Rhoma Irama Sudah Jadi Superstar Jauh Sebelum PKB Itu Ada
- Marwan Jafar Masih “Pamer Dengkul “, Rhoma Irama Sudah Jadi Superstar…….
Jakarta Siaga I. Suhu politik pasca Pilpres meninggi. Presiden SBY, Panglima TNI, Kapolri dan pejabat Negara lainnya tak bosan menyampaikan himbauan agar semua elemen masyarakat menahan diri dalam menyikapi hasil penghitungan suara yang akan ditetapkan oleh KPU.
Hal ini cukup beralasan mengingat kedua kubu Capres dan Cawapres mengklaim kemenangan dalam waktu yang bersamaan. Ketegangan-pun terjadi. Masyarakat terprovokasi dengan adanya berita-berita yang saling serang antar dua kubu tersebut. Situasi ini diperparah dengan adanya “pelanggaran etika” yang terus dilakukan secara terus menerus oleh media, baik cetak, televise termasuk online yang melakukan pemihakan secara terang-terangan kepada salah satu kubu. Hak masyarakat untuk mendapatkan berita yang jujur, netral dan transparan dirampas demi ambisi “Sang Tuan”. Ironis, kaum terpelajar yang semestinya menjadi pengayom, justru menjadi “hantu” yang meracuni masyarakat untuk bertikai.
Salah satu “hantu” yang meracuni masyarakat untuk bertikai adalah Marwan Jafar, salah satu Pengurus DPP PKB.
“Yang membesarkan dia, PKB. Namanya disebut berbulan-bulan di media masa, dibuatkan kegiatan oleh PKB. Dia berutang budi kepada PKB. Dia sudah taubat nasuha, Kami terima bagian dari rekonsiliasi nasional”, demikian ucapan Marwan Jafar pada sebuah media online menanggapi pernyataan Rhoma Irama yang akan bersilturahmi Idul Fitri dengan menemui Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB.
Entah apa yang ada dalam benak “hantu” tersebut. Di saat masyarakat, dalam hal ini penggemar dan pengikut Rhoma Irama khusu’ menjalankan ibadah puasa serta tenang menunggu hasil keputusan KPU, ia melemparkan kalimat yang sangat tidak pantas diucapkan oleh seorang terpelajar.
Dosa apa yang dibuat Rhoma Irama kepada PKB sehingga harus melakukan taubat nasuha? Bukankah Rhoma Irama baik secara pribadi maupun bersama SONETA telah nyata-nyata menjadi salah satu faktor penentu meningkatnya perolehan suara PKB pada Pemilu legislatif lalu?
Sang “hantu” mungkin lupa bahwa ketika menggaet Rhoma sebagai magnet pengundang massa, PKB adalah Partai sekarat yang menanti ajal karena mengalami penurunan suara yang sangat tajam pada Pemilu 2004 dan 2009 setelah ditinggalkan massa-nya karena melakukan “pengkhiatan” terhadap Gus Dur, pendiri dan tokoh utama PKB. Atas pengkhianatan ini keluarga besar Gus Dur bahkan “mengharamkan” PKB memasang foto Gus Dur pada poster, baliho ataupun iklan PKB lainnya. Dan ternyata PKB memang tidak punya nyali, mereka tetap memasang foto Gus Dur meskipun telah “diharamkan”.
Kejelian (boleh juga dibaca kelicikan) Cak Imin menggandeng Rhoma Irama memang patut diacungi jempol. Kampanye terbuka PKB maupun sosialisasi sebelum kampanye yang menghadirkan Rhoma Irama baik sendiri sebagai da’i maupun bersama SONETA Group selalu dihadiri puluhan ribu massa. Sebagai “bumbu” ditaburkan janji-janji untuk menjadikan Rhoma Irama sebagai Calon Presiden dari PKB. Sayangnya “bumbu” ini ditelan mentah-mentah oleh kubu pengikut Rhoma Irama. Sehingga ketika PKB “selamat” dari tendangan penalty yang mensyaratkan minimal 3% suara bagi Partai Politik untuk tetap ber-“kandang” di gedung DPR. PKB sukses meraih 9,04 % suara, dua kali lipat dari perolehan suara Pemilu 2009 yang hanya 4,9% suara secara Nasional.
Setelah Pemilu Legislatif usai, “topeng” PKB mulai terbuka. PKB memang tidak pernah berniat mencapreskan Rhoma Irama. Hal ini sebenarnya sudah bisa dibaca sejak awal karena PKB memang tidak pernah menyampaikan pencalonan itu secara resmi melainkan hanya melalui pernyataan-pernyataan Muhaimin Iskandar. Ditambah lagi selain Rhoma, PKB juga mencalonkan Machfud MD dan Jusuf Kalla. PKB memang sudah membaca kalau “arus bawah”, termasuk pengikut Rhoma, adalah mahluk yang mudah gembira bila ditebarkan “janji manis”.
Setelah usai Pileg, sifat asli PKB sebagai Partai “cari aman” kembali ditampilkan. PKB secara resmi berada dalam barisan pendukung pasangan Jokowi-JK bersama PDI P, Nasdem, Hanura dan PKPI. Sedangkan Rhoma Irama memilih mendukung kubu Prabowo-Hatta.
Dalam dunia politik, dukung mendukung adalah hal yang lumrah. Karena pada hakekatnya Politik adalah sarana mencari kedudukan dan kekuasaan. Politik mengejar kemenangan, bukan mencari kebenaran. Jika masih memiliki hati, toleransi, tepo seliro, sebaiknya memang tidak perlu ikut-ikutan masuk kedalam dunia politik.
Dendamkah Marwan Jafar karena Rhoma Irama mendukung Prabowo? Jika tidak, mengapa ia mengucapkan kalimat itu terhadap Rhoma Irama ?
Melihat dari biodata yang tercantum dalam website PKB, Marwan Jaffar lahir tahun 1972. Pada tahun yang sama dengan Marwan lahir, Rhoma Irama sudah menjadi juara I Festival Penyanyi Pop di Singapura. Tahun 1979, ketika Marwan Jaffar masuk SD, Rhoma Irama sudah jadi Superstar yang terkenal tidak hanya di Indonesia tapi juga di benua Asia dan Amerika. Tahun 1985, ketika Marwan Jafar duduk dikelas satu SMP, Rhoma Irama sudah mendapat julukan sebagai “ The South East Asia Superstar” oleh Majalah Asia Week. Ketika Marwan Jaffar lulus SMA, Rhoma Irama sudah menjadi wakil Asia dalam World Music and Dance (WOMAD) Festival di Jepang.
Rhoma Irama adalah sebuah nama besar dalam dunia music Indonesia, khususnya music dangdut. Ini sudah diakui bukan hanya di Indonesia tetapi juga dimanca Negara. Bersama Soneta, Rhoma Irama sudah melanglang buana hingga ke Amerika, Jepang, Filipina, Malaysia, Singapura dan lainnya. Bahkan album kasetnya menjadi koleksi dan disimpan di museum music di Amerika Serikat, ini sebuah prestasi karena tidak mudah sebuah album rekaman music dapat disimpan menjadi koleksi museum sebagai buah karya peradaban dunia.
Tanpa merambah dunia politik-pun Rhoma sudah memiliki nama besar sebagai seniman dan budayawan. Terjunnya Rhoma ke dunia politik-pun sebenarnya menimbulkan pro dan kontra dikalangan penggemar dan pengikutnya. Bagi yang kontra melihat bahwa dunia politik itu tidak tepat untuk Rhoma Irama yang lurus dan jujur. Politik itu adalah siasat, politik itu strategy untuk meraih kekuasaan dan kedudukan, tak peduli cara yang digunakan itu salah atau benar karena politik itu mencari kemenangan bukan kebenaran. Hal ini bertolak belakang jika disandarkan dengan pribadi Rhoma yang kadung terkenal sebagai penyanyi yang menyampaikan pesan moral dan agama.
Bukan sekali ini saja Rhoma “dikhianati” politisi. Tahun 1977 dan 1982 Rhoma Irama gigih berjuang “tanpa pamrih” melawan hegemoni rezim Orde Baru bersama PPP, satu-satunya Partai yang berasas Islam. Tahun 1987 Rhoma Irama memutuskan hengkang dari PPP (sejatinya bukan hengkang, karena Rhoma Irama memang tidak pernah terdaftar sebagai anggota PPP) karena PPP menanggalkan asas Islam guna mematuhi ketentuan Undang-Undang Partai Politik yang mewajibkan pencantuman Pancasila sebagai satu-satunya asas. Rhoma kecewa dengan sikap PPP yang menurutnya “mengkhianati” perjuangan.
Dalam kurun waktu tersebut, popularitas Rhoma Irama tetap melejit meskipun dihambat “pergerakan”nya oleh pemerintah berkuasa. Bersama groupnya, Rhoma dilarang tampil di TVRI dan diberikan syarat yang amat ketat untuk izin pertunjukan panggung terbuka, bahkan terkadang izin yang sudah diberikan dicabut kembali dengan alasan yang tidak jelas. Mengapa Rhoma tetap eksis disaat mendapat perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah berkuasa ? Jawabannya adalah karena masyarakat (khususnya masyarakat islam) merasakan apa yang dialami Rhoma Irama. Orde Baru kerap melakukan tindakan refresif terhadap “lawan politik”nya. Tokoh-tokoh yang dianggap “bersebrangan” jangan harap diberi peluang untuk berkembang. Kondisi ini menciptakan rezim penguasa sebagai musuh bersama. Kekuasaan yang hanya dikuasai Golkar (saat itu belum menjadi Partai) membuat seluruh kebijakan tidak terkontrol, APBN dan segala realisasinya menjadi bancakan keluarga penguasa dan kroninya.
“ Negara bukan milik golongan….(karya) dan juga bukan milik perorangan (Soeharto dan kroninya)….” (Indonesia, Soneta Volume XI, Yukawi, 1981)
Kritik pedas lewat lagu tersebut benar-benar menohok jantung Rezim yang berkuasa. Sebagai balasan Pemerintah tidak mengizinkan pihak Pemerintah Jepang yang ingin mengundang Rhoma Irama dan Soneta tampil di Tokyo hingga pada akhirnya Camelia Malik dan Tarantulla yang menggantikan posisi Rhoma Irama dan Soneta. Begitu-pun keinginan Bill Graham, Manager The Rolling Stones yang berniat mengajak Rhoma dan Soneta dalam pertunjukan music di Amerika harus undur diri karena tidak mendapat izin dari Pemerintah Indonesia.
Rhoma Irama bersama Soneta kian meroket dan menjelma sebagai symbol perlawanan Rakyat terhadap rezim Orde Baru yang korup. Rhoma diterima semua kalangan masyarakat tanpa ada sekat sebagai musisi yang menyuarakan perlawanan dan kritik social disamping tentu saja sebagai pembawa suara islam sebagaimana proklamasi Soneta sebagai The Sound of Moeslem.
Album kaset dan film Rhoma Irama laris meskipun tanpa promosi yang berlebihan baik dimedia televise maupun surat kabar. Penonton rela berdesak-desakan, bahkan terkadang membawa korban jiwa, untuk menyaksikan pertunjukan panggung dan film Rhoma Irama. PPP-pun mendapat berkah dengan prestasinya mengalahkan Golkar di DI Aceh dan DKI Jakarta. Saat itu PDI baru sebatas pelengkap Pemilu, artinya pertarungan hanya terjadi antara PPP dan Golkar. Andil Rhoma (Rhoma Effect-istilah sekarang) sangatlah besar membantu PPP meraih dukungan massa.
Proses “pemaksaan” asas tunggal kepada Partai politik oleh Pemerintah Orde Baru ternyata terus dilakukan secara refresif hingga berujung pada meletusnya Peristiwa Priok, September 1984. Massa “Islam” yang dikomandoi Amir Biki (alm), sahabat karib Rhoma Irama, berhadapan dengan pasukan bersenjata yang menimbulkan jatuhnya puluhan (bahkan kabarnya ratusan) korban jiwa dikalangan massa. Rhoma-pun ikut “terseret” karena dianggap kelompok yang menentang asas tunggal Pancasila ( “ Mari membangun…ngun…Negara ra…Dengan landasan san… Agama “ ; Modern/Soneta Volume XIII/Soneta Record/1984). Bahkan shooting film “Pengabdian” di RS Islam Cempaka Putih-pun sempat dihebohkan dengan ditemukannya bubuk mesiu pada mesin genset yang digunakan untuk keperluan shooting.
Rhoma memang orang besar, apapun yang dilakukannya pasti memiliki nilai jual. Jadwal ceramah dan pertunjukan musiknya tak pernah sepi. Sampai saat ini hanya Rhoma Irama dan Soneta satu-satunya group music Indonesia yang tetap eksis mengisi panggung hiburan baik panggung terbuka maupun televisi, baik konser umum maupun konser Pemilihan Kepala Daerah, baik Bupati, Walikota maupun Gubernur. Berita tentang Rhoma Irama di media online semacam detik.com, Kompasiana.com, viva.com dan lainnya tak pernah luput dari komentar masyarakat, baik yang memuji maupun yang membenci.
Menyikapi hasil tersebut sepertinya sudah saatnya bagi Rhoma Irama untuk tidak lagi “memaksakan” diri terjun menjadi politikus dengan iming-iming apapun karena era sudah berubah, tidak ada lagi musuh bersama seperti saat menghadapi Orde Baru tahun 70-80an.
Cukuplah ini menjadi pelajaran, dan mengambil pelajaran itu bukanlah suatu yang sia-sia. Tidak ada kata berhenti untuk berjuang hingga maut menjelang. Perjuangan tidak harus melalui jalan Politik dan kekuasaan. Kekuasaan kini hanya menjadi santapan bagi orang-orang yang lapar kekuasaan. Tidak ada lagi etika dalam Politik. Teman seketika bisa menjadi lawan, musuh dalam sekejap siap berkawan. Politik itu menebar jerat, dalam sekat yang membatasi gerak.
Apapun yang dikatakan orang, menggemari dan mengapresiasi Rhoma Irama dan SONETA Group adalah suatu kebanggaan. (SONETA MANIA)
Leave a Reply