Ketika Dialog Antaragama Baik, Maka Negara akan Baik - Jaringan Islam Liberal (JIL)
Halaman Muka
Up

 

Pdt. Albertus Patty:

Ketika Dialog Antaragama Baik, Maka Negara akan Baik

09/03/2007

Konflik yang ditenggarai berbasis agama yang saat ini terjadi di Indonesia, tak menyurutkan aktivis lintas iman untuk semakin memperkuat dialog antaragama. Berikut penuturan Dr. Albertus Patty, seorang pendeta Protestan tentang pandangan dan pengalamannya membangun dialog Islam-Kristen di Indonesia pada Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL).

Konflik yang ditenggarai berbasis agama yang saat ini terjadi di Indonesia, tak menyurutkan aktivis lintas iman untuk semakin memperkuat dialog antaragama. Berikut penuturan Dr. Albertus Patty, seorang pendeta Protestan tentang pandangan dan pengalamannya membangun dialog Islam-Kristen di Indonesia pada Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL).

JIL: Sejauh yang anda tahu, seperti apa sejarah dialog antaragama dalam Kekristenan?

PDT. ALBERTUS PATTY: Awalnya dalam sejarah Kekristenan tidak selalu setuju melakukan gerakan dialog antaragama. Kegiatan ini pertama kali dilakukan di Chicago tahun 1892, yang melakukan bukan para rohaniawan. Mereka adalah para jemaat biasa yang malah mendapatkan tentangan dari kalangan rohaniawan. Ketika itu mereka terlampau jenuh dengan konflik-konflik yang ada, dan mestinya agama menjadi faktor pemersatu dan pendamai. Kala itu, dialogantar agama mendapatkan resistensi yang besar. Tapi perlahan-lahan para rohaniawan Kristen mulai diyakinkan. Terutama ketika para rohaniawan gereja di Barat itu berjumpa dengan rohaniawan gereja di Timur. Terutama setelah Konferensi Dewan Gereja Dunia di Yerusalem. Mereka mengalami keterkejutan ketika orang Barat selalu melihat Islam itu sebagai saingan, kompetiter, karena pengaruh Perang Salib dan sebagainya. Namun melalui perjumpaan dengan gereja-gereja Timur, yang sudah menjalin hubungan yang baik dengan saudara-saudara Islam, gereja-gereja di Barat mulai sadar, bahwa Islam itu bukan musuh. Seolah-olah Gereja Timur ingin menasehati Gereja Barat, ”Kalau kalian melihat Islam sebagai musuh, sedangkan kami di sini, di Asia-Afrika itu melihat Islam sebagai sahabat dan saudara, dan sama-sama berjuang untuk mencapai kemerdekaan bangsa kami dari penjajahan kalian yang Barat dan Kristen.”

Nah, setelah perdebatan ramai di Konferensi Dewan Gereja Dunia di Yerussalem pada tahun 1960-an itu, maka terjadi perubahan besar di gereja-gereja Barat. Padahal dulu misalnya, penginjil yang masuk di Timur, di Indonesia ini, selalu melihat orang Islam dari kaca mata Kristen. Artinya melihat mereka bagaimana bisa diinjili dan dikristenkan, memenangkan jiwa-jiwa dan sebagainya. Tetapi setelah konferensi Yerusalem itu ada perubahan luar biasa besar.

JIL: Anda bicara Kristen di sini spesifik Protestan, bagaimana dalam Katolik?

Saya memang mengawali dari Protestan, kemudian gerakan ini memengaruhi umat Katolik di dunia. Pada tahun 1961 digelar Konsili Vatikan II yang melahirkan lompatan luar biasa: kemungkinan ada kebenaran-kebenaran lain di agama lain. Padahal sebelum Konsili itu, umat Katolik meyakini sebuah doktrin: tidak ada keselematan di luar gereja. Ini sungguh luar biasa. Nah, selanjutnya peristiwa itu banyak mengubah banyak pola pikir yang sampai sekarang kita perjuangkan. Di samping itu juga ada kejenuhan dari umat beragama, apa benar agama cuma bikin konflik? Bukannya agama bisa lebih dari itu. Jadi munculnya konflik-konflik antaragama memunculkan pertanyaan di hati umat beragama untuk berdialog dengan yang lain. Tidak mungkin dalam agama hanya menimbulkan konflik saja, mestinya ada nilai yang membuat agama menjadi berkat bagi semua.

JIL: Dalam buku, ”Satu Bumi Banyak Agama,” karya Paul Knitter, dikatakan Konsili Vatikan II itu adalah jembatan, sebenarnya tidak memadai karena masih ada perasaan superioritas. Apakah semata-mata upaya melakukan dialog itu hanya karena ada penderitaan perasaan sama dan senasib dan sepenanggungan? Atau karena ada persiapan-persiapan psikologis dulu dengan melakukan peninjauan kembali sejumlah teologi agama-agama?

Dua-duanya berjalan sekaligus. Artinya memang ada upaya untuk melakukan peninjauan teologi lama yang berpikir dalam konteks sektarian, yang berpikir bahwa kebenaran hanya ada dalam diri kita dan sebagainya. Itu pasti ada. Artinya upaya orang di tengah perjumpaan yang terus menerus lalu bertanya apakah kebenaran itu hanya milik kami, ataukah kebenaran Tuhan itu jauh melebihi batas-batas agama. Itulah maka muncul teologian-teologian baru dan muncul orang-orang seperti Knitter dan sebagainya. Tetapi ada juga perjumpaan-perjumpaan bersama dalam konteks penderitaan dan nasib bersama: masalah kemanusiaan bersama yang membuat umat manusia, terutama para agamawan maupun umat beragama, untuk berpikir memang tidak ada pilihan lain bagi kita semua kecuali untuk bekerjasama dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan bersama. Dan kalau lihat teologi dari Paul Knitter tidak cuma berbicara tentang bagaimana melakukan evaluasi kembali terhadap teologia-teologia. Tapi teologia dialognya dia bahkan juga sudah menyentuh persoalan-persoalan yang praksis. Bagaiaman kita bekerjasama, bagaimana kepercayaan kita terhadap Tuhan itu bisa menjawab persoalan kemanusiaan bersama.

JIL: Sejak kapan dialog antaragama dalam tradisi Kristen di Indonesia?

Kalau kita melihat dari tahun 45-an tentang politik “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta yang dihilangkan sebetulnya memunculkan luka di dua belah pihak, baik dalam Kristen dan Islam. Sehingga membuat trauma sepanjang sejarah. Akibatnya ada kecurigaan di dalam Kristen terhadap Islam, begitu juga dalam Islam terhadap Kristen. Orang Kristen ketakutan negara ini menjadi Negara Islam. Orang Islam juga ketakutan kalau negara ini bisa menjadi mayoritas Kristen. Jadi orang Islam selalu mengangkat penginjilan dan kristenisasi. Orang Kristen selalu mengangkat isu negara Islam. Itu sebetulnya dimulai dari tahun 45-an. Itu yang membuat pertemuan antara Islam dan Kristen selalu dipenuhi oleh prejudice: ketakutan dan trauma. Dan itu berlanjut terus. Bahkan sampai percakapan tentang itu pada tahun 60-an ketika TB. Simatupang Cs dengan Rasyidi masih bercapakap-cakap tentang itu. Ada seorang pemikir yang mengatakan kalau negara ini menjadi negara Islam, maka syariat Islam itu baju yang terlalu sempit bagi kami. Jadi ada ketakutan yang luar biasa. Mereka tidak mampu melihat bahwa dalam Islam sendiri itu beraneka ragam. Mereka melihat bahwa orang Islam itu semuanya memperjuangkan syariat Islam.

JIL: Tadi anda sudah menyinggung soal Bapak TB. Simatupang, Anda bisa menjelaskan siapa itu TB. Simatupang dan apa posisinya dalam membuat strategi atau interaksi antara kekristenan dengan agama-agama lain di Indonesia?

TB. Simatupang itu seorang jenderal yang menjadi salah satu pimpinan angkatan perang di Indonesia. Lalu dia dipecat oleh Soekarno dan kemudian dia masuk ke dalam gereja, kemudian menjadi pemikir gereja yang luar biasa. Dia adalah aktivis gereja, pemikir strategis gereja, tapi sekaligus pemikirannya itu banyak diambil oleh Soeharto pada masanya. Konon Soeharto sangat hormat sekali dengan beliau. Bahkan dia bisa datang kapan saja ke istana untuk memberikan nasehat kepada Soeharto. Tapi TB. Simatupang sendiri pemikirannya selalu melihat dalam konteks negara sebagai pelindung satu-satunya terhadap Kristen. Ketika itu dia masih mengalami traumatik terhadap Islam.

JIL: Maksudnya dia lebih memercayakan kerukunan umat beragama itu lebih bisa dijaga oleh rezim Negara dari pada oleh rakyat?

Betul. Dan memang pada masa Orde Baru semuanya seperti itu. Oleh karenanya Kekristenan itu pada masa Orde Baru lebih bersandar pada kekuasaan, bukan karena ingin menjilat atau ada hal lain, tapi lebih pada mencari aman. Artinya apa? Artinya kalau rezim ini kuat, maka rezim akan mampu membuat dia aman. Dia tidak berpikir bahwa pendekatan semacam itu tidak benar. Tapi pada waktu itu siapa yang tidak bersandar pada Soeharto. Memang setelah itu muncul kesadaran bahwa kita tidak bisa bersandar kepada rezim manapun. Yang namanya dialog antarumat itu harus dibangun, dimulai dari grass root. Makanya sekarang di gereja-gereja, selain tetap masih adanya kelompok-kelompok fundamentalis dan ekslusif itu, tapi gerakan melakukan dialog antarumat beragama juga berkembang. Visi mereka adalah bahwa ketika gerakan dialog antaragama itu baik maka negara ini akan baik.

JIL: Kalau berbicara TB. Simatupang, ada yang mengatakan dia kurang mengalami keterbukaan, bahwa keselamatan hanya melalui Yesus Kristus?

Apa yang disampaikan itu identik dengan teologi Bartian. Artinya dalam teologi Karl Bart, Allah yang berinisiatif dalam Yesus Kristus dan manusia tinggal menerima. Semua agama, termasuk Kekristenan itu adalah upaya sia-sia untuk mencapai Allah. Tapi Kekristenan agak ada untungnya dikit, karena ada Yesus Kristusnya. Begitu kira-kira. Tetapi waktu itu seoarang Hindu bertanya pada Bart, kamu mengatakan seperti itu kenal Hindu tidak, kenal agama lain tidak? Karena Bart itu hanya tinggal di Eropa dan hanya mengenal Kristen. Kata Bart,”Saya tidak kenal agama lain.” Oleh karena itu orang Hindu itu bilang, pantas saja teologimu ekslusif sekali. Teologimu itu kalau diterapkan untuk agama-agama lain itu tidak bisa. Untuk saya orang Kristen tidak apalah mempercayai Yesus Kristus. Tapi jangan kemudian kepercayaan kita ini menafikan kepercayaan atau iman orang lain, dan merasa kitalah yang paling benar dan orang lain tidak.

JIL: Dan perasaan itu menyulitkan kita untuk membangun dialog?

Betul. Karena kita tidak mungkin melakukan dialog dengan merendah orang lain. Kalau kita mau dialog, pertama yang harus kita lakukan adalah mulai belajar menghormati umat lain dengan segala kepercayaannya, memahaminya, bukan hanya memahami kepercayaan kita sendiri. Karena teologi dalam kekristenan itu banyak sekali. Ada yang Bartian, Knitter, Hans Kung, dll. Ada teologia yang terbuka dan ada yang tertutup. Teologinya Bart itu agak tertutup. Dalam konteks Bart itu cocok, karena Bart itu harus berhadapan dengan Hitler. Hitler itu mengatakan bahwa dia adalah Tuhan. Lalu Bart mengatakan tidak ada Tuhan yang lebih dari pada kamu. Makanya teologinya Bart itu harus diterapkan untuk menghadapi Hitler. Tapi kalau untuk menghadapi agama-agama lain itu udah kacau jadinya. Jadi yang relevan teologi Bart itu untuk melawan fasisme, di mana manusia yang menganggap dirinya sebagai Tuhan.

JIL: Jurgensmayer dalam ”Teror in The mind of God,” mengatakan bahwa justru kaum teroris selama ini banyak dari kaum terpelajar, Anda ada komentar?

Hampir tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan yang tinggi dengan kearifan. Itu dua hal yang berbeda. Ada banyak petani di kampung-kampung yang tingkat pendidikannya kurang, tapi dalam berhubungan antaragama tidak ada masalah. Sementara ada banyak orang yang tingkat pendidikannya tinggi, tapi justru jadi yang ngebom sana-sini, melakukan kekerasan sana-sini. Jadi memang tidak hubungan soal pendidikan. Agama di manapun selalu terinfiltrasi budaya, baik budaya yang baik maupun yang jahat. Antara agama dan budaya memang terjadi satu pertemuan, baik yang saling mengisi maupun saling mengkritisi. Sebetulnya umat itu yang harus dididik untuk mengkritisi hal-hal yang tidak sesuai dengan agama, juga bisa menerima yang baik untuk agama.

JIL: Menurut Anda, selama ini inisiatif dialong itu datang dari pihak mana?

Datang dari grass root sebetulnya. Kita malu sebetulnya. Banyak sekali kelompok yang bergerak pada dialog antarumat beragama, dananya justru dari luar negeri. Indonesia tidak pernah ikut memberi dana. Padahal kepentingan bagaiman membina keanekaragaman yang merupakan unity dan diversity sebetulnya kan merupakan proyek pemerintah yang harus dijaga betul dan harus masuk dari sekolah-sekolah.

JIL: Kalau tidak salah pada tahun 70-an, agenda itu merupakan proyek departemen agama?

Memang pada waktu itu muncul dari para pemuda dan sebagainya. Tapi kan gagal dan itu tidak sistematik karena tidak dilakukan dari kurikulum sekolah-sekolah. Kegagalan kita yang paling besar adalah ketika berbicara tentang unity and diversity tapi kita tidak memasukkannya dalam kurikulum sekolah kita.

JIL: Bagaimana Anda menghayati masalah ketuhanan dan perbedaan dalam dialog ini?

Menurut saya, kalau kita berbicara tentang Tuhan itu harus berbicara dengan kerendahan hati yang luar biasa. Kita tidak akan memenjarakan kemauan Tuhan dalam otak kita. Bahkan kitab suci pun tak akan bisa memenjarakan Tuhan. Selain itu, kita bisa banyak belahjar dari sejarah, ketika Barat menyerang Timur Tengah, itu orang-orang Kristen Timur Tengah malah lebih suka kalau seandainya mereka di bawah penjajahan Islam dari pada orang Kristen Barat. Karena mereka ketika dikuasai oleh Islam merasa lebih dilindungi. Tapi kalau dikuasai oleh Barat malah lebih ditindas. Jadi artinya kalau orang sudah mulai menindas, bukan Kristen atau Islam, kita harus bisa obyektif. Siapapun yang menindas harus kita lawan.

JIL: Apakah pernikahan beda agama termasuk toleransi antaragama atau toleransi individual? Lalu bagaimana cara pandang agama dan pemerintah?

Kalau orang bisa menikah beda agama dan bisa saling bisa menghormati itu kan bagus. Keduanya juga harus saling mendorong. Kalau istrinya orang Islam, suaminya harus mendorong istrinya untuk menjadi orang Islam yang baik. Begitu juga sebaliknya, kalau suaminya orang Kristen, maka istrinya juga mendorong suaminya untuk menjadi orang Kristen yang baik. Jagi keduanya saling mengisi dan bisa saling melihat kekayaan yang ada pada agama masing-masing. Dan mereka akan bisa menunjukkan kepada kita semua bahwa perbedaan tidak perlu dipertentangkan, tapi justru menjadi arena kekayaan yang luar biasa.

JIL: Saya ingin anda menceritakan pengalaman yang actual bagaimana anda menggalang dialog di Bandung dengan kawan-kawan non kristiani?

Di Bandung itu ada satu jaringan yang namanya JAKATARUB (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama) yang terutama dimotori oleh para pemuda dari berbagai agama. kami bersama-sama bekerjasama dengan visi “kalau umat beragama bersatu dengan bisa menghargai perbedaan, Indonesia ini akan jauh lebih aman. Jaringan ini didirikan agar umat beragama itu bisa mempunyai satu kemampuan untuk menghormati yang lain. Awalnya kumpul-kumpul dulu. Pertama yang kita lakukan adalah menjalin hubungan personal yang akrab. Jadi kita ngopi bersama, kumpul-kumpul bersama. Bahkan tidak ada acara pun kita kumpul bersama. Kedua, mencoba membuat berbagai aktivitas tentang dialog antar umat beragama. Tujuannya agar antar umat beragama itu bisa memahami agama umat lain. Sehingga memang mengerti benar. Karena banyak sekali konflik terjadi karena ketidaktahuan. Ketiga, dengan adanya dialog-dialog itu, kami sadar bahwa ternyata banyak di antara kita yang tidak memahami agama kami sendiri. Pertanyaan-pertanyaan dari agama-agama lain, mau tidak mau kan harus menekuni agama sendiri. Dia jadi lebih memahami lebih dalam terhadap agamanya sendiri. Tapi semakin memahami lebih dalam dia semakin bisa menghargai dan bisa terbuka terhadap yang lain. Artinya dia tidak menghilangkan komitmen terhadap agama apapun. Sehingga itu tidak pernah menghilangkan komitmen apapun. Keempat, ketika terjadi krisis-krisis, seperti terjadi banjir di Bandung Selatan, kita lakukan kerjasama untuk membagikan beras dan selimut dan melakukan dialog tentang kehidupan. Kita tidak mau dialog itu cuma dalam wacana atau hanya soal teologi saja, tapi juga mencakup tataran praksis.

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1227

 

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq