Nama : EMHA AINUN NAJIB
Lahir : Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Agama : Islam
Pendidikan : -SD, Jombang (1965)
-SMP Muhammadiyah, Yogyakarta (1968)
-SMA Muhammadiyah, Yogyakarta (1971)
-FE di Fakultas Filsafat UGM (tidak tamat)
Karir : -Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970)
-Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini (1973-1976)
-Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media
Alamat Rumah : Jalan Kadipaten Wetan K-11 Yogyakarta
Alamat Kantor : Dewan Kesenian Daerah Istimewa Yogyakarta
|
|
EMHA AINUN NAJIB
Rotterdam, Juni 1984, di sebuah park atau semacam alun-alun. Pada acara Poetry International '84 itu, Emha naik pentas didampingi Zapata, pemain perkusi kelahiran Suriname yang berdomisili di Amsterdam. Kedua orang yang dirubung ribuan penonton ini melempar improvisasi -- Emha dengan kata, Zapata lewat tetabuhannya. Penonton bertepuk riuh. Di akhir pentas, tiba-tiba Emha berzikir Laailaaha Illallah, dan Zapata segera menghentakkan gendangnya. Ketika zikir itu berakhir dengan raungan, Zapata menghentikan pukulannya. Akibatnya, penonton menggeliat, terkesima, lantas lebih gemuruh bertepuk tangan.
"Alhamdulillah, kami selamat," tutur Emha, dalam sebuah suratnya ke tanah air, mengenai pertunjukannya itu. Sebelum naik pentas, penyair yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Gontor, Jawa Timur, ini sempat grogi melihat penampilan para peserta sebelumnya.
Di tanah air, ulah Emha membaca puisi dengan iringan tetabuhan terdiri dari gong, bonang, gendang dan saron, pernah membuat bingung Dewan Kesenian Jakarta. Pihak DKJ tidak tahu, puisi-puisi semacam itu mesti digolongkan apa: sastra, musik, atau apa.
Emha sendiri tidak pernah pusing, keseniannya itu masuk mana. "Saya hanya ingin mengadakan pertunjukan berdasarkan prinsip sosial yang saya miliki," kata anak keempat dari lima bersaudara itu.
Emha merintis bentuk keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti -- yang berpangkalan di rumah kontrakannya, di Bugisan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan. Selain manggung, ia juga mulai tertarik menjadi kolumnis.
Ayahnya, Almarhum M.A. Lathif, adalah seorang petani, yang pernah memiliki kuda tunggang. "Waktu remaja, saya dulu suka naik kuda itu," tutur Emha. Laki-laki yang lebih sering membiarkan kumisnya tumbuh ini menikah dengan Suryaningsih -- seorang pemain teater. Sudah dikaruniai seorang anak.
|