Musharaf Berada Dalam Kepungan - Jaringan Islam Liberal (JIL)
Halaman Muka
Up

 

Luthfi Assyaukanie:

Musharaf Berada Dalam Kepungan

13/08/2007

Pada akhir 1950-an, perdebatan tentang konsep negara Islam di tingkat kaum modernis Indonesia memang ramai. Salah seorang tokoh Masyumi bernama Abu Hanifah sudah menulis sebuah buku yang membahas tentang model-model negara Islam. Tapi, negara Islam yang ideal menurut dia waktu itu justru Belanda atau Swiss. Jadi bukan Pakistan, Iran, atau Arab Saudi.

Serbuan militer Pakistan ke Masjid Lal Islamabad awal Juli lalu, menewaskan puluhan jamaah masjid itu. Tragedi ini menggambarkan peliknya persoalan politik Pakistan dewasa ini. Seperti apa hubungan antara militer dengan kelompok-kelompok ekstremis Islam di Pakistan? Berikut perbincangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, Jakarta, 19 Juli lalu, di Kantor Berita Radio 68 H Jakarta.

Mas Luthfi, apa komentar Anda terhadap tragedi berdarah di Masjid Lal Pakistan awal Juli lalu?

Saya sependapat dengan tajuk harian di Jakarta yang menyebut “Musharaf dalam Kepungan”. Memang, faktanya Musharaf sedang dalam kepungan dua kelompok. Di satu sisi dia merasa tertekan di dalam negeri karena hubungan dekatnya dengan Amerika, terutama dalam proyek War on Terror. Tapi di sisi lain, dia juga harus menghadapi kaum ekstremis di negerinya sendiri.

Jadi, dia betul-betul terkepung, tapi diharuskan memilih. Kalau sikap dan tindakan kelompok-kelompok radikal itu tidak membahayakan dirinya langsung, mungkin dia masih perlu negosiasi. Tapi yang terjadi kemarin, kalangan ekstremis itu sudah mulai mengancam diri, posisi, dan pemerintahannya. Jadi, wajar bila sebagai kepala negara Musharraf mengambil tindakan tegas. Dilakukanlah tindakan seperti kemarin itu.

Jadi itu perlu untuk menunjukkan bahwa pemerintahan masih eksis dan bisa bertindak tegas kepada siapapun yang sedang merongrong kedaulatan negara?

Ya. Dari sudut pandang bernegara, memang mesti seperti itu. Kalau dalam sebuah negara terjadi kondisi insurgency yang tak bisa diatasi lagi, dan posisinya tak bisa lagi diajak bernegosiasi dengan cara-cara damai, maka tindak kekerasan harus diambil. Itu satu hal. Tapi saya juga ingin mengambil pelajaran dari kasus ini. Menurut saya, jamaah masjid itu hanya satu dari sekian banyak perwakilan kelompok-kelompok garis keras Islam di Pakistan. Mereka berbeda dengan masjid-masjid dan madrasah-madrasah lainnya yang masih bisa dikontrol. Kasus Masjid Lal ini, saya kira, sudah keterlaluan. Makanya, pemerintah Pakistan mengambil tindakan yang sangat keras.

Bukan hanya Musharraf, rakyat Pakistan pun tampak dalam posisi dilematis. Mereka seakan harus memilih antara militer yang otoriter atau berada dalam jebakan kalangan ekstremis. Apakah ini gejala yang normal sejak berdirinya Pakistan 1947?

Saya kira seluruh persoalan hubungan Islam dan negara di Pakistan adalah warisan dari proses pembangunan negara itu sendi sejak berdiri tahun 1947. Di tahun itu, Pakistan berusaha memisahkan diri dari India dan ingin berdiri sendiri sebagai negara yang merdeka. Tapi ketika ada juga perdebatan panjang tentang apakah Islam bisa dan perlu dijadikan dasar negara. Apakah Islam perlu memainkan peranan yang besar dalam urusan negara dan politik?

Nah, persoalan hubungan Islam dan negara itu adalah warisan dari persoalan yang muncul sejak masa-masa awal pembentukan Pakistan. Masalahnya adalah: apakah dalam perjalanannya nanti sebuah negara bisa mengatasi hal itu? Dalam kasus Indonesia, saya menganggap kita cukup berhasil. Pada masa awal-awal kemerdekaan, ada perdebatan panas antara kubu nasionalis-Muslim dan nasionalis-sekuler. Tapi di sini terjadi perdebatan yang terus menerus di tingkat wacana. Dan itu tampaknya sangat sehat.

Saya kira, dalam tingkat tertentu Indonesia jauh lebih berhasil dalam mengatasi ketegangan ini. Di Pakistan, kubu Islamis dan sekuler sama kuatnya, dan berlangsung kurang sehat. Akibatnya, pedebatan tidak pernah selesai-selesai.

Tapi dalam soal ini, sejarah Indonesia juga berdarah-darah. Apa yang khas dari Pakistan?

Sekarang, antara dua kelompok Islam dan nasionalis Pakistan sama kuatnya. Kalau sudah begitu, ujung-ujungnya yang menjadi penengah adalah militer. Ini terjadi juga dalam kasus Turki misalnya. Turki juga punya persoalan tentang ideologi negara sejak runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Penengahnya tentu saja kalangan militer. Beda dengan Turki, sejak 1970-an, militer Pakistan selalu mengakomodasi aspirasi kalangan Islam kanan demi membendung aspirasi para politisi sekuler.

Presiden Pakistan paling berpengaruh dari militer sebelum Musharaf adalah Jenderal Zia Ul Haq. Dia tokoh militer yang paling giat menggelar Islamisasi, melakukan penerapan syariat, dan mendirikan sistem perbankan Islam. Dia juga dikenal sangat dekat dengan tokoh-tokoh Islam ekstrem. Bahkan, dia cukup dekat dengan Maulana Abdullah, pendiri Masjid Lal yang kini sedang berdarah-darah. Jadi, ada kedekatan militer dengan kelompok ekstremis dalam sejarah Pakistan.

Itu pula yang terjadi setelah Musharaf berkuasa tahun 1999. Dia pernah memobilisasi kelompok-kelompok ekstremis Islam untuk mendukung kekuasaannya. Pada pemilu 2002, kelompok sekuler atau profesional yang dipimpin Benazir Butto, justru dijegal Musharaf dengan kekuatan kaum ekstremis. Dari sini kelihatan sekali bahwa militer selalu dapat memanfaatkan kaum ekstremis. Tapi dalam perkembangannya, militer juga akan gampang berubah sikap jika kalangan ekstremis sudah menunjukkan indikasi ancaman terhadap eksistensi mereka.

Seperti apa pola hubungan militer dengan kaum ekstremis Islam di banyak negara Muslim?

Kita tahu, kalangan militer sebetulnya tidak punya ideologi yang jelas. Ideologi mereka yang paling jelas, ya nasionalisme atau upaya mempertahankan eksistensi negara. Tapi saat mereka diharuskan mendapatkan dukungan politik, mereka biasanya mencari kelompok yang punya massa cukup besar dan gampang dimobilisasi. Nah, di sinilah kelompok Islam ekstrem sering dapat dimanfaatkan. Sementara kelompok-kelompok yang sekuler, biasanya sudah mampu bermain politik pada tingkat yang lebih canggih, pada wilayah demokrasi.

Karena itu, saya kadang berpikir bahwa dalam kelompok-kelompok ekstremis itu juga terkandung watak militeristik. Mungkin itu jugalah yang mempersatukan mereka. Karena itu, mereka sering juga disebut paramiliter. Dalam soal ini, mereka rupanya punya kemiripan. Karena alasan itu pulalah mereka bisa “bekerjasama”.

Tampaknya ekstremisme Islam di Pakistan sangat mengakar, ya?

Saya kira, salah satu sebabnya juga karena gagalnya gerakan pembaharuan Islam. Yang saya maksud gerakan pembaharuan adalah gerakan yang berusaha memodernisasi pemikiran-pemikiran Islam di Pakistan. Nah, itulah yang sedikit banyak membedakan Pakistan dengan Indonesia. Di Indonesia, gerakan ini kurang lebih berhasil sudah berhasil, terutama dalam aspek pemikiran politik.

Apa faktor penyebab kegagalan proyek pembaharuan Islam di sana?

Saya tidak tahu persis. Tapi kira-kira begini. Alasan didirikan Republik Islam Pakistan itu memang betul-betul karena soal agama. Ketika ingin memisahkan diri dari India, alasannya semata-mata agama. Karena itu, Pakistan pada satu sisi tampak ingin memodernkan diri, tapi pada sisi lain justru ingin menjaga karakter Islam. Persoalannya, karakter Islam yang mereka pahami tampaknya tidak lagi kompatibel dengan perubahan yang begitu cepat. Saya kira salah satu aspek kegamangan yang terjadi di Pakistan saat ini adalah karena itu.

Apa yang unik dari Republik Islam Pakistan dibanding Republik Islam Iran, Sudan, atau Kerajaan Arab Saudi?

Kalau kita tarik ke belakang, sebetulnya yang disebut Islamic state, baik berbentuk republik, kerajaan, atau apapun, sudah ditargetkan sedari awal untuk menjadi alternatif dari dibubarkannya sistem khilafah tahun 1924. Sebab, setelah perdebatan apakah sistem khilafah bisa diteruskan lagi atau tidak, umat Islam tidak lagi punya alternatif model dalam bernegara. Umat Islam dihadapkan pada persoalan menjaga warisan sistem politik Islam, yaitu khilafah, di satu sisi, dan bagaimana menyikapi konsep negara modern yang diperkenalkan Barat, di sisi lain.

Satu-satunya jalan yang dianggap tersedia waktu itu adalah mendirikan negara Islam. Betuknya bermacam-macam. Ada yang republik seperti Pakistan, ada pula yang kerajaan seperti Arab Saudi. Dalam beberapa aspek bernegara, mereka berhasil. Dikatakan berhasil, dalam artian bisa mendirikan sebuah negara dalam artinya yang nyata. Tapi dalam praktek, memang tidak ada yang layak dijadikan model.

Apa karena negara berdasar agama memang sudah kuno atau karena pengelolaannya yang salah kaprah?

Itu masuk wilayah filsafat politik. Dalam filsafat politik terdapat pembahasan yang panjang tentang apakah agama layak masuk dalam persoalan-persoalan pemerintahan atau tidak. Singkatnya, dunia Barat sudah berhasil menerapkan konsep sekularisasi, pemisahan antara urusan agama dan negara. Itu jelas sekali. Keberhasilan negara-negara Barat modern, dilihat dari sudut filsafat politik, pada umumnya terletak di situ. Sementara dunia Muslim, masih saja berkutat pada persoalan ketegangan hal ini. Banyak yang belum selesai. Sebagian masih mengenang romantisme kejayaan sistem politik Islam masa lampau.

Pada akhir 1950-an, perdebatan tentang konsep negara Islam di tingkat kaum modernis Indonesia memang ramai. Salah seorang tokoh Masyumi bernama Abu Hanifah sudah menulis sebuah buku yang membahas tentang model-model negara Islam. Tapi, negara Islam yang ideal menurut dia waktu itu justru Belanda atau Swiss. Jadi bukan Pakistan, Iran, atau Arab Saudi. Ini kan agak lucu. Tapi menurut dia, kalau ingin mendirikan sebuah negara Islam yang ideal, ya kita harus mengikuti negara-negara Eropa.

Jadi, dalam pandangan kaum modernis saat itu, model negara Islam yang ideal adalah negara Barat modern. Yang dilihat di sini bukanlah aspek labelnya tapi lebih pada substansinya.

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1288

 

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq