Karya Seni Terkadang Memberi Dorongan Spiritual - Jaringan Islam Liberal (JIL)
Halaman Muka
Up

 

Asikin Hasan:

Karya Seni Terkadang Memberi Dorongan Spiritual

19/02/2007

Pengalaman-pengalaman masa kecil yang kita temukan lewat agama, misalnya cerita tentang kematian, seringkali kita temukan juga lewat karya seni secara tidak terduga. Karya seni mungkin tak punya maksud seperti itu dan hanyalah sebuah kreasi. Tapi intensitas yang tinggi membuat kita bisa sampai pada penghayatan seperti itu.

Beberapa agama tetap menggunakan medium seni rupa dalam ritual ibadahnya. Penggunaan medium itu menimbulkan salah sangka tentang apa yang dipuja dan disembah. Benarkah agama yang menggunakan medium patung dalam beribadah sedang menyembah sebongkah batu yang dipahat dan diukir? Berikut perbincangan Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Asikin Hasan, kurator seni rupa di Galeri Lontar Jakarta, Kamis (8/2) lalu.

Bung Asikin, agama dikenalkan pada Anda sejak kecil?

Saya lahir dan dibersarkan di Jambi. Mayoritas penduduknya muslim dan saya hidup dalam lingkungan muslim. Dari kecil, pagi saya sekolah di madrasah, siang masuk sekolah dasar, dan malam ikut pengajian. Seperti kita tahu, di Jambi ada beberapa situs masa lalu yang menandakan adanya kerajaan besar di sana, yaitu Melayu, kemudian Sriwijaya. Jadi, sejak dulu daerah ini sudah multikultural. Sudah banyak pendatang dari berbagai daerah. Ada dari Cina, India, dan Arab. Karena itu, meski Islam kini mayoritas, tapi di sana tak pernah terjadi pergesekan yang tajam antaragama. Saya tak pernah mendengar terjadinya kerusuhan atau penyerangan terhadap rumah-rumah ibadat kaum minoritas di sama. Itu juga menunjukkkan bahwa apa yang kita sebut sebagai toleransi sudah ada sejak saya masih kecil di Jambi.

Aspek agama yang sangat ditekankan orangtua sejak kecil sebenarnya hampir standar dan sama dengan di tempat lain. Apa yang disebut syariat, seperti sembahyang, sangat ditekankan. Tapi di lingkungan saya sendiri, walau orangtua saya penganut Islam yang taat, kita tetap sangat bebas dalam menentukan pilihan hidup. Bahkan ketika saya mengambil keputusan untuk menjadi seniman dan masuk sekolah senirupa jurusan seni patung, orangtua tetap mendukung.

Kenapa Anda berminat pada seni rupa?

Itu sudah ada sejak kecil. Tidak ada saluran khusus yang diberikan keluarga untuk mengembangkan minat itu. Mungkin karena lingkungan yang terbuka saja. Saya sudah senang menggambar sejak kecil, bukan cuma di kertas tapi juga dinding rumah dan baju. Saya pernah dipanggil kepala sekolah karena ulah tersebut. Itu mungkin bakat dan di rumah itu dibiarkan saja. Memang ada sedikit pergesekan soal minat menggambar seenaknya itu ketika saya mengaji. Sebab kebiasaan itu suka terbawa ketika mengaji. Ketika yang lain asyik mengaji, saya malah menggambar. Akhirnya ketahuan guru ngaji dan. Gambar saya dibakar dan saya disetrap.

Ketika disetrap, cerita bahwa di akhirat kelak kita akan disuruh menghidupkan gambar tigadimensi yang kita buat itu sudah saya dengar. Itu baru gambar, apalagi patung. Tapi walau pesan itu ditanamkan terus-menerus, saya tak pernah bisa menerimanya. Namun, pertanyaan terus menggantung di pikiran saya; mengapa agama saya melarang orang menggambar?!

Sekarang masih terngiang-ngiang?

Sekarang saya bisa memahami itu, karena memang ada sejarah buruk antara agama Islam dengan patung. Tapi saya kira itu mungkin hanya di lingkungan Sunni. Saya pernah berteman dengan seorang pelukis perempuan dari Iran. Dia tak pernah peduli dengan pelarangan itu, dan terus menggambar sebagaimana orang lain menggambar. Saya kira, dalam soal ini Iran terpengaruh kebudayaan Parsi yang begitu hebat dan punya pengaruh juga pada tradisi seni rupa.

Fenomena gambar buraq yang ada di banyak rumah kita di Sumatera, saya kira cukup menarik. Kita dilarang menggambar, tapi di rumah saya gambar buraq itu ada. Kepalanya berbentuk perempuan. Ada juga kaligrafi yang diolah sedemikian rupa sehingga mirip orang yang sedang duduk tahiyat. Itu kan sebenarnya makhluk hidup atau figur yang distilasi—demikian istilahnya di dalam seni rupa. Pada kasus buraq itu, yang menarik adalah: di satu sisi ia dilarang, tapi tradisi menggambar buraq tetap hidup. Jadi, represantasi secara umum ditolak, tapi representasi dalam bentuk buraq diterima. Dan saya kira, itu ada pengaruh Syiah-nya. Karena sepengetahuan saya, kalangan Sunni menolak representasi di dalam kehidupan, terutama pencitraan tentang makhluk hidup.

Dorongan manusia untuk menggambar memang tak bisa dibendung, ya?

Ada kemungkinan itu. Kalau kita amati lebih luas—bukan hanya tentang Jambi tapi juga Sumatra Barat—kita akan menemui banyak seniman di sana. Tapi untuk jadi seniman, dia harus keluar seperti ke Jogja. Di sana susah tumbuh. Ada seorang pematung Sumatra Barat yang karena keyakinannya terhadap agamanya begitu kuat membuatnya tak berani merepresentasikan makhluk hidup. Padahal, tradisi seni patung itu kan biasanya dimulai dari figur; bagaimana mengenal anatomi tubuh manusia.

Itu pengetahuan yang sangat dasar dalam seni patung. Dari anatomi tubuh manusia itulah gerak makhluk yang lain bisa dikejar. Nah, ketika membuat karya figur, pencitraan itu dia hilangkan. Jadi hasilnya abstrak. Akhirnya, ketika karya itu jadi, kita tidak bisa mengenalinya. Jadi itu semacam cara untuk berkelit dari doktrin agama. Memang dia punya keinginan kuat untuk merepresentasikan sesuatu. Tapi kuatnya doktrin ortodoksi agama membuatnya tak berani mencitrakan figur yang lazim kita lihat.

Mengapa Anda tetap terdorong untuk mendalami seni rupa?

Keinginan mengetahui lebih jauh soal dunia seni rupa, karena saya memang sudah tertarik sejak kecil. Banyak buku-buku seni rupa yang sudah saya baca dan menarik-menarik. Kadang saya malah menemukan semacam pengalaman spiritual di dalam banyak karya seni dibandingkan buku-buku khutbah yang sejak kecil sudah saya kenal cerita-ceritanya. Karya seni, terkadang malah memberi dorongan spiritual yang sifatnya supranatural.

Karya seni yang baik selalu memberikan ispirasi pada kita. Saya pernah diundang salah satu museum di Jepang untuk melihat karya seninya. Dalam dunia seni sekarang, berkembang seni baru yang disebut seni instalasi yang menggunakan multimedia. Karya itu diletakkan di lantai dengan menggunakan peralatan elektronik yang canggih. Cara kita mengapresiasinya adalah dengan menginjaknya. Banyak sekali image yang muncul dari karya itu setiap kali kita melangkah.

Nah, ketika menghayati karya itu, saya seperti menghayati riwayat hidup sendiri. Saya tiba-tiba seperti dibawa kepada bayangan tentang kematian. Dan itu banyak sekali saya alami begitu berhadapan dengan karya seni, terutama seni rupa. Misalnya pengalaman dengan video art, karya yang sedang berkembang saat ini. Karya ini banyak bercerita tentang hal-hal masa lalu, sekarang, dan nanti. Artinya, banyak sekali inspirasi yang muncul ketika saya berhadapan dengan karya itu.

Pengalaman-pengalaman masa kecil yang kita temukan lewat agama, misalnya cerita tentang kematian, seringkali kita temukan juga lewat karya seni secara tidak terduga. Karya seni mungkin tak punya maksud seperti itu dan hanyalah sebuah kreasi. Tapi intensitas yang tinggi membuat kita bisa sampai pada penghayatan seperti itu.

Menurut Anda, mengapa beberapa agama menggungakan medium seni rupa dalam ritual pemujaannya terhadap Tuhan?

Saya kira itu sudah terbentuk karena pengalaman masa kecil yang ingin membayangkan sesuatu. Misalnya saat ditanya bagaimana bentuk Tuhan. Sejak kecil, saya membayangkan Tuhan itu seperti bapak saya. Pengalaman berbentuk penggambaran itu selalu muncul. Kenapa bisa muncul? Karena pengalaman hidup kita ini sebenarnya hasil dari pengalaman yang pernah terindra oleh kita. Itulah yang selalu tersimpan. Itu pulalah yang kemudian kita keluarkan kembali lewat karya-karya seni.

Fakta itu sudah ada sejak zaman primitif. Misalnya dalam cara orang primitif dalam meneguhkan sesuatu lewat totem atau patung primitif. Dalam agama Katolik, kita mengenal patung Bunda Maria. Patung itu dibuat sebenarnya untuk menguatkan atau meneguhkan mereka dengan orang-orang yang bersangkutan. Katolik dalam hal ini banyak terpengaruh kesenian zaman Yunani kuno. Patung-patung di gereja, hampir semuanya hasil warisan Yunani kuno. Jadi saya kira, penggunaan patung dalam pemujaan, sebenarnya untuk menguatkan seseorang dengan yang mau dia tuju.

Artinya, bukan patung itu sendiri yang disembah?

Tentu tidak. Saya kita banyak yang keliru mengaggap orang yang menggunakan medium seni rupa seperti dalam penyembahan sebagai praktik menyembah patung. Saya kira tidak begitu. Patung hanya untuk meneguhkannya sesuatu yang dia anggap besar dan agung. Saya sendiri menaruh patung Buddha di rumah untuk kesan tertentu. Sebab, saya melihat patung-patung Buddha selalu menggambarkan keheningan. Itu misalnya tergambar dari cara duduknya. Patung itu tak pernah tampak berteriak.

Jadi, ketika kesenian diambil sebagai media pemujaan agama-agama tertentu, saya kira itu hanya pilihan dan karakter masing-masing agama. Pada Islam, kita tak melihat medium itu. Tapi Islam mengambil kaligrafi dan dekoratitisme. Itu semacam pelariannya. Dalam Alquran sendiri kita bisa melihat adanya ornamen di kiri-kanannya dan depannya. Banyak sekali stilasi di situ; terutama dari flora. Ada bunga, daun, dan sebagainya. Saya kira itu naluri karena manusia memang selalu punya keinginan orang untuk mengekspresikan intensitas yang sangat dalam, yang sangat diinginkannya. Akhirnya jadilah seperti itu.

Kalau kita melihat kesenian “Islam”, karakter dekoratifnya luar biasa juga. Pencapaian estetiknya juga luar biasa. Tapi kesenian gereja yang meminjam Yunani juga mencapai puncaknya yang sangat tinggi. Nah, menurut saya, itu hanya soal pilihan. Jadi kita tak bisa mengklaim agama yang menggunakan medium kesenian tertentu untuk mencapai sesuatu yang ilahi, lebih rendah mutu spiritualitasnya dibandingkan agama yang tidak menggunakan medium itu.

Lalu bagaimana cara menilainya?

Kita perlu melihatnya dari sisi berbeda. Kalau kita lihat, ciri khas dekorasi dalam Islam adalah sesuatu yang abstrak. Nah, yang abstrak sebenarnya juga gambaran seni rupa modern. Modernisme dalam seni rupa, sebenarnya menolak representasi. Seni rupa modern, menurut saya, agak fundamentalistik. Mereka menolak representasi. Seni rupa baginya harus kembali ke esensi. Nah apa esensinya? Kalau dia berbentuk lukisan, dia harus mencapai komposisi warna pada puncak yang tertinggi. Misalnya bagaimana garis bisa memberi kesan yang kuat pada seseorang. Dunia modern seperti itu.

Apa berarti seni rupa modern menganggap yang berbentuk representasi itu terlalu vulgar?

Sejarah seni rupa ini kan panjang juga. Seni rupa modern juga telah melewati masa realisme. Yang abstrak itu adalah puncaknya. Jadi kalau kita nilai dari situ, sesuatu yang realis, dianggap lebih dekat dengan pikiran-pikiran yang masih sederhana. Kenapa begitu? Karena mudah diterima orang. Semakin jauh dan maju seni rupa, akan dianggap semakin abstrak. Karena yang abstrak itu kan intisari dari realitas. Makanya, seni rupa yang abstrak kemudian menjadi seni yang sangat elitis, ekslusif. Karena terjadi semacam pencanggihan.

Kalau dianalogikan dengan keberagamaan, apakah orang yang berpikiran sederhana akan tetap cenderung menggunakan medium tertentu dalam pemujaan, sementara yang tak mau berpikiran sederhana cenderung lebih abstrak?

Ya, kurang lebih seperti itu. Seperti kita melihat lukisanlah. Kalau kita melihat lukisan yang realis, dengan sangat mudah kita akan mendapatkan cerita. Saya pernah melihat koleksi Tretyakov Gallery di Moskow, tentang riwayat hidup Yesus. Di situ semua tergambar. Tidak ada teks keterangan, tapi orang bisa menangkap ceritanya. Satu galeri itu hanya dipenuhi gambar tanpa tulisan. Memang, gambar itu sendiri adalah teks. Kalau kita ke Borobudur kan ada reliefnya. Relief itu menggambarkan cerita. Kita akan tahu ceritanya meski tidak ada teks. Tapi kalau sesuatu yang abstrak, yang mengalami pencanggihan, ya dia akan semakin elitis dan butuh ilmu tertentu untuk membuka kuncinya.

Klaim Islam persis di situ; evolusi pemikiran manusia telah sampai pada pemujaan ilahi tanpa medium yang representatif. Tapi agama apa yang paling banyak menggunakan medium seni rupa dalam ritual pemujaan?

Katolik paling banyak. Dia benar-benar mewarisi kesenian Yunani. Pada agama Buddha, juga selalu muncul patung-patung yang monumental, seperti yang ada di Afganistan dan Thailand. Dalam Islam ada ornamen dan stilasi. Karakter masing-masing berbeda. Kalau kita melihat kecenderungan seni rupa di gereja-gereja, kebanyakan tampak bercerita. Patung naratif. Patung-patungnya juga banyak gaya. Jadi ada perbedaan karakter dalam seni rupa dalam agama-agama.

Tapi sebenarnya itu perkembangan terakhir. Yang membuat kategori-kategori itu justru modernisme. Sementara Buddha itu kan lahir jauh dari dunia modern. Kalau kita melihat Spinx di Mesir, itu luar biasa. Mau kita kategorikan aliran apa itu? Orang yang punya imaginasi menggabungkan antara singa dengan manusia itu punya kecerdasan yang luar biasa. Itulah yang kemudian ditiru habis-habisan oleh orang Yunani dan dikembangkan oleh renaisans.

Apakah pembuatan karya-karya besar itu punya spirit keagamaan tertentu?

O ya, tentu saja. Piramida di Mesir itu kan kuburan. Orang Mesir kuno itu percaya pada kehidupan sesudah mati. Karena itu selalu ada simbol-simbol perahu pada beberapa karya seni rupanya. Perahu itu dimaknai sebagai alat untuk mengantarkan manusia dari dunia ini ke dunia lain. Kalau kita perhatikan karya Mesir kuno, dada orang-orang tertentu yang dianggap besar juga selalu dibuat membusung untuk menggambarkan kebesaran. Sementara orang-orang biasa digambarkan dari samping. Jadi ada simbol-simbol tertentu yang mau dia tampilkan.

Memang, pada awalnya karya-karya besar itu tak diniatkan menjadi monumen. Tapi akibatnya jadi monumental. Misalnya kalau kita lihat patung Buddha, terutama yang besar sekali di Afganistan. Dalam seni patung, biasanya ada istilah monumentalitas. Nah, monumentalitas itu digunakan untuk menggambarkan kebesaran. Oleh dunia modern, itu ditiru untuk menggambarkan para pahlawan.

Jadi patung-patung itu sebenarnya bicara atau mengekspresikan nilai-nilai tertentu?

O, ya. Dia bicara sesuatu yang ada di balik apa yang kita lihat. Dan itulah yang penting ketika kita melihat obyek-obyek itu. Yang sering orang salah sangka adalah ketika menganggap patung-patung itu untuk disembah. Saya kira itulah persoalan yang sampai hari tidak bisa selesai. Saya tidak percaya orang akan menyembah batu, tapi pasti sesuatu yang ada di balik itu; keagungan, kebesaran. Artinya, kalau itu tidak direpresentasikan, ya tidak bisa digambarkan.

Dalam dunia sufi, Tuhan dianggap sesuatu yang tak terpermanai. Karena itu yang mau sampai pada yang ilahi harus berputar-putar sampai ekstase guna sampai pada yang ilahi. Ada pengalihan medium dalam hal ini, ya?

Ya, ada hubungannya dengan itu. Agama pada akhirnya kan tentang percintaan pada yang ilahi. Kecintaan itu sesuatu yang disampaikan dengan intensitas. Intensitasnya sampai seperti orang membuat patung Buddha, patung di Mesir, Taj Mahal di India, dan Borobudur di Indonesia. Semua itu kan intensitas. Dalam dunia seni, intensitas itu sangat perlu dan selalu didasari oleh kecintaan. Dan kecintaan itu selalu didasari oleh kegilaan. Kalau tidak karena kegilaan, Piramida tak mungkin tercipta. Borobudur juga seperti itu. Kalau tidak dengan kegilaan, tidak akan terwujud karya-karya seperti itu. Dan semua karya-karya monumental selalu dibangun oleh kecintaan dan kegilaan.

Sebatas pengamatan anda, apakah seni rupa juga berkembang dalam dunia Islam?

Ini pertanyaan menarik. Di Indonesia dan dunia Islam, ada gejala menambahkan konteks atau makna baru dalam sebuah karya seni. Misalnya, seni rupa memang sudah lama muncul di Indonesia, tapi tiba-tiba saja muncu seni rupa Islam. Ekonomi juga begitu. Tiba-tiba ada ekonomi syariah. Dalam fashion juga begitu. Tiba-tiba ada busana muslim. Lalu saya bertanya apa sebenarnya seni rupa Islam itu?

Contohnya pernah diperlihatkan Festival Istiqlal zaman Orde Baru dulu. Mereka mencoba mengklaim apa yang ditampilkan sebagai gambaran budaya atau tradisi Islam. Tapi saya tidak menangkap esensinya. Pada seni rupa, misalnya, apanya yang Islam. Yang muncul pada waktu itu adalah kaligrafi. Padahal kaligrafi pun sudah muncul jauh sebelum Islam. Mungkin kaligrafi dimaknai sempit sebagai seni menulis indah Arab, bukan menulis indah secara umum. Padahal kita tahu, ada kaligrafi Cina, Jepang, dll.

Nah, keinginan untuk benar-benar memunculkan seni rupa Islam itu saya kira bagus. Dengan demikian, kita bisa memperkaya khazanah seni rupa Indonesia. Tapi ketika dikatakan seni rupa Islam, saya kira klaim itu agak politis. Sebab semua harus dilanjutkan dengan keinginan untuk membongkar lebih dalam tentang apa sebenarnya seni rupa Islam. Apakah seni rupa Islam itu kaligrafi saja atau seni rupa yang dibikin oleh orang Islam? Kalau yang dibikin orang Islam, banyak sekali yang bisa disebut. Banyak seniman-seniman Islam di Indoenesia yang sukses. Kalau mereka bisa mengembangkan apa sebenarnya seni rupa Islam itu, tentu itu akan menarik karena bisa memperkaya khazanah seni rupa Indonesia. []

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1212

 

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq