Baitul Muslimin Tak Akan Mengubah Prinsip PDI-P - Jaringan Islam Liberal (JIL)
Halaman Muka
Up

 

Budiman Sudjatmiko:

Baitul Muslimin Tak Akan Mengubah Prinsip PDI-P

05/02/2007

Fakta sejarah menunjukkan bahwa kaum nasionalis sudah berfusi dengan kaum Protestan dan Katolik. Kini, mengapa PDI-P tidak juga berinteraksi dengan kaum Islam? Jika tidak segera ada terobosan atau kompromi sejarah, kita khawatir kelompok-kelompok Islam kebangsaan merasa dicampakkan atau tidak diikutsertakan. Padahal mereka juga merasa punya visi itu.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) kini gencar diberitakan sedang membentuk Baitul Muslimin Indonesia (BMI). Seperti apa wujudnya dan apakah itu hanya taktik tebar pesona untuk merangkul kalangan Islam dalam dunia politik? Berikut perbicangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Budiman Sudjatmiko, salah seorang fungsionaris PDI-P, Kamis (26/1) lalu.

Bung Budiman, sejak kapan PDI-P punya gagasan membentuk Baitul Muslimin Indonesia?

Pembicaraan dimulai ketika terawih bersama di Kebagusan, Ramadan kemarin, dengan beberapa tokoh Islam di kediaman Ibu Megawati Soekarnoputri. Di situ ada Pak Dien Syamsuddin dari kalangan Islam (unsur Muhamadiyah), dan PDI-P sendiri. Saat itulah hadir gagasan sederhana: kita punya problem yang harus segera dipecahkan dalam hubungan antara kaum nasionalis dan Islam. Ini bukan fenomena akhir-akhir ini saja, tapi telah ada sejak awal abad ke-20. Itu yang telah ditunjukkan oleh Bung Karno.

Dalam artikelnya yang dimuat buku Di Bawah Bendera Revolusi, nasionalime, Islamisme dan Marxisme sudah diangkatnya sebagai tiga komponen objektif pendukung proyek kebangsaan Indonesia. Saat itu Bung Karno masih berusia 25 tahun. Tapi dalam perjalanan sejarah, kita tahu ada up and down atau pasang-surut hubungan. Ketika masa reformasi, problem itu tampak belum sepenuhnya tuntas. Nah, dari situ muncul pemikiran, kenapa di alam keterbukaan ini tidak ada dialog antara dua entitas yang masih tersisa (nasionalis dan Islam) itu?

Marxisme sejak tahun 1966 secara resmi sudah dilarang. Dua entitas komponen kebangsaan yang tersisa harus bertemu ketika kita menghadapi pertanyaan tentang eksistensi demokrasi kita. Setiap hari kita juga dihadapkan pada pertanyaan tentang eksistensi kebangsaan. Jika proyek-proyek atau entitas-entitas politik itu tidak melakukan dialog, terlalu banyak konsekuensi politiknya. Nanti akan ada kelompok masyarakat yang merasa tak dilibatkan dalam proyek kebangsaan ini. Padahal dalam sejarah, banyak juga kelompok-kelompok Islamis yang terlibat langsung dalam membangun dan membentuk proyek kebangsaan Indonesia.

Nah, dalam perjalanan puluhan tahun, kita saling bercerai, dan curiga antara kekuatan-kekuatan politik yang berlawanan. Dalam iklim reformasi sekarang, kita diharapkan sudah matang, dewasa, dan bisa duduk bersama. Dalam pembicaraan yang waktu itu juga saya ikuti, inti kecurigaan itu harus kita pangkas, tapi tetap dalam komitmen kebangsaan Indonesia, Pancasila, dan kebhinnekaan. Tiga hal itu adalah platform yang sering dikemukakan ketua umum PDI-P.

Almarhum Nurcholish Madjid sering menyebut tidak adanya benturan antara cita-cita Islam dan nasionalisme Indonesia. Bagaimana pandangan kaum nasionalis sekarang terhadap kaum Islamis?

Dalam realitas politik, apa yang disampaikan almarhum Cak Nur adalah pernyataan yang normatif. Dalam kenyataan politik, konflik, benturan, juga kerjasama, pernah kita lewati bersama-sama. Pertanyaannya adalah bagaimana kaum nasionalis melihat kelompok Islamis? Saya tak bisa mewakili semua kalangan nasionalis. Ini karena kita secara politik tidak bisa melihat nasionalis maupun kaum Islamis sebagai entitas yang tunggal. Dari segi politik, banyak pernak-perniknya. Wacana khilafah juga ada di kalangan Islamis.

Karena itu, sebenarnya kalau orang bicara tentang Islam Indonesia, mereka sedang bicara soal Islam modernis dan tradisionalis yang diwakili Muhamadiyah dan NU. Tapi itu biasanya klasifikasi terhadap pemahaman atas doktrin keagamaan. Dalam politik, yang penting dilihat bukan soal modernis atau tradisionalisnya, tapi apakah kelompok Islamis itu telah menjadi bagian dari proyek kebangsaan yang telah dibangun puluhan tahun ini atau tidak?

Ada yang dianggap tak ikut proyek kebangsaan?

Kita bisa juga bicara soal kelompok Islamis yang sebenarnya baru muncul belakangan dan dalam riwayatnya tak pernah terlibat dalam politik kebangsaan yang dibangun sejak zaman kolonialisme. Kami melihat, Muhamadiyah dan NU adalah dua organisasi Islam yang mewakili kelompok Islam kebangsaan. Karena itu, kaum nasionalis melihat baik Muhamadiyah maupun NU adalah representasi kelompok Islam yang sudah terlibat dalam proyek kebangsaan kita.

Itulah mengapa PDIP melakukan dialog dengan mereka ketika hendak membentuk Baitul Muslimin Indonesia dengan mengundang figur-figur seperti Pak Dien Syamsudin dan bersilaturrahmi dengan KH. Hasyim Muzadi. Itu bukan karena secara kuantitatif kelompok mereka besar, tapi karena secara ide mereka lebih dekat dengan gagasan kaum nasionalis. Mereka adalah home-ground Muslim, muslim yang tumbuh di tanah sendiri. Mereka tahu suka-dukanya menjadi bangsa Indonesia yang pernah terjajah, merdeka, dan pernah menjadi bagian dari bangsa yang direpresi kelompok otoritarian. Mereka mengalami apa yang juga dialami kaum nasionalis.

Sementara akhir-akhir ini, kita melihat munculnya kecenderungan kaum Islamis yang di mata kaum nasionalis, gagasan mereka lebih kosmopolit. Bagi kita, gagasan mereka belum tentu bisa tune-in dengan proyek kebangsaan yang sudah dibangun dengan darah dan air mata ini. Jangan-jangan mimpi-mimpi sosial mereka juga berbeda. Sementara itu, kita telah tahu mimpinya orang Muhamadiyah dan NU, sebagaimana mereka tahu mimpinya orang nasionalis.

Sementara orang-orang yang coming from nowhere–katakanlah demikian—tetap membawa gagasan yang menurut kita bersifat kosmopolit, tidak mengakar. Pandangan kelompok terakhir ini banyak juga yang masuk ke institusi-institusi yang memproduksi pengetahuan, opini. Mereka secara massif memproduksi peraturan-peraturan, perundang-undangan di legislatif maupun ekskutif tingkat lokal.

Menurut kami, itu semua berada di luar mimpi-mimpi kebangsaan yang sudah dan sekarang masih kita bangun. Karena itu posisi PDIP terhadap mereja sangat jelas. Di banyak kasus, seperti dalam perda syariat dan RUU APP, kita tolak itu. Saya bisa katakan belum pernah ada bukti PDI-P menyetujui syariat Islam. Tidak tahu kalau partai nasionalis lainnya. Karena itu, kita harus bertanya: agenda mereka apa? Kita perlu berdialog dengan kelompok Islamis-kebangsaan untuk pertama-tama mengikat mereka dalam cita-cita dan sejarah kebangsaan kita.

Ada dua pertanyaan. Pertama, apa ciri-ciri home-ground Muslim yang Anda sebutkan tadi? Kedua, banyak yang mengatakan kalau PDI-P sebagai sayap nasionalis telah melakukan miskalkulasi dengan merangkul sayap Islamis. Tanggapan Anda?

Dengan pertanyaan tersebut, Anda kira-kira mau mengatakan PDI-P sedang melakukan tebar pesona?! He-he. Ciri-ciri home-gruond muslim bagi kami: dalam berdakwah mereka biasanya cukup sensitif dan peka terhadap aspek budaya dengan derajat berbeda-beda. Mereka tidak risih menggunakan instrumen-instrumen kebudayaan dalam dakwah. Itu pertama. Kedua, meski cara pandang mereka universal, tapi dalam isu-isu ketatanegaraan, mereka secara eksplisit sepakat dengan Pancasila, NKRI, dan menerima kebhinnekaan. Sekali lagi dengan derajat yang berbeda-beda.

Ketiga, dalam politik, mereka cenderung hati-hati. Mereka cenderung tidak memasukkan gagasan agama secara langsung dalam dunia politik, tapi lebih mengutamakan values atau nilai-nilainya. Keempat, meski mereka juga menjaga baik hubugan dengan kelompok radikal, tapi dalam isu yang menyangkut itu, mereka cukup tegas. Sementara itu, kelompok yang kosmopolit lebih eksplisit mengutarakan dan memperjuangkan gagasan keagamaan mereka. Dalam gagasan ketatanegaraan, mereka lebih “berani melakukan terobosan” seperti mengusulkan gagasan Khilafah Islamiyah.

Ada yang bilang, kalau betul-betul konsisten dengan nasionalismenya, PDI-P tak perlu merangkul-rangkul kelompok agama tertentu. Tanggapan Anda?

Di PDI-P, tradisi nasionalismenya adalah nasionalisme kerakyatan, bukan nasionalisme an sich. Kita tahu, rakyat Indonesia punya ekspresi kebudayaan dan keagamaan yang beragam. Kita juga sadar, PDI-P adalah kelanjutan dari partai-partai yang berfusi di tahun 1973. Kita tahu, komposisi partai tesebut kebanyakan dari sayap nasionalis: PNI, kiri Murba, Partai Kristen Indonesia, dan Partai Katolik. Jadi sejak awal, PDI sudah berangkulan dengan kelompok-kelompok agama. Jadi alangkah naif dan tidak fair jika PDI-P tidak merangkul kelompok keagamaan yang mayoritas secara kuantitas dan tidak kurang peran mereka dalam politik kebangsaan. Salah urus dalam soal ini akan berbahaya.

Kalau sejak 1973 PDI sudah akrab dengan agama, mengapa PDI-P kini tetap tercitra sebagai partai sekuler?

Pertama, karena kelompok agama yang difusikan ke PDI waktu itu adalah kelompok minoritas. Satu-satunya (ideologi) alternatif yang dapat menyelamatkan kalangan minoritas adalah sekularisme. Tapi PDI tidak mungkin mendesakkan hukum gereja dalam perjuangannya. Artinya, sekularisme adalah jaminan untuk hidup bersama tanpa meninggalkan values atau nilai-nilai keagamaan. Itu sudah terkandung dalam tubuh PDI. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kaum nasionalis sudah berfusi dengan kaum Protestan dan Katolik. Kini, mengapa PDI-P tidak juga berinteraksi dengan kaum Islam? Jika tidak segera ada terobosan atau kompromi sejarah, kita khawatir kelompok-kelompok Islam kebangsaan merasa dicampakkan atau tidak diikutsertakan. Padahal mereka juga merasa punya visi itu.

Saya sepakat agama harus hati-hati untuk mencampuri wilayah politik. Tapi kalau kita berbicara soal Baitul Muslimin, faktanya sederhana saja. Orang kadang-kadang tak bisa memisahkan kenyataan bahwa dia seorang yang beragama dengan aktivitasnya di dunia politik. Bias itu selalu ada. Nah, bias yang ada itu adalah realitas yang harus ditangani secara bijak dan cerdas. PDI-P ingin melakukan itu. Kaum nasionalis dengan ini ingin mengulurkan tangan; ayo, sama-sama kita jaga bangsa ini, kebhinekaan ini.

PDI-P merasa terganggu juga dengan citra dirinya sebagai partai nasionalis-sekuler, ya?

Jangan diasumsikan PDI-P itu partainya orang-orang agnostik atau atheis. Oke, keberagamaan orang-orang PDI-P mungkin tak setaat orang Bulan Bintang atau PKS. Tapi jelas orang-orang di PDI-P beragama. Hanya saja, selama ini kita berpolitik tanpa menggunakan jubah atau baju agama. Itu jelas. Sejak pembentukan PDI di tahun 1973, kita tak pernah bicara soal simbol-simbol agama tertentu di dalam partai. Artinya, adanya Baitul Muslimin pun tidak akan membuat kita mengganti prinsip. Kita justru ingin memperkaya substansi nasionalisme dan demokrasi kita. Kita juga ingin mentransfer tradisi saling toleransi dan keterbukaan yang sudah terjaga di dalam tubuh PDI-P.

Lebih dari itu, aspirasi kelompok agama yang ingin bergabung dalam Baitul Muslimin juga akan dilihat apa warnanya, pesannya apa. Jika pesan itu dekat ke kita, itu tentu akan memudahkan dialog. Kalau jauh, tentu hanya menimbulkan debat kusir. Kalau sudah sama-sama di dalam, dialog diharapkan akan lebih mengendap dan lebih jernih. Jadi jangan dilihat sejak kapan PDI-P mendalami agama. PDI-P jelas bukan lembaga agama, jadi tak akan mendalami agama atau doktrin agama tertentu.

Nanti yang rumah bersamanya apa?

Pertama, kaum nasionalis mendekati kaum Islamis tidak dengan asumsi akan menjadikan Islam dan PDI-P sebagai rumah bersama. Dalam Rakernas PDI-P kemarin, kita ingin PDI-P menjadi rumah besar kaum nasionalis. Apa artinya? Yang punya gagasan kebangsaan yang jelas itu, latar belakangnya bisa berbeda-beda. Justru karena itu, yang dijadikan rumah besar adalah nasionalisme. Jangan sampai ada orang yang berpikir akan membangun rumah besar Pan-Islamisme dalam bentuk kekhalifahan. Hadirnya kaum nasionalis ke kaum Islamis justru untuk kembali mengingatkan cita-cita awal republik ini didirikan.

Apakah gagasan Baitul Muslimin ini terkait proyek 2009 untuk merangkul Pak Dien mendampingi Bu Mega sebagai kandidat presiden dan wapres?

Pernyataan anda sama sekali tak dibicarakan Rakernas. Tapi soal 2009, sebagai partai politik, hitungan strategis seperti itu pasti ada. Tapi sangat disayangkan kalau partai seperti PDI-P mengorbankan segalanya, bahkan ideologinya hanya untuk memenangkan pemilu.

Harry J. Benda pernah menyebut sejarah Indonesia sebagai sejarah perluasan peranan santri dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dll. Apakah PDI-P merasa terdesak oleh gelombang santrinisasi, terutama di perkotaan?

Saya pikir, di kalangan menengah memang terjadi santrinisasi. Tapi di bawah proses urbanisasi tidak selalu diikuti santrinisasi. Proses hubungan produksi mereka, dari pertanian yang terikat tanah, sampai hubungan pengupahan, membuat masyarakat di level bawah lebih pragmatis. Jadi, santrinisasi sebenarnya tak terlalu masuk ke level bawah. Sementara PDI-P, sejak awal tetap jadi partai wong cilik. Kalau ini dianggap upaya untuk tidak ketinggalan kereta oleh proses santrinisasi, sebenarnya kereta yang kita naiki dari awal adalah kereta yang tidak mengalami santrinisasi.

Tapi kenapa kok kita mau menggapai-gapai elemen santri? Kita sadar bahwa kelompok santri ini, meski tidak massif di bawah, tetap merupakan keluarga bangsa kita. Selama ini telah terjadi ketegangan dan kecurigaan. Itu kita akui. Enak kan kalau kita dapat menyeleseaikan masalah dengan orang yang sudah kita kenal (home-ground Muslim, Red). []

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1200

 

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq