Gelombang Ketiga Transmisi Islam Lebih Politis - Jaringan Islam Liberal (JIL)
Halaman Muka
Up

 

M. Imdadun Rahmat:

Gelombang Ketiga Transmisi Islam Lebih Politis

23/07/2007

Ketika galau dengan alternatif-alternatif, tradisi yang paling dekatlah yang akhirnya diimpikan, yaitu kebesaran masa lampau Islam, supremasi Quran-Hadis, dan kembali ke agama. Karena itu, ide paling menonjol yang muncul adalah kembali ke Alquran dan Sunnah lagi. Itulah revivalisme. Gagasan ini menjadi sangat menarik terutama ketika terjadinya Revolusi Iran (1979), meskipun dari sekte Islam yang berbeda, yaitu Syiah.

Gagasan-gagasan keislaman dari di Timur Tengah selalu ikut mempengaruhi pemikiran keislaman di Indonesia. Proses transmisi gagasan-gagasan tersebut paling tidak sudah berlangsung dalam tiga gelombang. Seperti apa dan isu apa saja yang jadi titik tekan tiap gelombang? Berikut perbincangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan M. Imdadun Rahmat, intelektual muda NU, penulis buku Transmisi Gagasan Revivalisme Islam dari Timur Tengah ke Indonesia, di Kantor Radio Radio 68H Jakarta, 5 Juli lalu.

Mas Imdad, bisa dijelaskan kilasan sejarah tentang kaitan antara ulama Indonesia dengan para ulama di Timur Tengah?

Harus diakui, sebagai daerah Muslim yang periferal, ulama-ulama terkemuka Indonesia, sejak awal kehadiran Islam, sudah sangat bergantung ke Timur Tengah. Kalau membaca sejarah perkembangan Islam di Indonesia, kita akan tahu bahwa ulama-ulama atau dai-dai terkemuka, kebanyakan memang berlatarbelakang pendidikan Timur Tengah. Bahkan sebagian adalah orang atau keturuan Timur Tengah sendiri.

Jadi jelaslah bahwa Islam yang berkembang di Indonesia sejak awalnya adalah Islam yang sangat Arab. Itu logis karena Islam Indonesia dikembangkan oleh mereka-mereka yang datang dari Arab. Memang ada beberapa teori yang menjelaskan tentang siapa yang mula-mula menyebarkan Islam di Nusantara. Ada yang mengatakan tidak dari Arab langsung, tapi dari Gujarat. Bahkan ada juga yang menyebut Islam datang dari Cina. Tapi sejauh pengkajian saya, yang masuk akal dan yang dapat dipercaya adalah: transmisi itu berlangsung dari Arab.

Bagaimana kajian akademis tentang proses transmisi gagasan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia itu dari abad ke abad?

Ada beberapa kajian. Pertama dilakukan Deliar Noer, yaitu sejak munculnya gerakan Islam modern di Indonesia. Itu dikaitkan dengan bangkitnya rasionalisme Timur Tengah yang diwakili tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla lewat jaringan majalah al-Manar pada abad XIX. Kemudian disusul penelitian serius oleh Prof. Azyumardi Azra tentang jaringan ulama Indonesia ke Timur Tengah yang terbentuk sejak abad XV, XVI, dan XVII.

Ide utama jaringan terakhir ini kemudian ikut memengaruhi gerakan Islam baru di Nusantara. Fokusnya adalah bagaimana meluruskan kembali praktek Islam yang dianggap telah menyimpang oleh tarekat dan mistisisme. Kelompok ulama pembaharu ini lalu mengawinkan antara unsur syariat dan sufisme. Dengan begitu lahirlah kombinasi yang kira-kira cukup moderat dari perpaduan unsur syariat dan sufisme Nusantara. Dan inilah yang berkembang dan ikut memengaruhi keberagamaan orang Nusantara pada umumnya.

Apakah itu masih terefleksi dalam tarekat-tarekat yang berkembang di Indonesia sampai sekarang?

Kombinasi itu masih kita saksikan sampai saat ini. Misalnya tergabung dalam kaum tarekat yang dianggap mu’tabarah (disahkan) oleh NU. Syaratnya: bertarekat plus bersyariat. Karena itu, praktek tarekat yang mengabaikan unsur syariat dianggap tidak mu’tabarah. Dan karena itu, terekat tersebut tidak layak diikuti umat Islam Indonesia. Jadi, di situ ada kombinasi antara terjaganya order yang ditawarkan syariat, plus corak keberagamaan yang lebih indah dan tidak kering. Dan seperti itulah warna Muslim di Nusantara saat ini.

Selain Deliar Noer dan Azyumardi Azra, ada studi-studi lain?

Penelitian serius memang hanya dua itu. Tapi kalau kita teliti lebih lanjut, sebetulnya masih ada banyak gelombang transmisi gagasan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia yang layak diteliti. Misalnya, gelombang puritanisme yang diperjuangkan kalangan Wahabiyah. Gerakan ini juga pernah menjadi gerakan yang besar di Timur Tengah dan juga terasa imbasnya ketika muncul gerakan Padri di Sumatra Barat. Gerakan ini tampil melawan kalangan adat karena dianggap telah melenceng dari agama. Lalu, ada gelombang lain yang sekarang ini menjadi konsen saya, yaitu gerakan revivalisme Islam atau al-shahwah al-Islamiyah.

Jadi, buku yang diangkat dari tesis master Anda itu melanjutkan studi-studi yang sudah ada sebelumnya?

Ya. Katakanlah gelombang pertama gagasan Islam dari Timur Tengah itu telah ditulis Prof. Azyumardi sejak abad XVI-XVII. Kemudian pada awal abad XX, lahirnya Muhamadiyah, Persis, dan al-Irsyad sebagai respons atas gerakan al-Manar. Itu kemudian ditulis Deliar Noer. Dan kini tibalah giliran saya untuk mengamati bangkitnya revivalisme Islam di Indonesia. Ini mungkin arus ketiga dari proses transmisi Islam dari Timur Tengah ke Indonesia dan kelanjutan dari dua penelitian sebelumnya.

Menurut Anda, isu apa yang populer pada tiap-tiap gelombang?

Isu gelombang pertama terkait maraknya sufisme, khususnya sufisme filosofis. Sufisme ini dipengaruhi oleh berbagai tradisi filsafat atau tradisi mistis agama-agama lain. Dan ini mungkin juga terpengaruh oleh mistisisme lokal seperti kejawen di Jawa dan praktek ziarah kubur. Tapi ziarah kubur sebetulnya tidak masuk dalam konsen mistisme. Yang menonjol adalah pandangan tentang wahdatul wujûd, dan ide tentang tajallî. Ide-ide seperti ini sudah berkembang di Nusantara masa itu.

Hamzah al-Fansuri, ulama terkemuka dari Aceh misalnya, telah mengembangkan ide ini. Di Jawa, Syekh Siti Jenar dan juga Kiai Mutamakkin, juga masuk dalam kategori ini. Mereka adalah tokoh-tokoh sufisme yang menyebarkan paham wahdatul wujûd atau manunggaling kawula gusti. Dan mereka telah menjadi martirnya dan berhadapan langsung dengan ulama-ulama formal yang mainstream.

Hamzah al-Fansuri berhadapan dengan Abdurrauf al-Sinkili. Al-Sinkili bahkan mengeluarkan fatwa halal darahnya Hamzah al-Fansuri, dan para pengikutnya sempat mengalami kekerasan. Buku-buku al-Fansuri hangus dibakar. Sejarah Jawa juga hampir demikian. Syekh Siti Jenar juga menghadapi tiang gantungan dan pengikutnya dibubarkan-paksa oleh Wali Sanga.

Lantas apa konsen gelombang kedua?

Konsen gelombang kedua ada pada dua hal. Pertama, meneruskan ide purifikasi Islam. Ide ini muncul dari Muhamad bin Abdul Wahab sebagai pengikut Syeikh Ibn Taimiyah dan Ibnul Qoyyim al-Jauziyah. Pada awal abad XX, ketika dunia Islam mengalami krisis terus-menerus akibat kolonialisme, muncullah ide bahwa kita mengalami dekadensi karena tidak kembali ke akidah yang benar.

Selain purifikasi, muncul juga isu rasionalisme Islam yang dikumandangkan Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, dan kawan-kawannya. Mereka berpikiran bahwa kekalahan umat Islam atas Barat memang dikarenakan kebanyakan umat Islam tidak berpikir rasional. Umat Islam terjebak kejumudan, cara berpikir statis, kebekuan, dan hanya bertaklid buta kepada ulama terdahulu.

Tapi, dilihat dari semangat, baik puritanisme maupun rasionalisme sama saja, yaitu ingin kembali kepada Alquran dan Sunnah. Bedanya, kelompok pertama kembali kepada Alquran dan Sunnah dalam pengertian yang formalistik. Sementara kelompok kedua mengartikan semangat kembali kepada Alquran dan Sunnah dengan etos pengkajian yang rasional.

Nah, dua arus dalam gelombang kedua ini sebenarnya berlawanan tapi bisa berjalan beriringan. Pengaruh gelombang kedua ini terhadap masyarakat Muslim Nusantara telah melahirkan kelompok-kelompok baru Islam, seperti al-Irsyad, Persis, dan Muhamadiyah. Dalam perkembangannya, al-Irsyad dan Persis lebih kental aura puritanismenya. Sementara Muhamadiyah coba mengimbangkan dua arus dengan cara tetap memerangi bidah, khurafat, dan takhayul, tapi tetap merasionalisasi cara berpikir dengan memperbaiki sistem pendidikan dan pengorganisasian massa. Namun di Muhamadiyah juga selalu ada tarik-ulur. Kadang yang menonjol aspek rasionalitasnya, tapi tak jarang justru purifikasinya. Tergantung ke mana bandul sedang berayun.

Gelombang ketiga seperti apa?

Gelombang ketiga disebut sebagai gelombang kebangkitan umat Islam. Pada gelombang ini lebih kental nuansa politisnya. Gelombang ini muncul akibat krisis yang dialami negara-negara Muslim pasca-kolonialisme. Setelah merdeka, kebanyakan mengadopsi “sistem Barat”, memilih nation-states, prosedur demokrasi, dan lain sebagainya. Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, negara-negara Muslim baru ini justru mengalami kebangkrutan. Perekonomian terpuruk, pengangguran mengingkat, sistem pendidikan tidak bermutu, dan yang terpenting, kumpulan negara-negara Arab kalah total berdahadap dengan Israel.

Ini menorehkan sakit hati yang luar biasa bagi kebanyakan bangsa Arab. Maka dicarilah alternatif-alternatif. Ketika galau dengan alternatif-alternatif, tradisi yang paling dekatlah yang akhirnya diimpikan, yaitu kebesaran masa lampau Islam, supremasi Quran-Hadis, dan kembali ke agama. Karena itu, ide paling menonjol yang muncul adalah kembali ke Alquran dan Sunnah lagi. Itulah revivalisme. Gagasan ini menjadi sangat menarik terutama ketika terjadinya Revolusi Iran (1979), meskipun dari sekte Islam yang berbeda, yaitu Syiah.

Apa yang membuat Revolusi Iran punya magnet kebangkitan?

Ketika mampu mengalahkan dominasi Amerika atas Iran dengan tumbangnya rezim Reza Pahlevi, dunia Arab tergugah dan merasa yakin bahwa Islam bisa menjadi alternatif. Semangat itu dengan cepat menyebar luas ke hampir seluruh negara-negara Muslim. Nah, kebangkitan Islam itu punya banyak ciri. Salah satunya adalah semangat untuk menjadikan Alquran dan Hadis sebagai sumber hukum positif. Tidak hanya sebagai aturan keagamaan, juga sebagai aturan kenegaraan. Inilah gelombang Islam politik.

Kedua, ada kecenderungan kuat untuk mencari sumber-sumber ide modern dari akar tradisi Islam sendiri. Misalnya, ide tentang sistem ekonomi, juga bagaimana meluruskan paham keislaman yang telah terpengaruh oleh budaya lokal ataupun Barat. Jadi arahnya tetap purifikasi yang bahkan mengandung kebencian terhadap rasionalisme. Cara-cara memaknai teks-teks agama lalu cenderung harfiah, dan semangat untuk melakukan jihad sangat besar. Ciri-ciri seperti ini, di Timur Tengah telah dikembangkan oleh kelompok Ikhwanul Muslimin dengan berbagai kelompok sempalannya.

Di mana saja sentra-sentra gagasan Islam yang ikut mempengaruhi ulama Indonesia?

Sebelum abad XX, sentrumnya Mekah dan Madinah. Juga Baghdad di Irak, dan Hadramaut di Yaman. Tapi mulai abad XIX, muncul sentrum baru, yaitu Kairo, Mesir. Sentrum-sentrum ini melahirkan produk pemikiran yang berbeda-beda nuansanya. Produk Mekah dan Madinah biasanya melahirkan sosok ulama yang ahli hadis. Biasanya, mereka juga anti-tahlil, dan tidak suka penggunaan akal yang berlebihan dalam memaknai Alquran maupun hadis.

Demikian juga dengan yang dari Yaman. Tapi biasanya, yang Yaman lebih kuat aspek fikihnya. Tapi itu pun masih tergantung gurunya. Kalau berguru kepada ulama salafi, maka alumninya juga akan seperti itu. Mereka biasanya apolitis dan tidak mau terlibat dalam politik apapun dan fokus bergerak di bidang dakwah. Dakwahnya pun biasanya ditujukan untuk menyelamatkan umat Islam dari akidah yang dianggap sesat dan praktek-praktek agama yang dipandang melenceng.

Bisa menambahkan aspek yang mencerahkan dari gagasan Islam yang ditransmisi dari Timur Tengah?

Dari Timur Tengah, tidak semua gagasan yang ditransfer berasal dari kelompok pendukung Islam politik. Corak Islam yang revolusioner juga ada. Pendekatan yang sangat progresif dalam menggunakan akal dalam agama juga telah melahirkan jajaran intelektual yang mumpuni dan sangat berpengaruh bagi kalangan intelektual Islam muda di Indonesia. Dari Maroko ada sosok ulama-pemikir seperti Muhammad Abid al-Jabiri. Dari Mesir ada banyak, di antaranya Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, dan lain-lain. Mereka sangat inspiratif.

Bagaimana dengan kebakitan kalangan jihadis?

Sejarahnya bermula dari banyaknya mujahidin dari negara-negara Arab yang pergi ke Afganistan untuk berjihad melawan Uni Soviet. Mereka disebut juga kelompok ”Afgan-Arab” (para pejuang di Afganistan yang berasal dari Arab). Tahun 1980-an, orang-orang ini dikirim secara resmi dan dibiayai oleh negara-negara Arab untuk berjihad. Selanjutnya, kelompok ini berkembang menjadi jaringan al-Qaedah di bawah komando Usamah bin Laden.

Mereka dulunya juga direkrut dan dilatih Amerika. Ketika berhasil membebaskan Afganistan dari Soviet, Amerika takal-tiga dengan mereka. Amerika punya kepentingan sendiri, Bin Laden pun punya kepentingan sendiri. Ironisnya, kalangan Afgan-Arab ini justru ditolak kembali ke negara masing-masing yang telah mengirim mereka. Mereka dianggap sumber ketidakstabilan baru. Jadi, mereka yang tadinya dielu-elukan sebagai pahlawan, justru dianggap sebagai musuh negara.

Apakah saat itu Indonesia juga mengirimkan relawan-relawan jihad secara resmi?

Tidak ada pengiriman secara resmi. Tapi ormas-ormas Islam seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), GPI (Gerakan Pemuda Islam) diam-diam mengirimkan orang ke sana. Tapi para alumninya secara diam-diam juga diterima kembali dan sebagian hidup di tengah masyarakat. Mereka ini berbeda dengan jaringan yang berkembang menjadi Jamaah Islamiyah yang diburu-buru pemerintah.

Sejarahnya berbeda. Ketika dikirim ke Afganistan, mereka tidak langsung bertemu kelompok Afgan-Arab. Mereka belajar dulu di Peshawar, Pakistan. Dari awal, tujuan mereka memang bukan semata-mata membantu Afganistan. Sebab, mujahidin Afganistan dinilai sudah mampu melakukan itu. Tapi mereka mempersiapkan diri untuk misi di Indonesia. Kesimpulannya, sumber gerakan yang disinyalir berasal dari Peshawar itu pun, ujung-ujungnya dari Arab juga. [Novriantoni]

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1284

 

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq