Agama Orang Bali Tidak Dogmatis-Tekstualis - Jaringan Islam Liberal (JIL)
Halaman Muka
Up

 

Nyoman Damantra:

Agama Orang Bali Tidak Dogmatis-Tekstualis

19/03/2007

Secara umum, pemahaman orang Bali tentang agama Hindu tidak terlalu dogmatis dan tekstual. Secara sederhana, sistem reward and punishment yang dikenal sebagai hukum karma, dianggap sebagai inti agama. Siapa menanam, dia akan menuai. Demikian penuturan Nyoman Damantra, pengusaha yang kini bekerja di Kamar Dagang dan Industri, kepada M. Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (8/30), lalu.

Secara umum, pemahaman orang Bali tentang agama Hindu tidak terlalu dogmatis dan tekstual. Secara sederhana, sistem reward and punishment yang dikenal sebagai hukum karma, dianggap sebagai inti agama. Siapa menanam, dia akan menuai. Demikian penuturan Nyoman Damantra, pengusaha yang kini bekerja di Kamar Dagang dan Industri, kepada M. Guntur Romli dari Jaringan Islam Liberal (JIL) di Radio 68H Jakarta, Kamis (8/30), lalu.

M. GUNTUR ROMLI (JIL): Pak Nyoman, bagaimana agama diajarkan kepada Anda sejak kecil?

NYOMAN DAMANTRA: Di Bali umumnya, kami mengenal agama lebih banyak dari tradisi dan adat. Kami juga lebih banyak memahami agama dari hal-hal yang sifatnya sangat seremonial. Meski begitu, kurikulum tentang agama ataupun informasi tentang agama dalam pendidikan di sekolah tetap diberikan. Tapi yang melekat lebih banyak tentulah dari tradisi atau adat.

Memang ada pemahaman yang agak berbeda tentang hubungan antara agama dan tradisi. Sebagian memahami bahwa tradisi itu tumbuh dari agama. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa tradisi dan agama itu tidak ada kaitannya. Sebab banyak hal di dalam tradisi Bali itu yang justru tidak ada dalam tradisi Hindu di India, misalnya. Tapi bagi saya, itu tinggal bagaimana kita melihat persoalan. Namun begitu, saya sepakat bahwa budaya lokal seperti di Bali harus tetap ditumbuhkembangkan.

JIL: Bagi Anda, adakah ciri khas Hindu Bali dibandingkan Hindu di tempat lain, misalnya di India?

Yang saya tahu, agama Hindu di India itu cenderung melahirkan ajaran yang bernuansa sektarian. Itu karena pemahaman atau pemujaan terhadap tiga kekuatan alam semesta, yaitu Brahma, Wisnu dan Shiwa, dilakukan secara terpisah. Sementara Hindu di Bali dengan Trimurti Pakse-nya menjadikan tiga kekuatan tersebut disembah dalam satu manifestasi. Makanya ada ajaran yang disebut Padmesane dan lain sebagainya. Itu yang membuat Hindu Bali tidak menumbuhsuburkan Hindu yang sektarian. Itu alasan mendasarnya.

JIL: Apa nilai ajaran Hindu yang paling memengaruhi Anda hingga saat ini?

Satu hal yang betul-betul sampai saat ini menjadi pegangan hidup saya adalah persoalan karma. Di dalam konsep karma, kita diajarkan bahwa alam semesta ini dikelola dengan suatu hukum yang disebut hukum sebab-akibat. Jadi apapun yang kita perbuat, kelak pasti akan kita terima akibatnya. Itu akan setimpal dan sesuai dengan apa yang kita perbuat. Dalam perilaku sehari-harinya orang Bali lebih banyak mencerminkan hal-hal yang bernuansa hukum karma itu tadi.

JIL: Bagaimana dengan persoalan keterbukaan dan toleransi dalam beragama?

Sebetulnya, Hindu dalam konteks Bali itu, sejak dari dulu adalah agama yang inklusif dan punya kemampuan sangat tinggi untuk bertoleransi. Buktinya, dari dulu tak pernah ada konflik-konflik yang bernuansa agama di Bali sendiri. Ajaran Hindu Bali sendiri adalah ajaran yang sangat universal. Justru ketidakmampuan orang Hindu dalam berinteraksi dengan pihak-pihak non-Hindu akan dianggap sebagai ujian untu meyakini agama Hindu sebagai agama yang universal. Jadi secara mendasar, ajaran Hindu sangat terbuka, baik menyangkut soal perbedaan maupun soal toleransi beragama dengan pihak lain.

JIL: Ketika bekerja dalam lingkungan multiagama, adakah nilai-nilai Hindu yang dirasakan hilang atau tergerus?

Mayoritas masyarakat Bali yang beragama Hindu selalu punya kewajiban sesuai dengan ketentuan agama yang ada. Itu yang pada akhirnya menjadi tradisi dan adat. Eksploitasi budaya bisa saja terjadi, misalnya dalam bentuk komersialisasi budaya yang tadinya bersifat sakral. Tapi tampaknya, masyarakat Bali sendiri tidak jauh keluar dari hal-hal yang bersifat tradisi, karena keyakinan mereka terhadap nilai tradisi itu begitu kuat. Karena itu, pengaruh-pengaruh turisme tidak terlalu jauh menggeser kebudayaan Bali. Walaupun ada, tapi sedikit.

JIL: Dari pengalaman pribadi Anda, apakah nilai-nilai kehinduan lenyap ketika berinteraksi dengan banyak orang non-Hindu?

Lenyap sih, tidak. Tapi memang, at least ada pergeseran pemahaman. Ketika di Bali dulu, kita menganggap bahwa kemampuan bertoleransi kita tidak akan sekuat ketika kita keluar dari Bali. Artinya, memahami agama itu harus kita sesuaikan dengan konteks, waktu, dan tempat. Nah, itu kita rasakan betul ketika kita sudah berinteraksi ke luar Bali dengan segala macam orang dari beragam latar belakang agama, suku, dan kebudayaan. Dengan itu, mau tidak mau kita harus menyesuaikan pemahaman agama kita agar kita bisa melakukan interaksi secara baik dan tidak menimbulkan konflik dan lain sebagainya.

Saya rasa, itu dimungkinkan karena orang Bali secara umum memahami agama secara tidak dogmatis dan tekstual. Kita lebih banyak memahami agama dari sistem reward and punishment yang kita sebut hukum karma itu tadi. Itulah yang membuat tingkat toleransi masyarakat Bali itu cenderung baik. Soal pencapaian spiritualitas memang ada bermacam-macam cara. Di Bali, kita mengenal Tapa, Yoga, Brata, dan Semedi. Ada yang melakukannya dengan cara persembayangan dengan tirtayatre ke pura-pura, ada pula yang melakukan puasa pada hari-hari tertentu, dan ada pula yang mengamalkan mantra-mantra untuk meningkatkan kualitas spiritual.

Untuk saya, mungkin baru sampai tahap tirtayatre atau mengunjungi tempat-tempat persembayangan yang diwajibkan sesuai dengan ajaran dan tradisi kita. Selain itu juga melakukan kewajiban-kewajiban lain yang sudah ditentukan, seperti pancayatna. Jadi ada lima kewajiban bagi kita untuk melakukan pengorbanan, baik terhadap alam semesta, sesama manusia, kepada para pendeta, fakir miskin dan lain sebagainya.

JIL: Adakah nilai-niali spiritual Hindu yang mendorong atau memengaruhi cara berpikir dan bertindak Anda sebagai seorang pengusaha?

Itu hal sangat mendasar yang mewajibkan saya atau masyarakat Hindu umumnya untuk senantiasa meningkatkan produktivitas. Dalam ajaran Hindu, kita mengenal apa yang namanya Trirene, yaitu tiga utang: dewarene, pitrarene, dan resirene. Dari tiga utang tadi, kita diwajibkan untuk membayarnya dengan lima pengorbanan yang disebut pancayatne. Karena itu, tanpa produktivitas yang cukup, kita tidak mungkin membayarnya. Sebab ongkos untuk membayar itu semua sangat tinggi. Mau tidak mau, saya secara sadar harus meningkatkan produktivitas untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban agama.

JIL: Bagaimana cara orang Hindu seperti bapak menghampiri Tuhan?

Dalam mencapai Tuhan ada berbagai cara. Ada yang dengan sembayang. Ada pula dengan cara seorang marsi, yaitu melakukan pengajaran ilmu pengetahuan, atau seperti seorang ksatria dengan melakukan perang. Itu semua merupakan salah satu bentuk bakti atau penyerahan diri kita kepada yang Maha Kuasa. Tapi hal itu tidak dimasukkan di dalam hukum agama.

JIL: Bagaimana pengalaman pribadi Anda dalam melakukan pengabdian?

Di kampung saya kebetulan ada tempat ibadah para pemuka agama. Saya termasuk salah satu pemuka agama yang diperbolehkan menyelesaikan ritual-ritual ibadah di kampung saya. Jadi kalau ada pendeta, ada panendite. Nah saya adalah seorang panendite.

JIL: Sebagai panendite, bagaimaan Anda menyesuaikan ajaran Hindu dengan kehidupan sehari-hari?

Sebetulnya, kalau kita memahami tradisi atau adat istiadat dengan baik, kita akan tahu bahwa agama Hindu itu punya fleksibilitas yang sangat tinggi. Jadi kita tak harus memahami sesuatu sesuai dengan teks yang ada dalam Weda sendiri. Setiap orang selalu punya tafsir berbeda-beda tentang agama. Tergantung nalar masing-masing. Dengan begitu, tidak terjadi kontradiksi antara kepentingan atau pemahaman seseorang atau saya sebagai pengusaha dengan kepentingan saya sebagai pemangku pure.

JIL: Bagaimana perbedaan suasana Bali sebelum dan sesudah bom Bali 2002 dan 2005?

Sebetulnya ada atau tidak adanya bom, Bali sudah punya persoalan sendiri. Seperti yang kita tahu, pertumbuhan ekonomi Bali sangat sentralistis, hanya tumbuh di daerah Kute dan Nusa Dua yang nota bene dua kabupaten atau satu kabupaten dan satu kota. Karena itu, setelah bom, arus wisatawan ke Bali itu sangat kecil dibanding sebelumnya. Tapi kalau kita lihat data yang ada, memang angka pengangguran meningkat diakibatkan oleh menurunnya wisatawan setelah bom Bali I dan II. Sampai-sampai ada beberapa orang Bali yang kesulitan mendapat pekerjaan. Akibatnya, pemerintah mengambil solusi dengan memberangkatkan mereka sebagai TKI. Itu sinyal kuat yang menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan di Bali itu sendiri sangat kecil.

Karena itu, kita perlu terus menambah tingkat wisatawan supaya dapat kita rasakan manfaatnya. Kalau sekarang anggaran recovery itu ada tapi dampaknya belum bisa kita rasakan. Proses PHK berjalan terus, bahkan lebih besar. Seharusnya, kalau pemerintah serius melakukan recovery perekonomian Bali, itu bisa dirasakan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya angka pengangguran.

JIL: Sebagian orang Bali kita berpendaat perlunya retradisionalisasi Bali karena pariwisata dianggap telah menggerus budaya lokal Bali. Tanggapan Anda?

Saya rasa itu lahir dari keadaan yang membuat masyarakat sangat frustasi. Tapi jumlah orang yang punya pemahaman perlunya retradisionalisasi Bali itu tidaklah besar. Jadi tidak perlu terlalu dikhawatirkan. []

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1224

 

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq