan seburuk itu? Saya rasa tidak. Sebab apa yang dilakukan komisi itu mencerminkan dua hal sekaligus, para penyelidik KP3T bersikap politis terhadap hal yang diselidikinya, serta mereka sangat dimungkinkan diperkompleks dengan kurangnya pengetahuan instrumen HAM. Persoalan politik yang muncul dalam rumusan laporan itu sangat menonjol, terutama apabila dilihat dari bagaimana rumusan umum peristiwa Tanjung Priok itu.
Para penyelidik memposisikan diri, sekaligus menggunakan kacamata rezim Orde Baru dalam melihat kritik dan adanya perlawanan masyarakat terhadap kebijakan azas tunggal. Elemen-elemen perlawanan terhadap azas tunggal dituduh telah melakukan penghasutan. Kata kunci ‘penghasutan’ yang dipakai berulang-ulang oleh Komnas HAM dalam laporannya menunjukkan betapa kuatnya watak anti peran politik rakyat mengusai alam pikir para penyelidik. Bahkan sampai menyebut tindakan menghasut itu sebagai pelanggaran HAM berat. Di samping itu, di beberapa bagian disebutkan bahwa acara pengajian dan pengumpulan massa yang dilakukan itu tanpa mengindahkan aturan perizinan. Saya kira cara pandang Komnas HAM dalam hal ini tidak lebih hanyalah seperti menghidupkan kembali mummi dari Mesir ke dalam kehidupan modern.
Problem ini juga kemudian melahirkan upaya ‘sowan politik’ Komnas HAM ke Mabes TNI pada tanggal 24 Maret 2000. Dilihat dari substansi pembicaraannya, jelas menunjukkan adanya upaya Komnas HAM mensubordinasikan diri di bawah institusi militer itu. Komnas HAM sibuk menyampaikan bahwa apa yang mereka lakukan adalah bukan penyelidikan sebagaimana KPP Timor Timur, akan tetapi hanya monitoring. Lebih jauh disampaikan bahwa para korban berkeinginan semata-mata memperoleh ganti rugi atas akibat yang diderita selama ini dan seterusnya. Hal ini dapat dilihat sebagai kerangka memperoleh ‘restu’ TNI atas permainan hukum yang akan dilakukan, sembari meyakinkan pihak TNI untuk tidak perlu terlalu khawatir terhadap penyelidikan yang dilakukan.
Padahal restu atau apa pun itu sama sekali tidak diperlukan oleh suatu lembaga penyelidikan yang telah memperoleh kewenangan hukum sah untuk melakukan penyelidikan. Sehingga tampak sekali mereka lebih mengedepankan hubungan-hubungan politik dan upaya memperoleh restu, ketimbang patuh dan sadar akan kewenangan dan kewajiban hukum sebagai penyelidik yang dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku.
Semua hal ini tidak terlalu mengherankan apabila dilihat dari komposisi mereka yang menjadi anggota tim penyelidik serta mereka yang mendominasi keputusan di tubuh Komnas HAM. Anggota-anggota itu kebanyakan purnawirawan TNI yang mewakili watak konservatif dari masa itu, sementara anggota yang dari unsur sipil adalah mantan birokrat dan partai, menjadi tukang stempel tindakan politik Orde Baru. Tidak heran sebenarnya mereka amatlah partisan terhadap kepentingan melindungi dosa-dosa masa lalu, sementara pengusutan pelanggaran HAM dilihat sebagai ancaman yang berbahaya serta mengandung jebakan-jebakan politik.
Sehingga, tampaknya para penyelidik ini sadar benar bahwa pengusutan yang mereka lakukan adalah suatu proses yang mengoreksi suatu kekuatan yang dulu pernah berkuasa, serta mereka adalah bagian di dalamnya. Tentu kita memang akhirnya memahami lebih realistis bahwa apa yang muncul di laporan itu, lahir dari mereka yang jelas berkepentingan untuk melindungi diri sendiri. Harapan masyarakat yang begitu besar atas pengusutan itu memang cenderung diabaikan. Bahkan tampaknya Komnas HAM melakukan politik ‘pasang badan’ atas hasil kerja itu.
***
Bagian III
Langkah ke depan
Kesalahan fatal demikian jelas berbahaya bagi masa depan upaya penegakan hukum dan membangun sistem pertanggungjawaban hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM. Yang jelas tidak dapat dihindari, upaya pembaharuan itu harus menghindari tindakan tidak jujur dan main-main hukum seperti disebutkan dalam tulisan sebelumnya. Langkah ke depan itu haruslah mencakup tiga aspek sekaligus, pembaharuan hukum, aparatus, serta membangun kontrol masyarakat atas semua proses dan upaya penegakan hukum. Kasus pengusutan Priok juga telah mendidik kita bersama perihal betapa bahayanya suatu penyelidikan yang mengabaikan kejujuran dan independensi serta kontrol masyarakat. Lalu bagaimana seharusnya pembaharuan yang harus dilakukan untuk menghindari peristiwa demikian tidak terulang kembali.
Jawaban jangka pendek tampak tertumpu pada pembaharuan hukum yang sedang dilakukan, yaitu dalam pembahasan RUU Pengadilan HAM. RUU itu memang harus memberikan jawaban terhadap beberapa permasalahan di atas. Yaitu harus mampu mengeleminir kemungkinan para penegak hukum tidak jujur dan tidak independen terhadap kewajibannya, yaitu berarti kontrol dan mekanisme keanggotaan kelembagaan Komnas HAM. Juga mampu menghapus kendala hukum yang terus-menerus menimbulkan kekebalan hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM. Serta bagaimana mengembangkan sistem kontrol masyarakat yang cukup memadai dan dapat menjamin berlangsungnya proses penyelidikan dan penuntutan melalui proses hukum atas kasus pelanggaran HAM.
Untuk itu tulisan ini akan menyorot pula apakah RUU Pengadilan HAM yang diajukan pemerintah Rabu 7 Juni 2000 lalu kepada DPR dapat memberikan jawaban atas berbagai soal di atas.
Pengajuan RUU Pengadilan HAM sendiri diajukan menyusul penolakan DPR beberapa bulan sebelumnya terhadap Perpu No 1 tahun 1999 tentang Peradilan HAM yang dinilai jauh dari sempurna. Ditilik dari proses kelahirannya, memang tidak mungkin ditolak bahwa RUU ini adalah reaksi dari ancaman internasional atas berbagai pelanggaran HAM di Timor Timur. Sehingga RUU Pengadilan HAM sebenarnya masih sebuah langkah pragmatis, mengingat ancaman ketentuan konvensi Jenewa tahun 1949 yang mengatur tentang pembentukan tribunal kejahatan kemanusiaan. Meskipun demikian langkah ini jelas diperlukan untuk mengatasi belantara impunitas rezim kekuasaan dan militer dalam sistem hukum nasional
Sebagaimana selama ini kita saksikan, bagaimana masyarakat menghadapi kebuntuan yang hampir mematahkan semangat dalam proses menunggu upaya penegakan hukum bagi kasus-kasus pelanggaran HAM seperti dalam kasus penculikan, Talangsari- Warsidi, Mei, Aceh, Ambon dan seterusnya. Kasus Priok yang telah di ujung hidung terpatah dengan kasar dan brutal. Untuk melihat apakah RUU ini telah memiliki jangkauan ke depan bagi penegakan dan penyelesaian berbagai bentuk pelanggaran HAM itu, penting untuk dilihat beberapa hambatan riil yang selama ini mengakibatkan permasalahan HAM terbengkalai.
Faktor-faktor itu antara lain: pertama, hukum materiil dalam KUHP tidak menjangkau kejahatan terhadap kemanusiaan yang lahir dari satu kebijakan (baik itu bersifat tindakan langsung atau membiarkan dengan sengaja sebuah kejahatan kemanusiaan yang sedang berlangsung) di tingkat negara (extraordinary crimes) yang bersifat meluas sistematik, mengingat KUHP hanya menjangkau kejahatan kriminal biasa (ordinary crimes).
Kedua, Hukum Acara Pidana baik yang diatur melalui KUHAP dan KUHAP Militer memberikan perlindungan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan melalui prosedur pembuktian yang hanya bergerak pada pelaku-pelaku langsung di lapangan. Hal ini merupakan perpanjangan dari kelemahan KUHP.
Ketiga, adanya dualisme peradilan pidana, yaitu peradilan pidana di peradilan umum dan di peradilan militer. Hal ini jelas bertentangan dengan azas peradilan yang jujur dan tidak memihak, serta bertentangan dengan prinsip persamaan di depan hukum. Disamping itu, khusus untuk kalangan militer, para pelaku diberikan perlindungan dan kekebalan hukum melalui kelembagaan perwira penyerah perkara (pepera) dan atasan yang berhak menhukum (ankum).
Keempat, adanya dominasi politik oleh negara yang demikian luas atas hukum, sehingga tidak terdapat peluang bagi pengusutan kejahatan oleh negara ataupun alat-alat negara. Pengusutan menjadi semata-mata kebijakan negara dan bukan bagian dari prinsip kehidupan hukum yang imparsial.
Kelima, adanya pembenaran moralitas dan hukum terhadap tindakan aparatus dengan alasan-alasan memperjuangkan integrasi, menjaga stabilitas keamanan, atau pun menyelamatkan ideologi negara.
Bagian III belum selesai, Ahmad kehilangan jejak di situs Satunet.com
***
Bagian IV
Lebih jauh RUU Pengadilan HAM mencoba mengadopsi hukum kebiasaan internasional dengan mengabaikan asas non retroaktif guna menjawab problem ketidakadilan. RUU Pengadilan mengedepankan ketentuan yang berlaku retroaktif, yaitu bahwa ketentuan ini dapat mengikat atau menghukum kasus yang terjadi sebelum undang-undang ini diterbitkan.
(d) Soal ini telah menjadi prokontra yang cukup berkepanjangan. Sebagian pendapat menyatakan hal ini bertentangan dengan azas legalitas dan HAM. Secara umum terdapat dua argumen pembenaran yang melihat ketentuan semacam itu sah adanya.
Pertama, pemberlakuan ketentuan tersebut sah karena hal itu tidak bertentangan dengan HAM dan asas non retroaktif, karena setiap bangsa di dunia dianggap terikat oleh ketentuan internasional yang mengatur larangan tindakan tersebut sejak bangsa itu merdeka dan mengakui keberadaan PBB, hukum internasional dan hukum kebiasaan internasional.
Kedua, pemberlakuan retroaktif itu meskipun bertentangan dengan asas legalitas dan dilarang oleh Konvenan Hak Sipil, akan tetapi untuk keadilan dan berdasarkan hukum kebiasaan internasional hal itu dapat diberlakukan.
(e) Memberikan kewenangan Komnas HAM untuk menjadi lembaga tunggal bagi penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat. Para penyelidik dapat terdiri dari anggota Komnas HAM atau pihak lain yang diangkat sebagai anggota ad hoc. Dalam hal ini, baik Polri maupun Polisi Militer tidak memiliki kewenangan sebagaimana di atas, kecuali diminta oleh Komnas HAM.
Belajar dari kelemahan pengusutan kasus Tanjung Priok, mekanisme pemilihan anggota Komnas HAM sebagaimana diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM mutlak harus diubah. Dalam Undang-Undang tersebut pemilihan anggota Komnas HAM hanya dapat diusulkan oleh Komnas HAM sendiri, sementara DPR dan pemerintah hanya mensahkannya. Pengaturan yang demikian hanya akan menjadi internal oligarki kekuasaan dan keanggotaan yang berbahaya bagi masa depan fungsi kelembagaan itu.
Sudah seharusnya revisi dilakukan dengan meletakkan kewenangan pemilihan keanggotaan Komnas HAM di tangan DPR, dengan syarat-syarat yang cukup ketat. Salah syarat penting adalah, bahwa mereka yang diajukan bukanlah pengurus atau anggota suatu partai politik, bukan bagian dari birokrasi pemerintah dan militer, dan tidak memiliki catatan keterlibatan dalam suatu tindakan pelanggaran HAM atau pernah memberikan dukungan terhadap gagasan dan tindakan anti HAM.
(f) Memberikan peluang dan kewenangan kepada Kejaksaan Agung untuk membentuk penyidik dan penuntut umum independen yang terdiri atas unsur-unsur Kejaksaan Agung dengan anggota masyarakat yang memenuhi syarat. Di samping itu, dalam pengadilan HAM juga dibuka peluang bagi pengangkatan hakim Ad Hoc dengan syarat-syarat yang sama dengan pemilihan keanggotan Komnas HAM di atas.
Di samping beberapa kemajuan dari perubahan tersebut, RUU Peradilan HAM masih banyak mengandung kelemahan yang perlu diperhatikan. Kelemahan itu antara lain, pertama, RUU ini hanya mengatur tindakan pelanggaran HAM berat tersebut, sementara pelanggaran HAM di luar itu masih tidak jelas menjadi kewenangan siapa.
Dalam konteks ini peradilan HAM akan sangat terbatas kewenangannya, mengingat pelanggaran HAM adalah sangat luas dan beraneka sebagaimana juga telah diakomodir dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sehingga apabila proses demokratisasi itu berjalan dengan baik, kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM berat dengan kategori di atas amat kecil kemungkinannya terjadi. Dengan demikian justru peradilan mungkin akan tidak pernah menangani perkara, hal yang sama terjadi pada Peradilan HAM di India.
Kedua, kelembagaan praperadilan amat dibatasi, dengan hanya memberikan peluang bagi keluarga korban sajalah yang dapat mengajukan gugatan atas dihentikannya penyidikan. Dalam konteks pelanggaran HAM berat, acapkali justru yang terjadi sebaliknya, pihak keluarga korban sulit ditemukan bahkan mungkin juga telah tidak ada, atau ketakutan yang luar biasa sehingga tidak berani mempersoalkan.
Di samping itu, pelanggaran HAM seharusnya dilihat bukan semata-mata lahir dari hubungan individu dan para pelaku, akan tetapi terdapat unsur penyalahgunaan kekuasaan, yang siapapun dari bangsa itu secara langsung atau tidak langsung menjadi korban (terutama karena hak-hak sebagai warga negara). Dalam pergaulan internasional, setiap negara diberikan hak dan bahkan kewajiban untuk melindungi setiap manusia dari segala bentuk tindakan yang melecehkan kemanusiaan. Sehingga tidak ada seharusnya pembatasan terhadap siapa yang berhak mengajukan gugatan praperadilan apabila penyidikan dihentikan.
Patut dicatat, pemahaman dan pembatasan atas hubungan pelanggaran HAM yang sama sekali bukanlah hubungan semata-mata perdata itu juga penting untuk menghindari terjadi politik uang dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Pertemuan Komnas HAM dan para korban Tanjung Priok, atau ungkapan Komnas HAM di Cilangkap bahwa korban semata-mata meminta ganti rugi, adalah bahaya dari ketidakjelasan memahami hubungan antara pertanggungjawaban pelaku pelanggaran dengan persoalan yang semata-mata uang.
Kalaupun Komnas HAM berargumentasi langkah ganti rugi itu merupakan rekonsiliasi maka sebenarnya hal itu sama sekali bertentangan dengan keharusan hukum yang berlaku dan adil. Karena rekonsiliasi di antara korban dan pihak yang bertanggungjawab atas jatuhnya korban itu haruslah dijamin melalui suatu keputusan hukum dan politik di tingkat negara, yaitu suatu undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kalau praktek ganti rugi bawah tanah yang dikembangkan Komnas HAM itu tidak dihentikan dan dilarang, maka akan terjadi perusakan terhadap sistem hukum yang sedang dibangun.
Ketiga, dualisme peradilan tetap menjadi hambatan bagi penerapan ketentuan undang-undang ini nantinya. Kasus peradilan pembunuhan massal Tengku Bantaqiah dan santrinya di Aceh adalah cermin paling jelas dari kelemahan ini. Ketika terjadi suatu peristiwa pelanggaran HAM, yang mungkin berbentuk pembunuhan, dapat saja Polisi Militer atau Polri mengklaim itu sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUHP dan KUHAP Militer dan memaksakan penyelidikan dan penyidikan melalui prosedur peradilan militer.
Sementara kasus tersebut apabila dilihat unsur-unsur umumnya justru merupakan pelanggaran HAM berat yang menjadi kewenangan pengadilan HAM, sehingga tarik menarik akan berakibat ketentuan hukum tidak akan efektif. Rekomendasi Komnas HAM melakukan kesalahan yang sama dengan mengajukan permintaan kepada Panglima TNI untuk mengusut kasus Tanjung Priok.
Untuk itu jelas perlu dilakukan pula penghapusan segala ketentuan yang membuka peluang bagi dualisme sistem hukum. Yaitu penghapusan keberadaan pengadilan militer sekaligus revisi terhadap UU No 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman yang masih mengakui eksistensi peradilan militer. Hal ini amat penting sebab perlu adanya upaya kontrol terhadap perilaku militer yang tumbuh akibat kekebalan hukum yang selama ini terus menerus bertahan.
Sehingga idealnya, rencana pembentukan peradilan HAM itu memberi kontribusi pada fungsi kontrol hukum terhadap perilaku kekuasaan yang selama ini memang tidak terkontrol. Dengan meletakkan kontrol terhadap kemungkinan munculnya tindak kejahatan politik oleh negara itu, memang diharapkan terjadi perubahan perilaku negara, khususnya kekuatan militer ataupun upaya menggunakan kekuatan militer sebagai alat politik yang muncul dalam bentuk politik kekerasan negara.
Keempat, RUU pengadilan HAM masih mengatur pembentukan peradilan Ad Hoc HAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden atas usulan DPR. Hal ini jelas adalah kelemahan yang cukup mendasar. Sebab kewenangan yang demikian besar diberikan kepada presiden, sampai pada perlu tidaknya dibentuk peradilan atas kasus-kasus tertentu, bertentangan dengan keharusan ketatanegaraan yang demokratis.
Sebab keputusan pembentukan peradilan yang tergantung pada Keputusan Presiden jelas menbuka peluang bagi intervensi pemerintah terhadap sistem peradilan dan penerapan hukum. Tentu ini bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang mandiri, serta prinsip pemisahan kekuasaan. Lebih jauh, ketentuan ini mendorong proses penerapan hukum, khusus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, kembali ke dalam keputusan politik presiden dan menjadi bentuk kekebalan hukum baru. Tentu ini haruslah diubah, dengan menempatkan keputusan pembentukan peradilan Ad Hoc HAM di tangan Mahkamah Agung.
Dilihat dari beberapa kelemahan itu, tentu koreksi atas RUU Pengadilan HAM ini oleh proses pembahasan DPR nantinya amatlah penting. Tanpa perubahan yang substansial maka RUU ini hanyalah diarahkan bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Timor Timur yang memang telah diusut berdasar prinsip-prinsip dasar dari RUU ini, dan bertujuan menghindari ancaman tribunal internasional.
Perubahan di tingkat undang-undang ini memang masih harus diikuti oleh perubahan yang lebih luas dari perubahan sistem hukum, politik, dan ketatanegaraan. Pengalaman Priok telah mebuktikan pembehanan aparat hukum mutlak dilakukan.
Munir SH adalah Ketua Dewan Pengurus KONTRAS (Komisi untuk Orang-orang Hilang dan Korban Kekerasan). Aktif menulis di media cetak dalam dan luar negeri. Munir menyambut baik informasi dan komentar anda ke alamat e-mailnya di munir91[at]hotmail.com.
Leave a Reply