Alam adalah Kitab Suci Kita - Jaringan Islam Liberal (JIL)
Halaman Muka
Up

 

Franky Sahilatua:

Alam adalah Kitab Suci Kita

29/01/2007

Naifnya, bangsa ini selalu tenggelam dalam tahayul seperti itu. Mungkin kita memang harus bernegara dengan akal sehat. Saya juga minta maaf pada semua kalau mengatakan bahwa kita juga mesti beragama dengan akal sehat. Saya bahkan mencoba bertuhan dengan akal sehat.

Saya sampai pada kesimpulan bahwa alam dengan semua unsurnya, adalah kitab suci kita. Itulah yang harus kita tangkap. Tapi, karena tak jarang manusia kurang peka dalam membaca isyarat-isyarat alam, dan memang tidak semua mampu, maka diturunkanlah buku-buku itu; Alqur’an, Alkitab, kitab suci Buddha dan Hindu, dan lain-lain. Demikian sekelumit pergulatan iman Franky Sahilatua, seniman yang dikenal dengan lagu-lagui balada dan kritik sosialnya, kepada Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) Kamis (19/1) lalu.

Mas Franky, bagaimana agama dikenalkan pada Anda sejak kecil?

Agama yang dikembangkan di keluarga saya (Kristen), adalah agama yang santai, tapi ya serius. Serius tapi juga santai atau sersan. Substansi-substansi agama itu saja yang banyak diberikan. Untuk tampilan-tampilan, kosmetik-kosmetik, tidak ditekankan betul kepada kami.

Apa yang Anda maksud substansinya agama itu? Kalau tampilan luarnya kan kelihatan, seperti rajin ke gereja...

Gereja yang sebenarnya itu kan ada di dalam hati kita. Doa atau sembahyang itu tak harus di tempat khusus. Sebab gereja yang tahan gempa, banjir, tahan tanah longsor, itu ada di dalam hati. Kalau bangunan bisa longsor, ambruk, dan terbakar. Karena itu cuma semen-semen dan batu-batu saja. Jadi yang diajarkan keluarga kami adalah: yang harus diperkuat adalah gereja-gereja atau masid-masjid di dalam hati kita. Itu lebih penting. Hari ini, kita melihat longsong, banjir, gempa bumi. Gejeja-gereja atau masjid-masjid pada ambruk. Tidak tahan gempa dan banjur. Itu kita tonton langsung di televisi. Artinya, semua itu hanya fisik bangunan saja. Yang lebih penting dibenahi adalah gejera-gereja yang ada di dalam hati kita.

Kalau dijabarkan dalam bentuk nilai-nilai, apa saja isi dari substansi agama yang ditanamkan pada Anda oleh keluarga?

Ya, sederhana. Jangan menyakiti orang lain, memberi kepercayaan penuh pada orang lain—meski dalam hal ini kita sering kena tipu. Kita kadang menganggap orang baik padahal tidak selamanya begitu. Selain itu, juga cinta kasih antar sesama. Hal yang terpenting adalah bagaimana perilaku kita sama dan sebangun dengan doa kita. Atau sebaliknya, doa kita sejalan sebangun dengan perilaku kita setiap hari.

Itulah bedanya kalau gereja, masjid, vihara, atau pura ada di dalam hati kita. Dengan begitu, doa kita sama dan sebangun dengan perilaku kita. Kebanyakan orang beragama, tapi masjid, gereja atau viharanya tidak ada di dalam hati mereka. Akhirnya, gerejanya dipengkolan sana, dan masjidnya ada di pengkolan sini. Artinya, doanya tidak sebangun dengan perilakunya.

Ada buku-buku khusus atau tokoh-tokoh yang ikut membentuk pemahaman keagamaan Anda?

Saya orang yang justru tidak punya hobi membaca. Tapi saya hobi mendengar dan melihat. Itulah kekuatan saya. Sering kali saya diberi buku oleh orang, tapi bahkan plastiknya pun belum saya sobek. Terus terang. Plastiknya saja belum kebuka, apalagi halamannya. Karena saya sadar bahwa kekuatan saya ada di pendengaran dan kontemplasi. Tak jarang apa yang dipikirkan orang dalam kalimat yang panjang-panjang buku, bisa saya tangkap mindset-nya saja. Dengan begitu, saya tahu bagaimana bingkai pikirnya. Dengan begitu pula, saya bisa punya kesimpulan: oh, orang ini begini. Ya sudah. Itu mungkin kepekaan saya.

Artinya Anda lebih senang membaca dan menghayati alam ketimbang sesuatu yang tersurat di lembaran kitab?

Ya, betul. Karena bagi saya—saya minta ampun dan jangan ada yang tersinggung—saya telah sampai pada kesimpulan bahwa alam itu adalah kitab suci kita. Terdiri dari semua unsurnya, baik fisik maupun filosofinya. Itulah yang harus kita tangkap. Hanya saja, karena tak jarang manusia kurang peka dalam membaca isyarat-isyarat alam, dan ternyata memang tidak semua bisa, maka diturunkanlah buku-buku itu; Alqur’an, Alkitab, kitab suci Buddha dan Hindu, dan lain-lain.

Tapi sebenarnya, alam itu sendiri sudah merupakan sebuah panutan untuk saya. Dan itu sering saya pakai dalam syair-syair saya, terutama di album-album yang pertama. Misalnya ada syair: kalau sudah malam hari, jangan pernah berharap matahari pernah bersinar. Ini kan filosifi-filosifi alam yang sebenarnya dapat dipakai untuk menata kehidupan manusia. Apalagi secara fisik, alam itu juga berisi biji-bijiannya untuk kita makan. Juga oksigen atau angin untuk kita hirup dan bernapas. Air di lautan dan sungai untuk kita minum. Tanah untuk kita berpijak. Semua itu kongkret.

Kalau begitu, di mana posisi kitab suci agama bagi Anda?

Mungkin karena pada satu sisi manusia itu sudah disibukkan dan secara umum tidak bisa peka dalam membaca alam sebagaimana margasatwa, dan juga karena teknologi penginderaan manusia itu rendah, tidak seringgi margasatwa atau binatang-binatang, karena ketidakmampuan kita, kita sering menyebutnya naluri atau insting binatang. Padahal sebenarnya itu tidak insting. Hitungannya tepat sekali.

Adakah hubungan antara penghayatan terhadap alam dengan penghayatan terhadap eksistensi Tuhan?

Ya, ada. Dari semua itu kita bisa tahu bahwa memang pikiran manusia itu, setinggi atau sepandai apapun, baru 5 % saja yang sudah tersingkap. Orang jenius seperti Albert Einstein atau Steven Hawking, baru 5 % saja menggunakan seluruh kapasitas otak manusia yang mungkin. Ketika kita baru lahir, otak sudah punya seperti lampu-lampu yang berjumlah jutaan. Ketika anak mulai berkata bapak, papa, atau mama, satu lampu mulai menyala. Ketika mulai pandai meraba, lampu satunya meyala lagi. Nah, sekolah atau institusi pendidikan merupakan bagian dari usaha untuk menyalakan lampu-lampu itu.

Di mana fungsi agama; untuk membatasi kemampuan otak manusia karena takut menyaingi Tuhan, atau justru merangsang optimalisasi kerjanya?

Rasanya, justru agama harus merangsang. Tidak membatasi. Sebenarnya kitab-kitab suci agama diturunkan untuk membantu manusia me-manage atau menata kehidupan agar jadi lebih baik. Prinsipnya seperti itu; agar kehidupan lebih baik, maka turunlah kitab-kitab itu.

Di tahun 1990-an Anda sering keluar masuk pesantren untuk konser-konser bersama Emha Ainun Najib. Apa kesan Anda terhadap Islam pesantren, Mas?

Pada dasarnya di pesantren, dari dulu sampai sekarang, ada warna Islam Indonesia. Saya senang tampil di situ. Saya konser di pesantren dengan teman-teman seperti Emha Ainun Najib untuk menunjukkan sebuah cerminan toleransi. Itulah yang jadi jati diri bangsa ini. Kodrat republik ini harus seperti itu. Many colours. Itulah kodratnya republik ini. Warna-warni. Nah, itulah yang harus terus-menerus ditampilkan. Makanya saya sering melakukan tampilan-tampilan di pesantren, vihara, pure, maupun gereja. Saya ingin memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa inilah toleransi dalam kebhinekkan itu. Mari kita saling menghormati.

Di dunia ini, banyak orang yang makan garam, tapi sedikit saja yang jadi asing. Tapi ada banyak orang lainnya yang sedikit saja makan garam sudah jadi asin. Artinya, banyak orang yang bilang kalau lebih tua, dia akan lebih tahu dan lebih arif. Tidak mesti begitu. Itu hanya soal kalender. Yang penting kita rajin menggali keimanan kita. Tapi mohon maaf, penggalian saya tidak dalam tampilan-tampilan yang agamis.

Saya menghindar dari itu. Sebab proses reliji dalam hati orang itu berbeda-beda. Banyak jalan menuju Tuhan. Jadi tidak mesti dalam bentuk kosmetik dan kostum yang mencolok. Biasa-biasa saja. Yang lebih penting adalah perjalanan hati kita. Dan itu juga akan mengasah ketulusan manusia. Tapi kalau kita sudah dipenuhi kosmetik dan kostum, sering kali itu menjadi alat untuk bersembunyi dari hati yang culas dan tidak bersih.

Anda berasumsi ada Islam yang khas Indonesia pada masyarakat pesantren. Adakah asumsi sebaliknya, yaitu Islam yang tidak Indonesiani?

Ya, itu kita bisa lihatlah. Saya tidak mau membahasnya. Tapi bagi kita yang perlu adalah membahas jati diri Indonesia. Kita semua orang Indonesia. Kalau beragama Islam, ya semestinya Islam Indonesia. Kalau Hindu, ya Hindu Indonesia. Kristen, ya Kristen Indonesia. Buddha, ya Buddha Indonesia. Konghucu, ya Konghucu Indonesia.

Jadi, kita ini menjadi Indonesia dulu. Itu yang penting dan nomor satu. Kalau kita lebih punya kesadaran kosmik, kita pasti akan lebih mengerti itu. Sebetulnya manusia ini kan seperti semut-semut saja. Kalau kita jauhkan lensa pandangan kita dari bumi ini, seperti disorot dari Apollo atua planet lain, bumi ini kan seperti bola tenis saja. Kalau planet bumi ini saja seperti bola tenis, di mana posisi kita. Apakah tidak seperti debu-debu yang sangat halus itu?!

Apa karena itu Anda terinspirasi membuat lagu Pancasila Rumah Kita?

Saya terinsiprasi oleh WR Supratman, Cornelis Simanjuntak dengan Maju Tak Gentar-nya, Kusbini, atau Ismail Marzuki. Orang-orang seperti mereka itu, dulunya dapat memberi fantasi kepada rakyat Indonesia. Kita tahu, lagu-lagu mereka dibuat sebelum zaman kemerdekaan, sebelum proklamasi kemerdekaan 1945. Betapa hebatnya seniman-seniman itu memberi fantasi kepada masyarakat bahwa di depan kita ada bangsa, ada republik dan negara Indonesia. Fantasi ini yang ikut membentuk semangat orang Indonesia untuk bersatu.

Senapan dan peluru hanya lauk-pauknya saja. Nasinya adalah semangat. Dan semangat itu digulirkan lewat lagu-lagu yang mereka ciptakan. Indonesia tanah airku... Semua rakyat menyanyikan lagu itu. Ketika menyanyi itu, fantasi atau mindset mereka mengatakan bahwa kita harus bersemangat untuk berjuang karena di depan kita ada bangsa, republik, negara. Dari situ saya berpikir, harus ada orang seperti mereka-mereka lagi. Tapi saya tunggu-tunggu kok tidak muncul-muncul juga. Akhirnya, saya berpikir apa memang harus saya sendiri, ya?!

Dalam istilah Benedict Anderson, apa yang mereka lakukan adalah merekabayangkan tentang wujud Indonesia, dengan semangat dan tantangan di masa itu. Bagi Anda, apa tantangan Indonesia saat ini?

Terus terang, tantangannya lebih seru. Orang Indonesia sering menyebut mereka-mereka tadi pahlawan bangsa. Bagi saya, mereka adalah senior karena sesama pencipta lagu. Lalu, apa tantangan hari ini dan bagaimana kita memberi fantasi lagi kepada rakyat Indonesia ketika di negeri ini begitu banyak kekeruhan. Kita harus kembali. Nah instumen yang masih tersisa utuh adalah Pancasila. Karena UUD `45 sudah mengalami amandeman beberapa kali. NKRI, itu kan soal wilayah yang sudah given. Yang menjadi tool satu-satunya saat ini adalah Pancasila. Lalu, harus berbuat apakah kita dengan Pancasila?

Pancasila adalah instumen untuk menyatukan kembali pikiran-pikiran yang selama ini sudah banyak yang merantau ke luar rumah. Hari ini, banyak sekali yang merantau atau lari ke mana-mana. Mari kita tarik kembali mereka ke rumah kita. Dan rumah itu adalah Pancasila. Saya tidak tahu, tiba-tiba semua butir dalam Pancasila itu jadi satu butir kalimat dalam syair lagu saya. Saya kadang berpikir, ini bukan saya sendiri yang buat syair-syairnya. Ada yang bantu saya ini, he-he...

Ada tantangan lainnya?

Kita tahu, panggung-panggung hiburan Amerika pandai sekali mengekspor kebudayaan mereka. Mereka pandai memberikan fantasi kepada generasi mudanya, bahkan generasi muda planet ini, dengan tampilan Rambo, Superman, Spiderman, Starwar, dan lain-lain. Kedigdayaan Amerika dilambangkan dengan figur-figur seperti itu. Jadi, kebanggan-kebanggan itu memang dibangun, di-create.

Kita pun mestinya begitu. Kita tak bisa hanya bilang Indonesia ini negeri kaya raya, gemah ripah loh jinawi. Tahayul, itu! Naifnya, bangsa ini selalu tenggelam dalam tahayul seperti itu. Mungkin kita memang harus bernegara dengan akal sehat. Saya juga minta maaf pada semua kalau mengatakan bahwa kita juga mesti beragama dengan akal sehat. Saya bahkan mencoba bertuhan dengan akal sehat.

Apa tantangan di bidang seni?

Hari ini, seniman-seniman Indonesia digiring untuk hanya menyanyikan lagu cinta saja oleh produser-produser asing. Produser nasional sudah bangkrut semua. Saya bagian dari produser nasional itu. Kini semua sudah jadi produser asing. Ada EMI, Blackboard, Warners, Sony, BMG. Semua menggiring artis-artis untuk menyanyi lagu-lagu cinta saja. Dengan kata lain, pada generasi saya dulu, masih ada Ebiet G Ade, Iwan Fals, Doel Sumbang, Leo Kristy, dan Gombloh. Spektrumnya masih luas. Hari ini, kalau kita lihat layar televisi, 100% cinta.

Dulu saya juga menyanyi lagu cinta, seperti Lelaki dan Rembulan. Tapi ada sentuhan eksistensial dalam cinta. Tapi sekarang gombal semua. Di sini saya menangkap ungkapan: kalau Anda ingin menguasai sebuah bangsa, kuasailah kebudayaannya. Kalau ingin menguasai kebudayaan, keuasailah keseniannya. Kalau ingin menguasai kesenian sebuah bangsa, Anda harus menangkap industri keseniannya. Dan industri kesenian yang populer saat ini cuma dua, yaitu musik dan film. Film sudah seperti itu, dan musik juga.

Jadi, memang ada semacam upaya cetak pikir sosial yang disempitkan. Yang saya tangkap—semoga ini hanya kecurigaan saya saja—artis-artis Indonesia saat ini, tanpa mereka sadari, sedang tampil menjadi agen-agen pembodohan sosial. Karena mereka-mereka ikut menentukan jalan pikiran anak-anak muda hari ini, lelaki atau perempuan, dengan lagu-lagu cinta. Mereka tidak kenal lagi Pancasila, NKRI, UUD 45. Yang ada di kepada mereka cuma cinta. Semoga kecurigaan saya salah. Seakan-akan, kini ada upaya potong satu generasi. Bukan dnegan menghilangkan generasi tuanya, tapi dengan menolalkan atau menihilkan generasi mudanya. Eksistensi nasionalismenya dikosongkan total. []

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1197

 

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq