Islam Masa Lampau Itu Membebaskan - Jaringan Islam Liberal (JIL)
Halaman Muka
Up

 

KH Husein Muhammad

Islam Masa Lampau Itu Membebaskan

06/11/2006

Ketika orang mengatakan bahwa dia lebih tinggi daripada orang lain, sebetulnya ia telah melangkahi aspek tauhid yang benar. Karena itu, saya kira kita memerlukan penerjemahan yang baru atas aspek akidah.

Islam dapat ditinjau dari berbagai aspeknya. Namun belakangan, pandangan tentang Islam dipersempit pada aspek-aspek tertentu saja. Akibatnya, horison pemahaman Islam tampak sangat terbatas dan menyesakkan. Bagaimana itu terjadi, berikut perbincangan Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), dengan KH Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Arjawinangun, Cirebon.

Kang Husein, sebagai seorang kiai yang mengasuh pesantren, aspek-aspek apa saja dari Islam yang selama ini Anda ajarkan kepada para santri?

Saya pernah mengaji kitab kecil, namanya al-Arba’in al-Nawawiyah. Di situ ada hadis yang menceritakan dialog antara Nabi Muhammad dengan Malaikat Jibril, ketika menanyakan tentang Islam, iman, dan ihsan. Dari situ, saya merangkum adanya 3 aspek besar Islam. Pertama, aspek ideologi, akidah atau tauhid. Kedua, aspek hukum atau syariah; ini adalah aspek eksoteris Islam. Ketiga, ihsan, atau aspek tasawuf; aspek esoterisnya. Ketiganya menunjukkan sebuah bangunan Islam.

Jadi, di Islam ada yang disebut tauhid, akidah, atau kepercayaan kepada yang gaib-gaib. Tapi kepercayaan ini menuju kepada Tuhan. Untuk menuju kepada Tuhan, ada cara yang disebut syariah; yang perhatiannya pada hal-hal yang praktis. Ini adalah media pembantu untuk mengarahkan kita kepada aspek lain yang lebih lanjut, yaitu aspek ihsan. Jadi ini adalah contoh keluasan Islam yang kalau kita elaborasi lebih jauh, kita akan menyimpulkan banyak sekali hal-hal yang bisa dikembangkan dalam Islam.

Bisa cerita tentang penjabaran berbagai aspek Islam itu dalam mata pelajaran di pesantren Anda?

Untuk tauhid, kita belajar kitab Aqidatul Awwam, yang bicara mengenai wujud Tuhan, sifat-sifat Tuhan. Saya kira, buku ini memakai pendekatan rasional. Juga kitab Kifayatul Awwam, Nurudz Dzalam,dan lain-lain. Tapi karena audiensnya para santri pemula, maka penjelasan-penjelasannya sangat sederhana. Tapi kalau kita mengkaji lebih jauh, maka ini adalah aspek-aspek rasionalitas yang luar biasa di dalam Islam.

Yang kedua, aspek syariah. Aspek ini diwujudkan dalam interpretasi-interpretasi ulama dalam bentuk fikih. Dan ini banyak sekali dipelajari di pondok pesantren. Kitabnya yang terkenal adalah Fathul Qarib, Fathul Mu’in, dan Fathul Wahab. Sementara aspek ketiga Islam terbagi dalam dua kategori. Ada tasawuf akhlaqi atau yang membahas soal moralitas yang terukur. Tapi intinya adalah kejujuran, keikhlasan, dan berkata benar. Ada juga tasawuf irfani yang lebih tinggi lagi. Ini tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antar manusia, tapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi. Kita tidak ingin dipuji, atau jikapun dipuji tidak pernah berubah, dan bila dicaci maki juga tak pernah berubah. Semuanya adalah untuk Allah.

Kitab tasawuf yang paling fenomenal dan selalu menjadi kajian pesantren adalah Ihya ‘Ulumiddin. Saya kira kitab ini juga bisa dibagi dalam beberapa bidang: rub’ul ibadat, rub’ul ilmi, munziyat, dan lain sebagainya. Itu adalah aspek-aspek Islam yang paling tinggi.

Tapi tak semua orang mendapat pelajaran Islam secara komprehensif. Belakangan muncul corak Islam yang mementingkan aspek akidah saja; membenarkan sesuatu yang dianggap benar secara akidah meski bersifat destruktif terhadap kemanusiaan. Bagaimana ini?

Saya kira itu karena pemahaman akidahnya sangat teosentris. Dan pandangan itu kemudian dihubungkan dengan ego dirinya sendiri. Mereka selalu mengatasnamakan Tuhan, sehingga penafsiran terhadap aspek-aspek Islam tidak dihubungkan dengan kerangka kemanusiaan. Jika Tuhan mengatakan bahwa ada orang kafir, mereka bersegera ingin menyingkirkan karena dianggap berlawanan dengan akidah tauhid. Padahal kalau ditafsirkan secara lebih mendalam, itu menunjukkan bahwa manusia di hadapan Allah adalah sama dan beragam. Karena itu, tidak boleh ada kesombongan antara yang satu dengan yang lain.

Ketika orang mengatakan bahwa dia lebih tinggi daripada orang lain, sebetulnya ia telah melangkahi aspek tauhid yang benar. Karena itu, saya kira kita memerlukan penerjemahan yang baru atas aspek akidah. Pertama perlu ditegaskan bahwa ajaran-ajaran Tuhan adalah untuk manusia. Jadi ketika disebut kita harus mengabdi pada Tuhan, menurut saya di situ sudah ada aspek kemanusiaannya.

Bagaimana menerjemahkan agama untuk kemanusiaan itu dalam bentuk fikih yang berorientasi pada kemanusiaan?

Saya kira pendekatan ini sudah muncul dalam pandangan-pandangan Imam al-Ghazali di Ihya ‘Ulumiddin. Aspek-aspek formal di dalam fikih diberi makna-makna.yang terdalam, makna esoteris. Al-Ghazali sebetulnya ingin memadukan antara dua aspek Islam: yang eksoterik dan esoteris, dan mengantarkan kepada aspek yang lebih jauh nantinya, yaitu aspek yang esoteris. Misalnya salat. Salat tidak hanya tindakan dan ucapan seperti yang kita tahu dalam fikih, tapi diberi makna-makna, misalnya ketundukan pada Allah. Itu kemudian diharapkan memunculkan etos “tanha `anil fakhsya’i walmunkar”.

Salat mestinya terefleksikan dalam kehidupan dengan tidak melakukan hal-hal yang buruk, al-fakhsya’, dan sesuatu yang diingkari, al-munkar. Sesuatu yang diingkari itu menurut saya adalah kegiatan merendahkan orang lain, merugikan, baik dari sisi ekonomi, pribadi, termasuk juga sisi identitas-identitas kultural yang ada. Jadi semuanya harus ditundukkan pada Allah, semua adalah ciptaan Allah, sehingga refleksi-refleksi sosialnya adalah bentuk-bentuk kemanusiaan.

Kang Husein bisa menjabarkan lebih lanjut bagaimana aspek eksoterik Islam itu diimbangi oleh aspek esoterisnya?

Saya teringat pernyataan seorang Imam Besar, yaitu Imam Malik: “Man tafaqqaha walam yatashawwaf, faqad tafassaq. Waman tashawwafa walam yatafaqqah fazandaq. Waman tashawwafa watafaqqah faqad tahaqqaq.” Artinya, barangsiapa yang hanya melakukan satu ibadah formal tanpa ada ruh dari ibadah itu, maka dia bisa menjadi fasik. Artinya formalitas saja. Sepanjang formalitas itu benar secara hukum, maka dia lakukan. Seakan-akan tidak ada lagi yang salah. Padahal secara ruhani, dia bisa saja telah melakukan kesalahan. Tapi karena formalitasnya yang dilihat, maka dia bebas.

Lalu, barangsiapa yang mengikuti aspek-aspek esoteris saja tanpa ada aspek formalitasnya, maka sulit dibuktikan kebenarannya, karena tidak bisa dilihat orang. Karena itu, yang paling ditekankan oleh Imam besar itu adalah kedua-duanya harus muncul pada setiap tindakan. Jadi dia melakuakn secara formal, tapi formalitas itu juga harus diisi dengan ruh.

Dari ungkapan itu ada tiga tingkatan orang. Ada pembacaan teks secara lahiriah, kemudian ada logika, dan setelah itu ada hikmah. Nah, yang ketiga ini sebetulnya yang ingin dituju orang. Sehingga Islam tidak hanya bersifat formal, dan juga tidak hanya bersifat rasional, tapi juga bersifat kearifan, kebijaksanaan. Ini yang kita sebut dengan aspek esoteris dalam dunia pesantren.

Banyak sekali ayat Alquran yang berbicara bahwa Rasul diberi kitab dan hikmah atau kematangan spiritual dalam menghadapi persoalan-persoalan umatnya. Anda bisa memberi gambaran bagaimana kitab dan hikmah itu dapat menjadi dua kutub Islam yang indah?

Alquran maupun kitab suci-kitab suci itu sengaja diturunkan pada manusia dalam kerangka memberi petunjuk agar manusia menghargai ciptaan-ciptaan Allah dengan sebaik-baiknya. Alquran sendiri juga menyatakan bahwa kitab suci yang diturunkan kepada nabi-nabi itu adalah rahmat bagi semesta alam. Dalam masyarakat pesantren, rahmatan lil’alamin itu bukan hanya kasih sayang pada manusia, tapi juga pada alam. Karena semuanya adalah ciptaan Allah dan semuanya bisa memberi manfaat bagi manusia. Nah dari situ, saya kira Alquran dan kitab suci-kitab suci harus diterjemahkan oleh manusia untuk melahirkan relasi atau sikap hidup bersama yang saling berkasih sayang, saling mencintai di dalam masyarakat.

Ada pernyataan Alquran yang saya kira perlu dielaborasi lebih dalam. Misalnya “inna khalaqnakum min dzakarin wauntsa waja’alnakum syu’uban waqabaila lita’arafu. inna akramakum ‘indallahi atqakum.” Nah, kalimat lita’arafu ini menarik bagi saya. Dalam pandangan yang eksoteris, harfiah, ayat ini dipahami sangat dangkal, yaitu hanya mengenal, mengetahui nama, siapa saya dan sebagainya. Tapi istilah ta’aruf itu sebenarnya jauh lebih mendalam daripada sekedar mengenal, tapi juga bagaimana masing-masing orang memahami bahwa Tuhan menciptakan perbedaan disamping semuanya punya keinginan dan kehendak yang sama. Semua ingin diperlakukan secara baik, mendapatkan kasih sayang antara yang satu dengan yang lain.

Jadi saya kira, hubungan antara kitab suci Alquran dengan hikmah tadi sebetulnya muncul di dalam kata ‘arafa atau ta’aruf tadi. Arif billah, atau orang yang mengetahui Tuhan adalah inti hikmah. Dalam terminologi sufisme, semuanya bermuara ke situ. Ma’rifatullah adalah puncak dari segala perjalanan spiritual manusia untuk akhirnya tahu bahwa semuanya ciptaan Allah.

Gamal al-Banna, adik bungsu Hasan al-Banna pernah bilang, Tuhan menurunkan sepaket kitab suci dan juga hikmah kepada para nabi. Rahasianya, karena bila hanya dibekali kitab suci, sangat mungkin ia diamalkan tanpa mempertimbangkan aspek kebijaksanaan. Misalnya penerapan ajaran amar ma’ruf nahy munkar yang kadang-kadang destruktif. Tanggapan Anda?

Saya banyak juga membaca karya al-Banna yang sangat jauh berbeda dengan kakaknya, Hassan al-Banna, meski juga ada kemiripan-kemiripan. Saya sepakat dengan Gamal bahwa agama-agama juga diturunkan dengan membawa paket hikmah. Arti hikmah di sini sebetulnya banyak tafsirannya. Seperti dalam Alquran dikatakan: ud’u ila sabili rabbika bil hikmati wal mau-idhatil hasanah, wajadilhum billati hiya ahsan. Ajaklah orang-orang ke jalan Tuhanmu dengan hikmah.

Para ulama memberi tafsiran yang berbeda-beda tentang apa itu hikmah. Pada tingkat yang sederhana, hikmah adalah ilmu pengetahuan. Tapi pada tingkat selanjutnya, ilmu pengetahuan tidak hanya pada aspek yang rasional, pengetahuan-pengetahuan akal, tapi juga pengetahuan batin. Jadi agama harus memadukan antara dua hal itu; pengetahuan rasional yang mumpuni dan pengetahuan spiritual yang tinggi.

Pada ayat-ayat lain juga disebutkan bahwa hikmah juga diberikan kepada nabi-nabi. Alquran menyatakan: Yu’ti al-hikmata man yasya’ waman yu’ta al-hikmata faqad utiya khairan katsira. Allah memberi hikmah kepada hamba yang dikehendakinya, dan barangsiapa mendapatkan hikmah maka dia telah memperoleh sesuatu yang sangat banyak. Saya kira untuk elaborasi lebih lanjutnya, ini harus dimunculkan dalam kehidupan kemanusiaan kita.

Saya menangkap Islam itu ibarat samudera tak terbatas, tergantung nelayan mana yang sedang menangguk ikan di sana. Tapi faktanya, pengetahuan kita tentang Islam juga sudah terkapling-kapling dalam ikatan primordial atau kemadzhaban tertentu. Kenapa itu terjadi Kang Husein?

Ini menurut saya sebuah fenomena kemunduran luar biasa yang muncul dalam masyarakat Islam belakangan. Kalau kita membaca sejarah peradaban Islam, maka elaborasi terhadap ayat Alquran yang jumlahnya enam ribu enam ratus sekian itu, sungguh maha kaya. Orang hanya mengetahui adanya madzhab yang empat, padahal ada ratusan madzhab Islam. Semuanya dapat hidup dan memberi makna-makna yang berbeda atas Islam. Itu dari aspek eksoterisnya saja.

Ada juga aspek-aspek lain tadi. Ada tafsir isyary atau tafsiran metaforis atas Alquran, yang saya kira juga sangat kaya raya. Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin disebutkan bahwa setiap kalimat dalam Alquran mengandung 70 ribu artian, dan itu dikalikan lagi empat, karena ada aspek lahir, batin, hadd, dan mathla’. Bahkan lebih dari itu. Karena Tuhan memang tidak bisa dibatasi kehendak-kehendaknya.

Anda bisa jelaskan tentang makna zahir, batin, hadd, dan mathla’?

Ini bukan keahlian saya. Saya hanya mengetahui secara sederhana saja. Aspek lahir itu memang pada aspek yang sangat eksoteris, mudah dipahami oleh orang awam. Aspek batin itu mengandung unsur rasionalitas untuk orang-orang yang ahli burhan. Tapi ada juga aspek batin yang sifatnya dzauqy, rasa. Dan itu bukan untuk orang-orang yang ahli burhan, tapi untuk ahlul ma’rifat.

Ada hadd, batasan-batasan, dan mathla’, ujung-ujung dalam Islam. Saya kira ini sangat rahasia. Misalnya mengapa Allah memulai ayat dengan ini, lalu mengakhiri dengan itu, dan sebagainya. Saya memperhatikan bahwa setiap ayat-ayat Alquran yang berisi perintah, selalu saja dilanjutkan dengan redaksi “apakah kamu tidak berpikir?”, “apakah kamu tidak memperhatikan?”, kemudian juga “Allah itu maha bijaksana”, “Allah itu maha mengetahui”, “Allah itu maha adil”. Itu banyak sekali dan harus diperhatikan. Misalnya, mengapa ayat ini memakai ism dzahir, dan lain sebagainya, itu ada rahasia-rahasianya sendiri. Ini sangat kaya.

Mungkin pada bagian pertama suatu ayat diseburkan aspek-aspek lahir, tetapi yang sebenarnya sedang ditunjukkan adalah bahwa itu hanya sebuah jalan yang belum selesai, yang akhirnya adalah kesadaran pada Tuhan.

Kang Husein percaya dengan anggapan bahwa Alquran orang awam berbeda dengan orang khawas; orang awam memahami apa yang tersurat sementara khawas menafsirkannya dengan cara yang lain...?

Saya kira jelas begitu. Alquran misalnya mengatakan ikhla’ na’laik, innaka bil wadi al-muqoddasi tuwa. (Musa), lepaskan sandalmu, karena kamu sedang berada pada tempat yang suci. Ini bisa dimaknai berbeda antara satu orang dengan yang lain. Lepaskan sandalmu, bagi sebagian orang, ya melepaskan sandal betulan. Karena mau masuk masjid, sandalnya ya dilepas. Tapi tafsir isyary tidak seperti itu; lepaskan kotoran-kotoran yang ada di dalam hatimu. Anda sedang berhadapan dengan Allah.

Jadi memang sangat bijaksana ketika Alquran menghadirkan lafal atau kalimat yang multitafsir. Imam Ali RA pernah mengatakan Alqur’anu hammalu aujuhin. Alquran itu mengandung berbagai dimensi. Bukan hanya makna fikihnya saya yang multidimensi, tapi juga perspektif-perspektif lain seperti yang kita sebutkan tadi. Dan dalam masyarakat Islam masa lampau, semua itu dielaborasi dengan sangat luar biasa, kaya raya, dan ada banyak toleransi antara yang berbeda itu. Karena itu, saya sering mengatakan bahwa Islam pada masa awal adalah Islam yang membebaskan, Islam yang toleran, Islam yang menerima masyarakat lain, dan sebagainya. Dan itu memberi sumbangan yang luar biasa bagi peradaban dunia di kemudian hari.

Kalau bicara tentang tafsir yang batin terhadap Islam, saya takjub dengan luasnya horison pemahaman tentang Islam. Ketika diturunkan ayat Alyauma akmaltu lakum, para sahabat girang sekali karena menyangka agama kita sudah didaulat menjadi the best. Tapi Umar bin Khattab malah menangis karena baginya ini bukan berita gembira. Kata dia: fama ba’dal kamal illa al-nuqsan. Kalau sudah lengkap, tiada lain akan merosot juga, seperti teori piramida. Tanggapan Anda?

Mungkin kita perlu menjelaskan tentang ayat tadi, karena masyarakat muslim sering memahami bahwa Islam itu sudah lengkap seperti apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dan kita tinggal mengikutinya saja karena sudah sempurna. Padahal, hidup tidak pernah berhenti dan selalu terjadi perubahan-perubahan. Apa yang terjadi pada zaman Nabi, saya kira sangat terbatas dibandingkan peristiwa-peristiwa baru yang luar biasa banyaknya di mana-mana.

Karena itu, benar ketika Sayyidina Umar mengatakan begitu; ada kekhawatiran-kekhawatiran bahwa umat Islam di kemudian hari membatasi diri pada hal yang dianggap sudah sempurna. Dan karena itu diturunkan Tuhan, maka ia diterjemahkan seperti adanya, seperti yang tersurat. Bagi dia, kalau begini terus, maka perjalanan Islam akan mandek. Dan itulah yang membuatnya bersedih hati.

Seharusnya masyarakat memahami kesempurnaan itu hanya pada prinsip-prinsip dasar dan pandangan-pandangan besarnya saja. Tidak mungkin untuk menyebutkan semua persoalan sudah ada dalam Alquran. Karena itu sangat bijaksana ketika teks-teks dalam Alquran mampu menampung berbagai perubahan yang ada di kemudian hari. Hanya masyarakat yang membatasi bagaimana kita memahami teks-teks itu. Sejak lama kita tidak boleh melakukan upaya-upaya intelektual yang disebut ijtihad. Ini akhirnya menyebabkan peradaban Islam stagnan, tidak mampu merespon perubahan zaman. Pada sisi lain, itu juga menimbulkan konflik-konflik di antara manusia karena kebenaran dibatasi pada masa lampau, sementara yang baru dianggap bid’ah, dan sebagainya.

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1156

 

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq