Nama : H.M.A. SAHAL MAHFUDH
Lahir : Kajen, Jawa Tengah, 17 Desember 1937
Agama : Islam
Pendidikan : - Ibtidaiyah Mathali'ul Falah, Kajen (1949)
- Tsanawiyah Mathali'ul Falah, Kajen (1953)
- Pondok Pesantren, Bendo-Paret (1957)
- Pondok Pesantren, Sarang-Rembang (1960)
Karir : - Guru Pesantren Sarang di Sarang Rembang (1958-1963)
- Guru Pesantren Maslakul Huda di Kajen (1963-1980)
- Guru Madrasah Aliyah Mathali'ul Falah di Kajen (1964-1975)
- Dosen Kuliah Takhassus di Kajen (1964)
- Instruktur Aplikasi Bahasa Arab di Kajen (1966-1970)
- Dosen Fakultas Tarbiyah Uncok Pati di Pati (1973-1975)
- Dosen Fakultas Tarbiyah Al-Ma'hadul 'Aaly di Jembang (1974- 1976)
- Direktur Perguruan Islam Mathali'ul Falah di Kajen (1963- 1982)
- Dosen Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo di Semarang (1982)
- Pengasuh Pesantren Maslakul Huda di Kajen (1963-sekarang)
Kegiatan Lain : - Khatib Syuriyah Wilayah Ja-Teng Nahdatul Ulama di Semarang (1980)
- Ketua Persatuan Pondok Pesantren Wilayah Jawa Tengah
- Pengasuh Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat PMH Putra di Kajen (1978-1980)
Alamat Rumah : Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah
|
|
H.M.A. SAHAL MAHFUDH
Usia ulama ini belum 50 tahun, tetapi tampak sudah tua. Pipinya kempong, dan matanya cekung. Rambut di kepalanya yang pelontos penuh uban. "Bukan akibat resesi dunia," kata seorang sahabatnya, "melainkan lantaran sikapnya keras. Bila bekerja, ia seperti tak mengenal lelah." Namun, ia ramah, murah senyum, dan akrab dipanggil "Sahal".
Ia anak ketiga dari enam bersaudara. Ayahnya, K.H. Mahfudh, pendiri Pondok Pesantren Maslakul Huda di Kajen pada 1910, wafat dalam penjara Jepang di Ambarawa. Hasyim, kakak Sahal, gugur ditembak Belanda tatkala bergerilya. Tidak mengherankan bila Sahal turut memanggul senjata sejak Clash II. "Ketika berusia tiga tahun, saya sudah terbiasa menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam bahasa Arab," tuturnya.
Lulus Tsanawiyah Mathali'ul Falah dan Kursus Ilmu Pengetahuan di Kajen, ia lantas belajar di beberapa pesantren di Jawa Tengah. Mulai mengajar di pesantren Sarang, Jawa Tengah, sejak 1958, ia kini dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo di Semarang.
Tekun mengasuh pondok pesantren Maslakul Huda, ia juga dikenal sebagai aktivis organisasi. Mengetuai Persatuan Pondok Pesantren (Rabithah Ma'ahid Islamiyah) wilayah Jawa Tengah, ia merangkap jadi Katib Syuriah NU di wilayah yang sama.
Bicara suka blak-blakan. "Pesantren sebagai moderator pembangunan desa," katanya, "merupakan lembaga pendidikan yang mandiri. Bukan milik perseorangan, melainkan milik umat, berfungsi ganda, sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial desa."
Di pesantrennya tidak hanya diajarkan aqidah, syari'ah, dan akhlaq, tetapi juga ijtima'iyaah. Para santrinya diharuskan belajar pengetahuan umum, tata manajemen, berorganisasi, berdiskusi, berdakwah, dan jurnalistik. "Seorang akrom (mulia), harus berketerampilan dalam amaliahnya. Sedangkan yang saleh ialah yang mampu mewarisi dan memelihara bumi dengan segala isinya," ujar Sahal.
Bekerja sama dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta, dan Yayasan Mandiri Bandung, para santri diberi pelajaran Teknologi Tepat Guna. Membentuk Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM), pesantren juga membina koperasi, peternakan, dan pemugaran rumah penduduk.
Pada 1967, Sahal menikah dengan Dra. Mafisah, cucu K.H. Bisri Syansuri, almarhum. Istrinya, lulusan IAIN, selain menjadi guru juga mengasuh pesantren putri Al-Badiyah.
Sahal banyak menulis, juga senang membaca, termasuk buku detektif. "Manfaat gemar membaca cerita detektif," katanya, "saya bisa cepat membaca situasi."
|