Nama : Tubagus Dedi Suwandi Gumelar
Lahir : Leuwidamar, Lebak, Banten, 27 April 1958
Agama : Islam
Pendidikan : - SD sampai SMP di Leuwidamar (1973)
- Sekolah Menengah Teknik III Bagian Bangunan, Jakarta (1978)
Karir : - Pelawak Bagito Grup
- Direktur PT Bagjacipta Kreasiprima (B-Enterprise)
Keluarga : Ayah : Tubagus Edy Syadeli
Ibu : Djulaeha
Istri : Diah Mulyasari
Anak : 1. Tb. Deni Sunardi
2. Rt. Annisa Qurratuain
|
|
Miing Bagito
Meski bergelar tubagus, gelar ningrat di daerah Banten, kehidupan masa kecilnya Dedy Gumelar alias €œMiing Bagito€ jauh dari kesan bahwa ia keturunan bangsawan. Miing dilahirkan dari keluarga sederhana.
Ayahnya, Tubagus Edy Syadeli, adalah mantri polisi dan ibunya, Djulaeha, guru SD. Bagi dia, kedua orangtuanya memberi perpaduan yang khas dalam pembentukan bakat dirinya. Bakat melawak ia peroleh dari ayahnya itu, yang meskipun keras tapi senang melucu di depan anak-anaknya. Bila Miing sukses membentuk grup Bagito, itu lantaran jiwa bisnis yang ia warisi dari ibunya yang ulet. €œGaji guru tak mencukupi, maka ibu berhenti sebagai, lalu berjualan kue dan menerima jahitan,€ tuturnya.
Bakat bisnis Miing terpupuk karena suka membantu ibunya berjualan kue keliling kampung dan mengantar jahitan. Terutama pada tiap Sabtu dan Minggu, ia ikuti ibunya itu menyusuri kampung berjualan pakaian, yang bahannya dibeli di pasar secara kiloan. Kehidupan mereka memang pas-pasan. Bila hari lebaran teman-temannya bermain di Pantai Carita, ia dan Didin, adiknya yang juga pelawak, hanya mancing di empang belakang rumah mereka.
Dari ayahnya, anak ketujuh dari sepuluh bersaudara ini menimba ilmu agama. Ia juga mendapat pendidikan akhlak. Sehingga, sampai sekarang ia tidak suka melihat orang menyeberang bukan melalui jembatan penyeberangan, kalau jembatan itu memang tersedia. Atau pengendara sepeda motor yang tidak mengenakan helm.
Sejak kecil Dedy memang ingin merantau di Jakarta, dan itu terpenuhi setelah ia menyelesaikan SMP di kampungnya. Maklum, dari teman-teman kakaknya yang bekerja di Jakarta, ia sering mendengar cerita tentang Monas, Istana Merdeka, dan gemerlapnya Ibu Kota. €œDandanan mereka necis-necis, sehingga saya jadi ingin ke Jakarta,€ katanya, mengenang. Lantaran ingin mengikuti saran orang tuanya agar ia menjadi insinyur, ia masuk Sekolah Teknik Menengah (STM) III Bidang Bangunan, di kawasan Poncol, Jakarta Pusat.
Setamat STM, 1978, niatnya masuk Fakultas Teknik tak terlaksana, karena ia tidak punya biaya. Bersama adiknya Didin yang telah menyusul ke Jakarta, ia sering menonton lawakan di pusat rekreasi di Pantai Ancol dan tempat-tempat lain di Jakarta Utara. Miing pun tertarik pada seni lawak.
Adik beradik itu pun mencoba-coba membentuk grup lawak dan mengikuti lomba lawak. Hasilnya lumayan, pada 1978 mereka mencapai final. Undangan mentas mulai berdatangan, tapi "Bagito" €“ konon berarti €œbagi roto€ atu bagi rata-- masih tetap grup lawak tingkat RT. €œOrder yang mampir paling-paling untuk perayaan 'kartinian' atau 'tujuhbelasan' dari sekolah-sekolah,€ tutur Miing. Tapi kini Bagito menjadi telah menjadi salah-satu grup lawak papan atas di Indonesia.
Sebagai pelawak, Miing pernah ketiban sial. Pada 1980-an, Bagito diundang manggung di hotel Preanger, Bandung. Bayarannya lumayan besar waktu itu, Rp 100 ribu. Yang hadir termasuk Gubernur DKI Tjokropranolo dan Gubernur Jabar Aang Kunaefi. Apa lacur, lawakannya tak mengundang tawa hadirin. €œKami malu berat,€ tuturnya.
Lalu, suatu malam, saat akan main di klub malam Marcopolo, mereka istirahat di bangku emplasemen stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Soalnya, saat itu mereka harus menunggu waktu manggung pada pukul satu dinihari. €œKami kan tak punya kendaraan pribadi, terpaksa numpang tidur di stasiun Cikini. Di atas pukul sepuluh malam enggak ada bus kota yang jalan,€ jelasnya. Namun sial, mereka disangka preman dan diobrak-abrik petugas keamanan dan ketertiban.
Ada cerita sial lainnya saat menjadi penyeling pementasan kelompok musik Panjaitan Bersaudara (Panbers). Tiba saatnya acara dimulai, Panbers yang seharusnya muncul lebih dahulu belum juga datang, sehingga Bagito didahulukan tampil. Belum sempat bercuap-cuap, penonton sudah berteriak keras dan kompak, €œHuu! Turun, turun!" Tapi awak Bagito berusaha tegar, berupaya memompa rasa percaya dirinya. Kenekadan ini justru membuat penonton makin beringas, merangsek maju mencapai bibir panggung. Kaki Yanto, personil Bagito dulu, disambar dan diseret penonton. Karuan komedian kerempeng itu terjengkang, melorot terhempas ke tengah penonton. Yanto masih punya semangat, dia berdiri dan kembali ke panggung dan mencoba melucu. €œMasya Allah, kami dihujani lemparan sandal. 'He bego! Turun!'" papar Miing sambil terbahak.
Sampai 1980, grup Bagitu tak kunjung tenar, walaupun telah meraih berbagai prestasi di arena lomba lawak. Yang merepotkan, penghasilan dari melawak waktu itu tidak seberapa. Akhirnya Miing pindah ke Tegal, Jawa Tengah, ikut kakak sepupu bekerja di tempat pengawetan kayu. Bagaimanapun, ia harus bertahan hidup.
Nmaun, kalau sedang ada lomba lawak ia suka datang ke Jakarta. €œBahkan, pada 1981 saya pindah kembali ke Jakarta, melamar kerja di kantor Pemda DKI, dan diterima menjadi pegawai honorer bagian arsip bangunan,€ papar Miing. Ia juga bekerja serabutan. Tahun berikutnya, ia magang pada grup lawak Warkop DKI, lalu mengisi acara di radio Suara Kejayaan. Dari situlah Bagito melejit. Tahun 1991, Bagito mendirikan PT Bagjacipta Kreasiprima (B-Enterprise), dan ia menjadi direkturnya, sampai sekarang.
Menikah dengan Diah Mulyasari, 11 Februari 1991, ia dikaruniai dua anak: Tb. Deni Sunardi dan Rt. Annisa Qurratuain. Seperti ayahnya yang mengutamakan pendidikan akhlah, Miing juga mementingkan ajaran akhlak bagi mereka.
|