Nama : KHAIDIR ANWAR
Lahir : Tanahdatar, Sumatera Barat, 11 November 1932
Agama : Islam
Pendidikan : - SD, Situjuh (1944)
- SLP TC, Payakumbuh (1952)
- SMEA Bandung (1955)
- FKIP Unpad, Bandung (1958)
- Universitas Columbia, New York (1960)
- Universitas Edinburgh, Edinburgh (1964)
- Sociolinguistics di Universitas London (doktor, 1976)
Karir : - Dosen IKIP Bandung (1960-1973)
- Dosen Universitas London (1973-1982)
- Dosen Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang (sekarang)
Kegiatan Lain : - Ketua KASI IKIP Bandung (1966)
Karya : - Beberapa Masalah Pendidikan Islam, IKIP Bandung (1968) Fungsi & Peranan Bahasa, Gadjah Mada UP, (1984)
- dan lain-lain
Alamat Kantor : Universitas Andalas Jalan Situjuh 1, Padang Telp: 2337
|
|
KHAIDIR ANWAR
Apa kabar bahasa Indonesia pada tahun 1980-an? Khaidir Anwar, doktor sosiolinguistik ini, menjawab, "Perkembangannya cepat sekali, melebihi kecepatan bahasa mana pun di dunia. Namun, fungsinya sebagai pembentuk jalan pikiran masih kurang tampak." Ini dikatakannya beberapa hari menjelang Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta, 1983.
Disertasinya sewaktu mendapatkan gelar doktor sosiolinguistik Universitas London, 1976, berjudul Indonesian -- Development & Use of a National Language. Di London pula ia (1973-1982) mengajar pada School of Asian and African Study (SOAS), bagian dari universitas tersebut.
Hidupnya lebih banyak digunakan buat mengajar. Sebelum ke SOAS, Khaidir dosen IKIP Bandung (1960-1973) -- setelah tidak lagi mengajar di SMA di kota yang sama. Terakhir, anak kedua (dengan dua saudara) Almarhum Yahya, seorang petani dari Payakumbuh, ini tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang.Pada masa pendudukan Jepang, untuk bertahan hidup Khaidir berjualan kerupuk, pisang goreng, kopi, dan lain-lain. "Modalnya kecil sekali dan pendapatannya pun hanya cukup sekadar untuk makan," tuturnya. Dalam kondisi ekonomi yang tetap belum beres, ia tetap tidak ragu untuk kemudian, pada Clash II (1947-1949), ikut berjuang. Ia ingat betul, pada 15 Januari 1949, Belanda melancarkan serangan mendadak di Situjuh. "Kami terkepung," tuturnya. "Dalam pada itu, banyak teman saya yang tewas."
Meskipun banyak pengalamannya, Khaidir cenderung enggan menceritakannya kepada orang lain. Ia selalu merendah. "Hidup saya mendatar saja, tidak ada pengalaman yang luar biasa," katanya selalu.
Sepuluh tahun lebih ia tinggal di negeri orang. "Karena lama di Barat, banyak hal yang kemudian berpengaruh pada pandangan hidup saya," katanya. "Tetapi, bagaimanapun, pengalaman hidup di kampung, di tempat asal ayah saya di Payakumbuh, tetap lebih tertanam dalam diri saya." Maka, ketika kemudian mudik, ia merasa senang betul. "Antara lain karena bertemu kembali dengan kawan-kawan lama. Lagi pula, di kampung hidup lebih tenang." Dahulu ia gemar main bridge atau naik gunung. Belakangan ini, "Paling kurang seminggu sekali main bulu tangkis, demikian juga berenang. Tenis jarang," katanya.
Lelaki berperawakan sedang ini menikah pada 18 Juli 1957. Istrinya, Wahidar, kemudian (1969) lulus dari State University of New York di Albany sebagai ahli perpustakaan. Dan terakhir bekerja sebagai dosen tidak tetap pada Fakultas Sastra Universitas Andalas. Pasangan ini dikaruniai tiga anak.
|