Budaya Kekerasan Kini Beranakpinak - Jaringan Islam Liberal (JIL)
Halaman Muka
Up

 

Refleksi Kebebasan Berekspresi 2006

Budaya Kekerasan Kini Beranakpinak

15/01/2007

Dengan ditetapkannya undang-undang tentang administari kependudukan oleh DPR, saya melihat adanya upaya formalisasi bentuk-bentuk diskriminasi. Sebab, di situ secara eksplisit dikatakan adanya agama yang diakui dan tidak diakui oleh negara. Bentuk-bentuk agama dan kepercayaan yang tidak diakui negara, tidak akan dituliskan di KTP seseorang. Ini nantinya akan berimplikasi pada perlakuan dan pelayanan diskriminatif oleh pemerintah terhadap sebagaian warganegara.

Tahun lalu, kebebasan berekspresi di Indonesia masih mengalami banyak hambatan. Aksi-aksi kekerasan yang ingin membungkam kebebabasan orang lain masih marak terjadi. Peran negara dalam mendukung terciptanya iklim kebebasan demi merawat keragaman, tampak masih kurang. Mengapa itu terjadi? Berikut perbincangan Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Nia Syarifudin (Project Officer Aliansi Bhinneka Tungga Ika), Eko Maryadi (Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen), dan Ahmad Suaedy (Direktur Ekskutif The Wahid Institute), Kamis lalu (28/12).

Mbak Nia, dari perspektif kebhinnekaan Indonesia, apa persoalan-persoalan di tahun 2006 yang menurut Anda mengancam iklim kebebasan berekspresi?

Nia Syarifudin: Yang paling penting dan menjadi fokus perhatian Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika adalah fakta bahwa kebebasan berekpresi di tahun 2006 terancam melalui berbagai aturan negara. Di tingkat nasional maupun di lokal, banyak upaya-upaya ke arah penyeragaman budaya. Nah, ini yang bagi kita tidak cocok dengan kondisi masyarakat kita yang memang beragam. Upaya-upaya itu sangat memprihatinkan karena banyak yang justru memarginalkan kelompok-kelompok tertentu seperti kaum perempuan, kalangan adat, penghayat kepercayaan, dan lain-lain. Itu yang menurut saya paling memprihatinkan di tahun 2006.

Apa saja bentuk aturan pemerintah yang dianggap menyempitkan ruang kebebasan berekspresi itu?

Seperti yang kita tahu, ada RUU-Anti Pornografi dan Pornoaksi yang kita tolak secara tegas. Kita kan juga menolak pornografi dan pornoaksi, tetapi tidak dengan membabi-buta sehingga berakibat megebiri keragaman budaya Indonesia. Ada juga Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang disahkan oleh DPR 9 Desember lalu. Terkait UU itu, kita prihatin karena ia belum mengakomodasi upaya perlindungan terhadap sekelompok masyarakat Indonesia, misalnya kaum penghayat kepercayaan. Padahal di Indonesia ini ada lebih dari 250 aliran kepercayaan, dan itu merupakan bentuk keragamam identitas bangsa kita.

Mengapa negara tampaknya kurang berminat dalam menjaga keragaman ekspresi sosial-budaya masyarakat?

Buat saya, persoalan yang utama adalah inkonsistensi. Hidup dalam sebuah negara yang majemuk ini sudah semestinya berpegang pada Konstitusi yang penjadi payung bersama dalam menurunkan aturan-aturan selanjutnya. Saya kira, sejak berdiri, negara ini jelas tak pernah berjanji untuk hanya menagayomi kelompok tertentu dan memperkenankan mayoritas menguasi minoritas.

Karena itu, bagi saya, produk perundang-undangan seperti UU Adminduk yang enggan menghapus kolom agama atau paling tidak menambahnya menjadi agama/kepercayaan di dalam KTP, sudah menyalahi Konstitusi kita. Karena dalam Konstitusi selalu disebutkan adanya aspek perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Artinya, kelompok-kelompok kecil yang tidak dominan pun harus ditampung dan diayomi, karena mereka sudah menjadi satu ikatan tersendiri di dalam masyarakat kita yang majemuk.

Mas Eko, bagaimana Anda menilai kebebasan berekspresi 2006 dari di bidang pers dan jurnalistik?

Eko Maryadi: Saya kira, kita semua setuju kalau kebebasan berekspresi di bidang pers belum sepenuhnya terjamin oleh pemerintahan yang sekarang. Dari segi kebebasan pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sampai hari ini mencatat adanya sekitar 51 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan kantor media. Angka itu meningkat jika dibandingkan periode Januari-Desember tahun lalu (2005) yang hanya 43 kasus.

Kekerasan itu berlangsung dalam berbagai bentuk, misalnya berupa penyerangan dan penganiayaan. Ada juga upaya kriminalisasi terhadap media dan dunia pers yang sesungguhnya merupakan salah satu wakil publik dalam mencerdaskan bangsa dan memperluas kebebasan berekspresi. Secara indeks internasional, satu organisasi jurnalisme yang berbasis di Perancis menempatkan Indonesia di peringkat 103 dalam indeks kebebasan pers dunia. Kebebasan pers di Indonesia kini bahkan tercatat lebih buruk daripada Thailand dan Kamboja.

Siapa saja pelaku kekerasan itu dan apakah ada kaitan antara kekerasan tersebut dengan upaya-upaya untuk membuat pers tidak bebas?

Secara struktural, negara kini tidak lagi melakukan apa yang disebut represi terhadap media. Situasinya relatif sudah berbeda dari zaman Orde Baru ketika negara—melalui Departemen Penerangan—punya andil besar dalam melakukan kontrol terhadap media. Sekarang negara tidak secara langsung melakukan itu. Tetapi budaya kekerasan itu sekarang turun dan beranak-pinak. Dulunya, itu dilakukan aparatur negara seperti TNI/Polri, tapi kini ditiru oleh publik/masyarakat biasa.

Sementara itu, berbagai instansi penegakan hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian, sampai sekarang belum paham betul apa itu esensi kemerdekaan pers. Buktinya, sampai sekarang masih banyak upaya kriminalisasi atas dunia pers. Kriminalissai adalah upaya pemidanaan terhadap kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan atas para jurnalis atau kantor media. Kriminalisasi berbeda dengan penegakan hukum karena AJI secara prinsipil selalu mendukung penegakan hukum. Bedanya, kalau ada wartawan yang melakukan tindak kriminal seperti pemerasan, pemerkosaan, atau hal-hal yang terkait tindakan pidana, silakan dihukum. Tapi kalau seorang wartawan yang sudah melakukan tugas jurnalistiknya sesuai dengan kode etik jurnalistik masih dikriminalisasi, itu harus kita lawan.

Adakah aturan-aturan yang dirancang dan dibuat negara di tahun 2006 yang berpotensi menghalangi kebebasan pers?

Yang paling berbahaya adalah apa yang disebut Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RUU-KUHP yang sekarang sudah masuk ke Prolegnas DPR. Saya dengar, mulai 2007 akan ada pembahasan soal RUU ini. Beberapa pasal yang kita tengarai akan berpotensi mencederai kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, tampaknya tetap dipertahankan. Pasal-pasal tentang penghinaan negara, penghinaan terhadap pemerintah, pencemaran nama baik, dan semua indikasi tindak pidana yang dilakukan oleh pers, bisa diadili nantinya.

Dalam RUU-KUHP itu juga ada kecenderungan yang berbahaya karena definisi pers juga diperluas. Kalau dulu definisi pers hanya sesuatu yang berkaitan dengan barang cetakan, sekarang diperluas ke arah elektronik. Jadi, kalau Anda membuat siaran radio yang ngawur, Anda bisa saja dipidana. Sekarang, terjadi perluasan makna pemidanaan terhadap pers dalam RUU-KUHP. Kalau dulu praktis hanya terhadap media cetak, sekarang meluas ke media elektronik, bahkan media online.

Mas Suaedy, dalam aspek sosial-keagamaan, apa saja kasus-kasus yang mengancam kebebasan berekspresi di tahun 2006?

Ahmad Suaedy: Di tahun 2006, saya tidak melihat adanya peningkatan komitmen dan kemampuan pemerintah dalam melindungi kalangan minoritas yang sering disebut dengan aliran sesat. Banyak sekali kasus-kasus kekerasan atas kelompok tersebut yang terjadi di tahun 2006. The Wahid Institute dalam risetnya mencatat adanya sekitar 35 kasus di tahun 2006, berbanding 25 kasus di tahun 2005. Jadi secara kuantitatif ada peningkatan jumlah kasus kekerasan yang cukup signifikan. Itu dari sisi kuantitas.

Dari sisi kualitas, aksi kekerasan juga meningkat sampai tingkat pelenyapan nyawa orang. Tanggal 26 Oktober 2006 lalu, terjadi pembunuhan terhadap Ustad M. Alih di Bogor, hanya karena ia dituduh mengajarkan aliran sesat oleh kelompok lain. Saya kira, sampai sekarang belum ada perkembangan yang berarti dalam upaya mengusut tuntas kasus ini. Nah, sebagian dari kasus di tahun 2006 adalah kepanjangan dari kasus yang terjadi di tahun 2005.

Ada beberapa kasus pengadilan terkait isu keagamaan yang berlangsung dari tahun 2005 dan baru diputuskan di tahun 2006. Para terdakwa yang tidak bisa dijerat Pasal 156a soal penodaan agama, dengan lain cara dijerat oleh pasal lain, seperti pasal penyebaran kebencian dan perbuatan tidak menyenangkan. Kesan saya, para hakim yang mengadili kasus seperti ini sangat tertekan oleh aksi-aksi massa agar orang yang dituduh sesat itu dapat dipenjara dengan pasal apa pun. Jadi, kalau tak bisa dijerat oleh Pasal 156a, ya harus dicarikan pasal lain.

Contoh yang paling kentara adalah kasus pengadilan Lia Eden, juga kasus salat dua bahasa Ustad Yusman Roy. Keduanya tidak bisa dibuktikan melakukan penodaan agama berdasarkan Pasal 156a. Tapi mereka tetap dijerat dengan pasal melakukan tindakan tidak menyenangkan. Tadinya saya berharap lewat proses peradilan, mereka dapat memperoleh keadilan. Tapi yang terjadi justru peradilan melakukan diskriminasi dengan menggunakan pasal-pasal lain. Sementara, orang yang melakukan tindak kekerasan terhadap mereka tidak dikenakan sanksi apa-apa.

Nah, di tahun 2006 dan selanjutnya, saya kira praktek diskriminasi terhadap sebagian warganegara tampaknya akan diformalkan lewat aturan negara. Dengan ditetapkannya undang-undang tentang administari kependudukan oleh DPR, saya melihat adanya upaya formalisasi bentuk-bentuk diskriminasi. Sebab, di situ secara eksplisit dikatakan adanya agama yang diakui dan tidak diakui oleh negara. Bentuk-bentuk agama dan kepercayaan yang tidak diakui negara, tidak akan dituliskan di KTP seseorang. Ini nantinya akan berimplikasi pada perlakuan dan pelayanan diskriminatif oleh pemerintah terhadap sebagaian warganegara.

Adakah pola-pola dan aktor-aktor baru yang mengancam kebebasan orang dalam mengekspresikan keyakinan dan praktek keagamaannya di tahun 2006, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya?

Saya kira pola dan aktornya lebih meluas. Di tahun 2005, para pelakunya masih kelompok itu-itu juga, misalnya kalangan preman berjubah. Tapi sekarang, aksi kekerasan sudah merasuk ke masyarakat biasa yang terpancing oleh provokasi atau tertarik dengan kampanye pihak-pihak tertentu. Jadi kalau dulu terorganisir oleh kelompok tertentu, sekarang berkembang sporadis di kalangan masayarakat biasa. Yang kedua, saya melihat usaha-usaha untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok yang dianggap aliran sesat itu semakin intensif di tahun 2006.

Salah penggerak penting usaha-usaha tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dana yang mereka dapatkan dari pemerintah, di antaranya digunakan untuk melakukan kampanye-kampanye seperti ini. Saya kira, kalau kita tidak mengkritisi persoalan ini, iklim kecurigaan akan makin berkembang. Dalam litelatur tentang gerakan sosial, ada istilah control movement atau gerakan yang digunakan sebagai pengontrol lajunya gerakan lain. Dalam konteks ini, kita melihat adanya usaha dari kekuatan tertentu untuk menggerakkan massa demi menghadang lajunya gerakan masyarakat yang menuntut demokratisasi. Itu sangat kita sayangkan. Semoga di tahun 2007 fenomena itu tidak terjadi lagi. []

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1192

 

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq