Nama : MOHAMMAD NATSIR
Lahir : Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908
Agama : Islam
Pendidikan : - HIS, Padang (1923)
- Madrasah Diniyah, Solok (1923)
- MULO, Padang (1927)
- AMS, Bandung (1930)
- Studi Islam di Persatuan Islam Bandung (1932)
- Kursus guru diploma LO (1932)
Karir : - Ketua Jong Islamieten Bond, Bandung (1928-1932)
- Direktur Pendidikan Islam, Bandung (1932-1942)
- Anggota Dewan Kabupaten Bandung (1940-1942)
- Kepala Biro Pendidikan Kota Madya (Bandung Shiyakusho) (1942- 1945)
- Anggota Badan Pekerja KNIP (1945-1946)
- Menteri Penerangan (1950-1951)
- Ketua Umum Partai Masyumi (1949-1958)
- Anggota Parlemen (1950-1958)
- Anggota Konstituante (1956-1958)
- Deputi Perdana Menteri PRRI (1958-1960)
- Dikarantina di Batu, Ja-Tim (1960-1962)
- Ditahan di RTM/Keagungan Jakarta (1962-1966)
- Vice President World Muslim Congress (1967-sekarang)
- Ketua Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah, Jakarta (1967)
- Anggota World Muslim League (Rabithah Alam Islamy) (1969)
- Anggota Majelis Ala Al-Alamy lil Masajid (Dewan Masjid Sedunia) (1976-sekarang)
Karya : - antara lain: Cultuur Islam, bersama CP Wolf Kemal Schoemaker, Pendidikan Islam, 1936
- Persatuan Agama dengan Negara, Padang, 1968
- Islam dan Kristen di Indonesia, Pelajar, 1969
- Capita Selecta, Bulan Bintang, 1973
- The New Morality, Disusun bersama SU Bajasut, 1969
- Islam dan Akal Merdeka, Hudaya, 1970
Alamat Rumah : Jalan Cokroaminoto 46, Jakarta Pusat Telp: 343282
|
|
MOHAMMAD NATSIR
Pada Januari 1985, Mohammad Natsir jatuh sakit. "Cuma terserang flu. Menurut dokter, Bapak memang perlu istirahat," tutur istrinya, tentang sang suami yang rambutnya sudah memutih. Sudah lama bekas Ketua Umum Partai Masyumi itu tidak lagi berceramah -- biasanya di Masjid Alfurqon, Kramat, Jakarta. Tetapi, Natsir masih membaca, dan malah tetap menulis untuk dua majalah yang dipimpinnya, Media Da'wah dan Suara Masjid.
Bekas Perdana Menteri RI 1950-1951 ini sudah berusia 76 tahun. "Perbanyaklah ibadah," katanya tentang "resep" panjang umurnya. "Yang jelas, orang setua saya ini yang paling tepat mendekatkan diri kepada Allah Subhannahu Wa Ta'ala," tambah Natsir, yang pernah tiga kali menjadi menteri penerangan. Yaitu dalam Kabinet Syahrir I dan II, dan Kabinet Hatta.
Ayah empat anak, hasil pernikahannya dengan Ummi Nur Nahar, dan kakek 15 cucu ini dilahirkan di Alahan Panjang, Sumatera Barat. Setamat HIS (SMP), ia merantau ke Bandung, dan masuk AMS "klasik Barat" yang mengutamakan pelajaran bahasa Inggris, Belanda, dan Latin. Rektor (direktur) AMS bernama Dr. van Bessem, ternyata, sangat progresif. Sebagai segelintir orang Indonesia yang terdidik, kata Van Bessem kepadanya, "Kamu harus memerdekakan bangsamu!" Malah, konon, sang rektor memberi kesempatan kapada para murid Indonesia berapat di dalam kelas -- ditamengi Van Bessem dengan berpura-pura mengerjakan sesuatu di depan kelas.
Putra pegawai kecil ini sendiri, waktu itu, aktif di organisasi pemuda Jong Islamieten Bond. Jepang datang, Natsir, yang sudah merampungkan AMS, lalu bekerja di kantor Gubernur di Bandung. Gubernurnya, Jenderal Anea, anehnya, juga bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Gubernur Jepang berusia 70 tahun itu suatu hari selepas jam kerja (pukul 16.00) mencegat Natsir ketika ia hendak pulang. "Gunakanlah waktu luang sebaik-baiknya," kata Natsir mengulangi ucapan Anea, yang lalu menambahkan, "Ini isyarat agar kita menyusun kekuatan." Yang mengharukan tokoh ulama Islam ini ialah, anjuran seperti itu justru dikemukakan ketika kekuasaan penjajah sedang tangguh-tangguhnya.
Natsir, yang mendirikan dan mengetuai Yayasan Pendidikan Islam di Bandung, 1932, mulai menulis di majalah Pembela Islam dan Pedoman Masyarakat. Ia memakai nama samaran A. Moechlis. Pada 1936, lahirlah buku Cultuur Islam, yang ditulisnya bersama Porf. C.P. Wolf Kemal Schoemaker dalam bahasa Indonesia. Lalu Mohammad als Proveet, 1931, Gauden Regels Regels uit den Quran, 1932, dan De Islamietische Vrouw en haar Recht, 1933. Pada 1954, muncul Some Observations concerning the Role of Islam in National and International Affair, yang merupakan bagian dari program Asia Tenggara Universitas Cornell, Ithaca, AS. Tahun- tahun berikutnya terbit Capita Selecta, Islam dan Kristen di Indonesia, dan The New Morality.
Bekas murid ulama Hassan yang terkenal di Bandung ini mengecam pendapat sementara ilmuwan bahwa ilmu fiqih sudah tidak relevan. "Kepandaian mereka belum cukup untuk menghayati Islam secara benar." Untuk mengembalikan Islam ke masa jayanya, seperti di zaman Khalifah Umar, ufuk dakwah harus diperluas, sambil kembali kepada Quran dan Hadis. Natsir gembira dengan semakin banyaknya pemuda Indonesia menggemari buku Islam. "Lihatlah, para pembeli buku Islam umumnya kaum muda," kata penerima hadiah Malik Faisal, Arab Saudi, bidang pengembangan Islam, 1980, itu.
Menjadi menteri penerangan sekarang dinilai Natsir lebih gampang dibandingkan dengan 35 tahun yang silam. "Menteri penerangan dulu harus keliling, kini cukup duduk-duduk ditemani komputer," ujar Ketua Dewan Da'wah Islamiah Indonesia itu. Antara 1961 dan 1966 ia pernah ditahan. Konon, bukan karena Natsir pernah menjadi Deputi Perdana Menteri PRRI, tetapi karena ia konsisten anti-Soekarno.
|