Saya percaya bahwa jurnalisme sangat berguna untuk kebaikan masyarakat. Kalau masih ditanya juga soal apa agama saya, saya akan jawab: agama saya adalah jurnalisme. Demikian pernyataan Andreas Harsono, Direktur Pantau, kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Kantor Berita Radio 68H Jakarta, Kamis (3/5) lalu.
Mas Andreas, bagaimana sosialisasi keberagamaan Anda di masa kecil?
Saya lahir dari keluarga Tionghoa di kota Jember, sebuah kota perkebunan tembakau. Orang sana dapat duit dari tembakau. Mayoritas penduduknya campuran Jawa-Madura, dan mereka pengikut NU. Saya termasuk generasi ketiga keluarga yang hidup di sana. Sejarahnya, engkong dan emak saya datang dari sebelah selatan Tiongkok, di daerah dekat Guang Dong. Seperti kebanyakan orang Tionghoa, kami dibesarkan dalam agama Konghucu. Jadi, saya tahu ada kelenteng, ada Lian Long di Jember.
Pada tahun 1971, waktu saya masih kecil, pernah ada pertunjukan Lian Long yang besar sekali. Kebetulan, ayah saya adalah ketua panitianya. Nah, saya besar dalam situasi perubahan karena lahir tahun 1965. Namun, pelan-pelan suasana itu makin lama makin sulit. Sebab agama Konghucu dulunya adalah agama yang tidak diakui pemerintah. Kelenteng kami harus diganti vihara.
Apa implikasi dari tidak adanya pengakuan terhadap agama Konghucu itu?
Nama harus diganti dengan nama Indonesia. Itu peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa semua orang Tionghoa harus diganti namanya. Nama saya dulunya adalah Ong Tjie Liang. Waktu itu kita susah juga; bagaimana nama harus diganti? Ayah saya lalu pergi ke seorang guru yang diaggap baik di Jember. Beliau mengusulkan nama ayah diganti jadi Harsono.
Sementara ibu saya, karena tidak bebas memilih agama, dan kebetulan punya pengaruh Kristen dari keluarganya, memilih masuk gereja. Ibu memang lebih religius daripada ayah. Dia memilih Kristen sebagai agamanya. Kemudian, anak-anaknya diberi nama-nama Kristen semua. Saya dapat nama Andreas. Konon, Andreas itu nama salah satu muridnya Yesus.
Tampaknya ada banyak akal untuk menyiasati hambatan negara terhadap kebebasan beragama. Trik-trik apa yang dilakukan keluarga Anda untuk mengungkapkan ekspresi keberagamaan?
Ya, pragmatis saja. Yang penting selamat. Kita tidak mungkin melawan negara yang begitu besar ini. Kita juga sadar bahwa kita adalah minoritas kecil. Mempertahankan Konghucu sebagai agama untuk dianut, ya tidak mungkin. Jadi, ya pindah agama lain. Memang ada juga yang mempertahankan Konghucu secara diam-diam. Mereka sebenarnya cukup banyak. Tapi, ya tetap sulit; sama sulitnya dengan belajar bahasa Mandarin. Orang akan sulit belajar agama Konghucu kalau belajar bahasanya saja juga dilarang. Akhirnya, kemampuan berbahasa itu hilang.
Sekarang, ketika sudah dewasa, saya bertanya Kwan Kong itu siapa, ya? Saya pernah ingat tiga dewa perang; Kwan Kong, Chang Fe, sama satu lagi, saya lupa. Sebetulnya, ada keinginan untuk tahu siapa dewa-dewa tersebut. Tapi karena tidak pernah belajar, tidak pernah tahu, tidak pernah bisa membaca kitab-kitab keagamaan, jadinya tidak tahu. Anda bisa bayangkan bagaimana hidup dalam sebuah negara di mana Islam bukan agama yang diakui negara. Mungkin saja, Anda tak bisa membaca Alquran, tidak boleh tahu cerita Nabi Muhamad, dan lain sebagainya. Anda bisa bayangkan itu. Sebab, melawan berarti melanggar hukum.
Di tengah hambatan-hambatan seperti itu, Anda hidup dan berkembang dalam agama apa?
Campur-campur. Saya masuk sekolah Katolik. Di sekolah Katolik itu ada pelajaran agamanya. Memang, sebenarnya ada maksud dari mereka agar kita masuk Katolik. Mama saya masuk Kristen Protestan. Dia masuk ke Kie Tok Kauw Tjong Hwee. Itu gereja Jawa-Tionghoa. Sekarang namanya GKT (Gereja Kritus Tuhan). Saya juga dikirim ke sana. Mereka baik-baik karena dalam kehidupan bermasyarakat selalu terjadi interaksi.
Tapi kehidupan mama saya kurang baik. Dia sering bertengkar dengan papa, dan akhirnya bercerai. Tetapi sebelum bercerai, saya sempat dekat dengan dua orang pegawai papa; satu di toko, yang lain di rumah. Dua-duanya orang Madura. Satunya bernama Syafe’i, dan satunya lagi Mbok Wi atau Mbok Sarkawi. Itu karena anaknya bernama Sarkawi. Jadi, Mbok Wi itulah yang sebenarnya membesarkan saya. Saya sering tidur di rumahnya, dan dia juga sering membawa saya ke pesantren. Jadi nggak keruan, campur-campur semua. Tapi semua saya ikuti.
Anda juga coba mengenal lingkungan yang dominan Islam tradisional, ya?
O, ya. Saya bisa bahasa Madura, bahasa Jawa, sedikit Mandarin. Kaum minoritas yang tertindas di mana-mana di seluruh dunia, baik Yahudi, orang Jawa di Suriname, atau orang hitam, selalu harus fleksibel dan mesti belajar sebanyak mungkin dari masyarakat sekelilingnya.
Tapi tak mungkin menanamkan keyakinan agama yang betul-betul ketat, ya?
Nggak juga. Saya belakangan sadar bahwa kita tetap bisa belajar agama apapun sebanyak mungkin. Tidak hanya satu. Dan itu menurut saya lebih baik. Untuk anak kecil, dia bisa melihat sendiri. Akhirnya, dia bisa memilih sendiri. Sampai sekarang, saya selalu merasa senang kalau melihat orang salat sendiri dengan syahdu, atau zikir sendirian. It’s beautiful! Saya belajar banyak hal dari itu.
Ketika kuliah, saya mulai belajar soal kemanusiaan, filsafat, belajar Sokrates, belajar Plato, dan lain-lain. Saya juga sempat kuliah di Universitas Harvard. Salah satu mata kuliah di sana yang saya sukai adalah soal justice. Dan sejak saat itu, saya berpikir bahwa ada yang namanya kemanusiaan.
Kapan Anda keluar Jember dan melihat dunia luar yang lebih beragam?
Saya tinggal di Jember sampai umur 15 tahun. Saat SMA, saya dikirim ke kota Malang. Di sana saya sekolah di sekolah Katolik lagi. Namanya SMAK Sint. Albertus; sebuah sekolah tua dari zaman Belanda. Setelah itu saya kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Nah, ini sekolahan Protestan. Tapi waktu itu, dosennya bagus-bagus. Ada Arief Budiman, George Aditjondro, Ariel Hariyanto, Nico L. Kana, Richard Hutapea. Ada juga Pendeta Sutarno yang sangat renaissance dan Pendeta Probo yang mendirikan Parkindo (Partai Kristen Indonesia, Red) bersama-sama dengan Hatta saat di Belanda.
Kalau dipikir-pikir lagi, apakah agama masih penting buat Anda?
Untuk pribadi, saya kira masih penting. Tapi untuk negara, tentu tidak penting. Saya kira, negara tidak perlu ikut campur urusan agama warganya. Harus ada pemisahan yang jelas. Negara hanya berkewajiban mengurusi kebutuhan warganya menyangkut kehidupan bersama, seperti mengatur saluran telepon, saluran air bersih, jalan yang bagus, tidak banjir, perasaan aman, jaminan hukum, dan tidak diskriminatif. Kalau urusan agama, itu biarlah menjadi urusan masjid, gereja, madrasah dan pesantren, vihara dan klenteng.
Tapi ada yang berpikir kalau agama juga diurus negara, dia akan lebih berkembang dan membuat negara makin baik…
Justru terbalik. Orang-orang yang ingin memaksakan ini yang akan merusak negara dan tidak akan membuat negara makin baik. Orang ini hanya ingin negara ikut campur mengatur agama. Negara harus mewajibkan pelajaran agama di sekolah-sekolah. Di zaman Sukarno, di sekolah dasar negeri tidak dibolehkan adanya pelajaran agama apapun. Tapi setelah zaman Orde Baru, dalam rangka memberi angin pada Islam, maka diadakan pelajaran agama di sekolah-sekolah. Sebenarnya, ini kebijakan yang keliru. Itu membuat negara makin lama makin kacau. Akibatnya muncul korupsi, karena negara ini terlalu banyak mengatur.
Dalam pengembaraan Anda melihat ekspresi keberagamaan beragam masyarakat di hampir seluruh Indonesia, apakah agama dianggap cukup penting?
O, ya. Di Indonesia, agama itu cukup penting. Tapi di Indonesia yang mana dulu, tentu harus kita tanya. Indonesia begitu beragam. Secara geografis, Indonesia punya empat bahkan lima time zone: WIB, WITA, dan WIT. Seharusnya ada lima. Nah, di lima kawasan ini, dari Aceh sampai Papua, ada lebih dari 500 bahasa. Di Pulau Miangas yang dekat dengan Mindanao misalnya, ada bahasa Talaut, bahasa Tomea, bahasa Binongko, bahasa Rote, dan lain-lain. Jadi kalau Negara mau ngurusin agama, saya kira yang pertama-tama terjadi adalah penindasan terhadap agama-agama kecil seperti Kaharingan, Batak, Jawa, dan lain-lain. Kedua, itu akan jadi sumber korupsi.
Mas Andreas, ada semacam stereotipe yang menyebut orang Tionghoa agak tertutup dalam pergaulan dengan etnis lain. Apa penjelasan Anda?
Ada dua teori untuk menjawab soal ekslusivitas orang minoritas. Saya mulai dari cerita. Saya pernah mengajar di IAIN Al-Raniry Banda Aceh. Nah, di Banda Aceh itu ada semboyan yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia itu sebetulnya tidak ada. Yang ada adalah ”bangsa Jawa” dengan nama samaran “bangsa Indonesia”. Dan, Jawa itulah yang menjajah Aceh. Nah, di Aceh juga ada banyak transmigran dari Jawa. Pada suatu saat, salah satu mahasiswa saya tanya. Mereka biasanya panggil saya Teuku. “Teuku Andreas, mengapa orang-orang Jawa tidak mau bergaul dengan orang lain? Kalau ngomong, meski di luar Jawa, mereka tetap pakai bahasa Jawa. Bahkan, kawin pun harus dengan orang Jawa. Mereka juga tidak mau bergaul,” katanya.
Lalu saya jawab, “Ya biasa, orang minoritas itu, ya begitu!” Mereka pertama-tama harus bergelut lebih kuat dibanding yang mayoritas. Itu karena posisi mereka kecil. Dan mereka harus bekerja lebih keras. Kalau kita lihat para pendatang di Papua, baik dari suku Bugis, Batak, Jawa, dan lain-lain, mereka juga termasuk pekerja-pekerja keras. Kebanyakan berhasil. Di mana-mana, orang minoritas itu seperti itu. Karena bekerja terlalu keras, mereka lupa bersosialisasi.
Tapi di Aceh, banyak sekali orang Jawa yang bisa bahasa Aceh. Sama halnya dengan orang Tionghoa yang bisa bahasa Jawa, Sunda, dan seterusnya. Jadi biasalah itu. Meskipun kadang kita jengkel juga kalau melihat orang Tionghoa yang hanya mikirin kerja dan seterusnya. Tapi yang penting, mereka tidak bunuh orang, tidak melakukan kekerasan. Itu yang penting.
Tapi selalu ada perasaan tidak aman gitu ya?
Ya, tentu. Itu terjadi di mana-mana. Misalnya orang-orang Madura di Kalimantan Selatan. Mereka didiskriminasikan secara luar biasa. Tidak ada diskriminasi yang lebih besar di Indonesia sehebat yang dialami orang Madura di Kalimantan Selatan. Dari Pontianak sampai Samarinda. Tapi mereka juga bekerja keras. Dan saya tahu, betapa kerasnya mereka bekerja. Kadang-kadang sampai disalahmengerti tetangganya. Ya, mereka dianggap tidak peduli dengan tetangga, karena jarang bergaul.
Bagaimana Anda memandang Pancasila sebagai ideologi bernegara?
Esensinya, saat Indonesia hendak didirikan, terjadi perdebatan keras sekali soal dasar negara. Ada yang mengatakan Islam, karena perdebatannya berlangsung di Jawa dan penduduk Jawa mayoritas Islam. Kalau saat itu Indonesia berpusat di Minahasa, mungkin dasar yang akan diangkat juga Kristen. Tapi kira-kira, waktu itu yang diangkat adalah Islam. Itu pertama.
Paham kedua namanya sekularisme. Tapi karena ada kompromi nasionalisme, maka ideologi itu dinamakan Pancasila. Tapi esensinya adalah sekularisme, yaitu keinginan agama dan negara dipisahkan. Kalau agama dan negara dicampur, maka negara akan tidak netral dan menjadi rebutan banyak orang. Islam akan merebut, Kristen akan merebut, Hindu akan protes, dan sebagainya.
Saya melihat, semua negara yang menyatu dengan agama tidak ada yang beres. Anda bisa perhatikan itu di tingkat dunia. Misalnya Afganistan, Pakistan, Arab Saudi, Iran, dan lainnya. Persoalan yang muncul selalu soal minoritas. Dalam suatu negara, selalu ada banyak agama minoritas. Nah, isunya adalah bagaimana memperlakukan mereka kalau salah satu agama dijadikan dasar bernegara. Saat itu juga akan ada agama lain yang menjadi kelas dua.
Dan, perlakuan negara terhadap salah satu agama sebagai agama kelas dua adalah bentuk diskriminasi. Kalau suatu negara sudah melakukan diskriminasi, pasti itu sudah tak beres. Dulu, di Indonesia ada perdebatan tentang Piagam Jakarta. Soekarno juga melarang sekolah-sekolah agama. Tapi untuk kompromi politik, dia tetap mengizinkan adanya Departemen Agama. Yang meminta waktu itu adalah almarhum bapaknya Gus Dur. Katanya untuk menjembatani urusan agama dan negara. Tapi sebetulnya, urusannya hanya soal Islam, karena kebetulan yang meminta juga orang Islam.
Ada 4 orang penting di masa itu; KH Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, Abikoesno (Ketua Muhamadiyah), dan Mohamad Hasan dari Aceh. Mereka minta dibikin Departemen Agama pada 19 Agustus 1945. Tapi akhirnya tidak beres. Sekarang malah masih ada SKB (surat keputusan bersama) menteri yang membuat orang membangun, terutama gereja-gereja, sangat susah. Di Indonesia, selalu ada pembakaran gereja antara tahun 1945-1997. Jumlahnya sekitar 350-an gereja. 80 persennya terjadi di pulau Jawa.
Di Papua, Flores, maupun Minahasa, kalau orang Islam ingin bangun masjid, asal punya duit, ada tanah, ada izin bangunan (bukan izin pendirian tempat ibadah), ya nggak apa-apa. Di Jawa, urusan gereja itu susah sekali. Itu sebenarnya diskriminasi. Itu adalah contoh kehidupan agama dan negara yang dicampur-baur. Akbiatnya, kehidupan kenegaraaan kita jadi rumit.
Anda banyak bersinggungan dengan pelbagai agama dan budaya. Dari sekian banyak agama, mana yang paling cocok bagi Anda?
Hari ini saya belum bisa menjawab. Ini adalah perjalanan yang masih panjang. Istri saya yang sekarang adalah seorang muslim dari Madura. Ayah saya seorang Tinghoa beragama Konghucu. Ibu tiri saya Jawa pemeluk Protestan. Tapi kebanyakan agama orang Jawa itu juga campur-campur. Kebetulan di keluarga, saya agak dituakan. Jadi agak susah bagi saya kalau harus berpihak kepada salah satu dari mereka. Jadi saya belum dapat menjawab. Mungkin saya akan memberi jawaban kelak kalau saya mau meninggal.
Ada cara-cara pribadi seperti ritual agama yang sering dilakoni?
Pertanyaan yang bagus! Kalau masih ditanya juga soal apa agama saya, saya akan jawab: agama saya adalah jurnalisme. Saya percaya bahwa jurnalisme sangat berguna untuk kebaikan masyarakat.
Karena itu Anda pernah menulis bahwa jurnalisme juga mengandung spiritualitas?
Kutipan itu sebenarnya bukan pendapat saya. Ini adalah pendapat Bill Kovach. Dia adalah seorang guru wartawan asal Albania yang sangat dihormati. Dia seperti saya. Bapaknya muslim, ibunya Kristen ortodok. Dia sendiri menikah dengan seorang Kristen kulit putih yang sangat dihormati. Beliau berpendapat: makin bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang akan dibuat. Saya percaya, apabila jurnalisme di Indonesia bermutu, maka kehidupan masyarakat kita juga akan makin bermutu. Persoalannya, di Indonesia ini, semua medianya masih di bawah standar mutu jurnalisme internasional.
Dalam pengamatan Anda, agama itu faktor integrasi atau sebaliknya?
Yang saya tahu, di Indonesia banyak sekali orang bunuh-membunuh dengan mengatasnamakan agama. Itu yang membuat saya sedih. Jangan kira karena orang Aceh yang sama-sama muslim tidak saling bunuh-bunuhan. GAM dan TNI itu kan sama-sama muslim. Tapi mereka bunuh-bunuhan.
Akomodasi agama atas budaya lokal bagaimana?
Setiap agama yang diimpor dari luar, ketika sampai ke daerah baru, pasti akan diadaptasikan. Tidak pernah ada agama yang bisa murni seperti mulanya. Agama impor pasti akan diadaptasi. Jangan salah, para wali Islam itu dakwahnya juga menggunakan wayang dan gamelan. Beragama juga bukan soal zero sum game. Jadi kalau saya yang tadinya Konghucu pindah Kristen, itu tidak akan meninggalkan tradisi Konghucu sepenuhnya. Orang Jawa yang masuk Islam juga tak akan bisa murni meninggalkan kejawen. Selalu ada adaptasi. Jadi campur. Tidak ada yang murni.
Anda sering menyaksikan agama-agama suku di Indonesia. Apa penilaian Anda?
Kebanyakan kecil. Tapi mereka kadang lebih khusyuk dalam beragama. Mau motong pohon saja ada ritualnya. Mau pergi ada doanya. Bahkan saya pernah memperhatikan sebagian mereka sangat dekat dan baik sekali dengan alam. Kalau orang Jakarta ini kan jahat sekali sama alam. Semua orang pakai mobil, semua pakai pendingin udara. Akibatnya, Jakarta tak layak ditempati 8 juta rakyat. Jakarta hancur. Akhirnya orang kena asma dan macam-macam lagi. Ini semua karena orang tidak beragama dengan baik.
Tapi religiusitas orang suku itu lebih sering disebut kearifan lokal, tidak dianggap agama. Karena itu, sering diekspansi...
Itu kan anggapan orang luar. Orang menganggap Sunda Wiwitan itu sebagai kearifan lokal. No! Apa hak kita atas nama agama-agama impor ini untuk mengecam agama lokal itu?! Mereka sama-sama punya hak hidup. Karena itu, saya tak setuju di KTP ada agamanya. Itu suatu bukti tentang intervensi negara di dalam kehidupan agama kita.