Dalam proses resolusi konflik Maluku, adat berfungsi sebagai penghimpun tatkala agama menceraiberaikan. Kearifan lokal kembali digadang-gadang sebagai Ratu Adil untuk semua. Bagaimana itu bisa terjadi? Berikut percakapan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Pendeta Jackvelyn Manuputty, tokoh Maluku yang Selasa (28/5) lalu menerima Maarif Award karena kontribusinya dalam proses resolusi konflik di Maluku.
Bung Jacky, apa makna Maarif Award yang Anda terima kemarin (28/5) bagi resolusi konflik di Maluku?
Sebenarnya saya baru oke menerima award itu tiga hari menjelang acara digelar di Jakarta. Sebab saya sadar, bagi masyarakat Maluku, figurisasi itu berbahaya bagi proses perdamaian di Maluku sendiri. Setiap orang Maluku merasa independen dan berpartisipasi dalam upaya perdamaian, dan tidak ada yang mewakili siapa pun. Siapa yang merepresentasi siapa adalah persoalan. Kecuali kalau kita yakin bahwa proses itu didukung orang.
Namun ada pertimbangan lain dari teman-kawan sehingga saya bersedia menerima award ini. Selama ini, pengalaman-pengalaman empirik kita telah dipersonifikasikan oleh sebanyak orang yang datang untuk memediasi, memfasilitasi, dan meng-impose berbagai teori tentang manajemen konflik di Maluku. Seakan-akan kita, Muslim dan Kristen Maluku, tidak mampu melakukan itu. Saya selalu bilang bahwa kita harus buktikan bahwa kita mampu dan kearifan lokal kita tidak hancur seperti disampaikan di luar sana. Kalau mau menunjukkan kita mampu, ya kita terima ini, kata mereka. Dan kebetulan, saya memimpin lembaga antar-iman di sana.
Karena itu, Maarif Award ini bermakna. Pertama, kita ingin men-sounding bahwa proses-proses lokal itu sebenarnya hidup dan bisa dipakai untuk resolusi konflik. Kedua, kita ingin memberi pesan yang korektif pada proses berbangsa ini. Menurut kita masalah di Maluku bukan pada cara merekonstruksi-ulang makna verbal dari kekerabatan dan solidaritas, tapi bagimana menggunakannya secara strategis, dan mengkerangkanya dalam proses pembangunan. Persoalan klasik yang sampai sekarang terjadi dimana-mana adalah: kebudayaan tak pernah diikutsertakan dalam strategi pembangunan.
Apa kearifan lokal yang digunakan dalam resolusi konflik Maluku dan bagaimana mekanismenya?
Ada spontanitas dari masyarakat yang tumbuh saat konflik, dan meningkat pasca-konflik, terutama masyarakat adat, untuk kembali memakai elemen-elemen lokal dan instrumen-instrumen adat dalam merajut kembali hubungan antar masyarakat. Dan itu tanpa difasilitasi oleh pemerintah atau pihak lainnya. Kegiatannya seperti proses pendirian rumah adat yang tiba-tiba menjadi sangat marak dan menghadirkan apa yang disebut Pela Gandong.
Istilah Pela Gandong ini menyangkut relasi geneolog. Di sana kita percaya bahwa meski Anda muslim dan saya Kristen, nenek-moyang kita tetaplah sama, sehingga kita bersaudara. Gandong artinya adik. Dari status yang sama itulah kemudian ada yang menjadi Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, dan lain-lain. Jadi, kita mengingat kembali asal-usul kita. Pela adalah pakta perjanjian persaudaraan yang dibuat dengan sumpah berdasarkan peristiwa tertentu. Misalnya saling membantu ketika perang, tertimpa bencana, dalam pernikahan. Kesetiaan itu lalu diangkat dengan sumpah dalam ketentuan adat yang tak boleh dilanggar.
Ada Panas Pela sebagai upacara ritual yang secara periodik diadakan untuk mengingatkan kembali kearifan itu. Itu yang dikembangkan secara spontan, terutama di akhir konflik. Saat ini saya melihat ada kegalauan kolektif, kegalauan sosial pasca-konflik; orang-orang Maluku kehilangan common ground atau pijakan bersama. Mau dicari ke agama, ternyata sangat sensitif; ke politik hancur-hancuran; ke ekonomi lebih parah lagi. Lalu orang merujuk balik kepada apa yang kita punya sama-sama.
Jadi dalam konflik Maluku, yang menghimpun justru adat, bukan agama, ya?
Tentu saja! Melupakan adat adalah kesalahkaprahan kita dalam melihat faktor keharmonisan Maluku dalam lintasan sejarah. Saya bilang itu bentuk quasi-historis. Sebenarnya (adat) itu juga baru kita temukan ketika konflik. Selama ini, ada ketegangan-ketegangan diam dalam kurun waktu panjang, bahkan sejak zaman kolonial, yang tak pernah tuntas disesesaikan. Biasanya, ketegangan apapun yang terjadi, penyelesaiannya selalu dibawa ke ruang kultural: adat atau budaya. Adat menjadi buffer-zone.
Tapi ketika di Maluku terjadi kerapuhan budaya, terutama sejak 1070-an, kita kehilangan zona pengaman itu. Politisasi agama di level nasional yang berimbas ke daerah-daerah, akhirnya ikut menyuburkan ketegangan-ketegangan diam yang terinternalisasi di alam bawah sadar kita sejak lama. Ketika konflik pecah dan berdarah-darah, kita ternyata lemah di aspek adat-istiadat itu.
Ada yang menyebut sebetulnya warisan Pela Gandong itu hanya mitos, dan orang Maluku telah kehilangan generasi Pela Gandong, sehingga tak bisa direalisasikan lagi?
Ya, tapi spontanitas masyarakat memunculkan itu kembali. Yang harus dilakukan adalah proses revitalisasi. Gandong, secara faktual tak bisa dikembangkan, karena memang berdasarkan relasi geneolog. Tapi Pela adalah pakta perjanjian yang dibuat dalam kurun waktu tertentu pada peristiwa tertentu yang bisa dikembangkan dan direvilatlisasi kembali. Desa-desa yang berbatasan dibuatkan pakta atau perjanjian pelanya dengan sumpah adat dan agama seperti dulunya. Prosesnya harus holistik dan tidak fragmentaris sehingga menyeret sinergi keseluruhan elemen masyarakat.
Kadang, apa yang dilakukan pemerintah, seperti pembuatan Pela Gandong, juga sangat artifisial dan tidak mendalam. Sebab yang ikut hanya yang muda-muda. Padahal, yang tua-tua dalam masyarakat adat masih sangat didengar. Konflik kembali menstimulir apresiasi terhadap adat karena ada anggapan bahwa kita harus bertanggung jawab karena terjadinya pelanggaran adat yang sudah sangat parah. Dan ini memang masih tentatif, karena orang sedang mencari ratu adil dan karena itu merujuk ke sesuatu yang pernah ada di masa lalu. Namun proses ini terjadi spontan tatkala masyarakat ingin melegitimasi kembali perjumpaannya dan ini yang harus disambut.
Proses ini harus direvitalisasi dan dikawal dan semua strategi kebudayaan. Sebab, proses akulturasi dan bahkan asimilasi agama dan budaya saja belum selesai, terutama di lingkungan Kristen. Saya selalu bilang pada teman-teman Kristen bahwa kita harus belajar dari kaum Muslim, karena proses penghancuran adat-istiadat di Maluku, salah satunya adalah karena gereja. Dan sejarahnya sangat politis, karena basis-basis adat dianggap pusat perlawanan di era kolonial. Karena itu, gereja yang berkelindan dengan kolonialisme dipakai untuk melemahkan semangat-semangat adat. Mazhab gereja yang masuk saat itu adalah mazhab yang puritan. Sementara kaum Muslim saat itu ada dalam proses yang stagnan dan karenanya adat lebih terpelihara.
Jadi, ada pribumisasi Islam Maluku, belum pribumisasi Kristen?
Saya melihatnya begitu, walau itu tidak berarti negatif. Di tahun 1960-an, gereja pernah menggagas kontekstualisasi kekristenan, tapi tidak tuntas. Mereka membikin pesan Thomas karena merasa tidak kontekstual, tapi itu juga sangat verbalistik. Jadi, ada beban sejarah yang sangat besar dalam konflik di Maluku. Karena itu, dalam studi agama-agama tahun lalu, kita coba melihat semua babakan sejarah Maluku. Ada dorongan bersama untuk menulis-ulang sejarah Maluku dari perspektif bersama.
Dan kita bisa deteksi sejarah itu dari pantun-pantun atau pepatah adat yang bercerita tentang sejarah. Jadi memang ada beban sejarah yang begitu kuat. Misalnya, pada orang tua Muslim, dalam proses perjumpaan dengan Kristen, sudah terinternalisasi sikap bahwa “kita harus berbeda dengan mereka”. Dan itu sudah cukup lama terjadi. Kalau kita merujuk ke sejarah Maluku yang ditulis Belanda, maka celakalah kita. Sebab mereka menulis sejarah begitu rapi dengan tujuan kontrol atas tanah jajahan.
Apakah dialog antar agama yang Anda gerakkan masih dalam kerangka adat atau seperti apa?
Sebenarnya tidak melulu dalam kerangka adat. Tapi kita memang memakai penghampiran-penghampiran yang tidak hanya sampai ke kepala untuk bisa dimengerti. Kita harus menembus ruang rasa, termasuk dalam penggunaan idiom-idiom untuk mendorong proses live-in (tinggal bersama) antaragama. Idiom bersama itu mesti ada. Kami hanya coba mengorek itu keluar.
Selama ini, seringkali perjumpaan-perjumpaan antaragama itu di-frame dalam bentuk yang sangat formal, mekanis dan teknis. Sehingga kita kehilangan ruang yang dikreasi untuk perjumpaan-perjumpaan kemanusiaan yang total. Pasca-konflik, secara faktual segregasi di masyarakat memang luar biasa. Di seluruh Maluku, hanya ada dua tempat kecil dimana Muslim dan Kristen dapat tinggal bercampur, yaitu di Wayame dan desa Latah. Di tempat lain segregasinya sangat jelas. Segregasi itu bukan hanya geografis, tapi juga by mind. Konflik bahkan menginfeksi penggunaan idiom-idiom lokal dalam sapaan untuk membedakan siapa yang in group dan yang out group.
Apakah keberagamaan masyarakat Maluku cukup puritanistik dan memang sudah segregatif sebelum konflik?
Soal segregasi wilayah itu bukan hal baru di Maluku. Itu kerjanya Belanda sejak dulu. Untuk mengontrol daerah penjajahan, mereka membuat segregasi dan membedakan desa Muslim dan desa Kristen. Jadi, dari dulu kita tahu desa mana yang sebagian besarnya Muslim, dan yang mana yang Kristen. Konflik membuat itu makin terbelah. Yang menarik, karakter orang Maluku itu sangat dualistis. Di Yogya, arah mata angin itu ada empat: barat, timur, utara, dan selatan. Tapi di Maluku hanya ada dua: ke laut dan ke darat. Pasca-konflik, dua istilah itu makin menunjukkan tribal group (kelompok suku). Karena Muslim tinggal di pesisir, maka ungkapan “dong di laut” (mereka di laut) itu pasti mengacu pada Muslim. Kalau ”dong di darat”, itu pasti Kristen.
Yang menarik, untuk kalangan internal suatu desa/masyarakat yang homogen, posisi agama sangat primer. Ia menjadi alat integrasi sosial. Kita mengenal istilah ”anak negeri” dan ”anak dagang”. Anak dagang adalah orang dari luar yang tinggal dalam desa itu. Saya bisa tinggal puluhan tahun di desa Muslim atau yang Muslim tinggal di desa Kristen, tapi saya akan tetap berstatus anak dagang dan tak akan pernah terintegrasi sebagai anak negeri. Memang ada Soa atau klan yang disediakan untuk menampung orang dagang yang ada agar terintegrasi. Namun mereka tak punya adat karena mereka beda agama. Melakukan ritual agama bagi Kristen di tempat Muslim atau sebaliknya adalah persoalan yang sangat sensitif. Itu terjadi di dalam suatu desa.
Untuk relasi eksternal antardesa, agama sebenarnya faktor yang sekunder atau tersier dan adat yang justru dianggap lebih penting. Kita sulit pergi beribadah di desa Muslim atau sebaliknya, tapi kalau ada perjumpaan antardesa, apalagi ada Pela Gandong atau sistem kekerabatan, Muslim bisa masuk ke dalam ritual yang ada di desa Kristen dan sebaliknya. Muslim bisa masuk gereja, Kristen bisa masuk masjid dan itu tak boleh dilarang. Strata adat dalam perjumpaan itu jauh lebih tinggi daripada agama. Agama jadi subsistem dari adat dalam mengelola sistem-sistem perjumpaan itu.
Bagaimana Anda melihat pola keberagamaan orang Maluku selama ini?
Keberagamaan orang Maluku itu sangat simbolistik dan tidak fanatik, berbeda dengan pendapat kebanyakan selama ini. Sebab, proses internalisasi agama orang Maluku, terutama Kristen, tak terjadi secara tuntas. Ada banyak masa peralihan kekristenan dari masa Portugis, lalu VOC, lalu ke gereja Hindia-Belanda. Dari semua proses itu, tiba-tiba orang Kristen hilang semua. Perspektif bacaan kita terhadap sejarah kekristenan adalah soal invasi. Sejarah agama-agama yang ditulis juga sangat politis. Tidak ada bacaan terhadap sejarah agama-agama di sana yang bersifat sosio-kultural. Karena itu, kita tidak tahu bagaimana proses inkulturasi terjadi; bagaimana dialektika perjumpaan; bagaimana sistim-sistem nilai saling dikomunikasikan.
Ada beberapa orang yang coba menulis model sinkretistik agama Kristen di Maluku. Konon katanya, agama Kristen hanya vernis yang melekat di bagian atas struktur budaya masyarakat Maluku. Keislaman juga dianggap begitu. Di tingkat ini, menarik melihat Islam Maluku yang bersifat sangat kultural. Karena itu, kedatangan Lasykar Jihad ke Maluku membuat suasana menjadi tambah tegang. Mereka memperumit masalah karena menganggap Islam Maluku itu banyak bid’ahnya. Akibatnya, tokoh-tokoh tua di sana marah luar biasa. Islam sudah berurat berakar pada mereka. Tiba-tiba, sekelompok anak muda datang untuk mengajarkan Islam dan menganggap mereka bid’ah.
Apa saja upaya-upaya yang Anda lakukan untuk memajukan semangat toleransi beragama di Maluku selain live-in?
Kita mewacanakan persoalan multikultural, pluralisme, dll. Ini memang sangat elitis di tingkat komunitas masing-masing. Tapi itu kita sosialisasikan ke pendeta-pendeta yang biasa berkhutbah. Tema sentral khutbah kita pada tahun 2007 ini, misalnya pluralisme, dan materinya dibuat tersentralisasi, baru kemudian didistribusikan. Merekalah yang lalu mengolahnya berdasarkan kekhasan jemaat-jemaatnya.
Selain program live-in antaragama, kita juga menggalakkan tafsir pluralis yang melibatkan dosen teologia maupun dari IAIN. Dari situ kita membagi kelompok live-in. Ada yang tinggal di pesantren, dan ada dijadwalkan untuk mengenal kegiatan-kegiatan gereja. Karena proses di bawahnya sudah dikondisikan dan jaringan sudah terbangun, maka tidak ada resistensi untuk kegiatan itu.
Bagaimana reaksi orang Maluku saat pluralisme di haramkan MUI?
Ketika pluralisme diharamkan di Jakarta, ini jadi cerita menarik. Sebelumnya, kita sering bicara pluralisme dan melakukan doa bersama. Ada program khutbah dan dakwah damai. Tiap bulan ulama-ulama pada level basis dikumpulkan, lalu kita bicara HIV/AIDS, soal kemiskinan, dan korupsi. Dan itu kita sepakati jadi tema khutbah dan dakwah. Ketika bicara itu, ahlinya kita panggil.
Nah, ketika keluar fatwa itu, ketua MUI di sana yang justru kelimpungan. Akhirnya dia ambil kesimpulan, “Pokoknya yang isme itu yang haram, tapi pluralitas harus!” katanya. Mereka juga bilang: “Itu kan soal mereka di Jawa, bukan soal kita!” Jadi yang dipahami haram adalah pluralisme dalam arti menyamakan agama-agama. Dan proses seperti ini bukan bagian dari itu.
Dari situ saya melihat bahwa beberapa ulama di sana mengalami moderasi juga. Karena memang ada perubahan atmosfir: publik sudah cenderung ke arah perdamaian. Saya juga melihat, internalisasi ideologi kekerasan sebenarnya tidak terlalu parah terjadi. Hanya kelompok-kelompok kecil yang masih ada.
Ketika konflik meletus, memang tiba-tiba perempuan Muslim diharuskan untuk berjilbab. Tapi belakangan, mereka lepas lagi. Kondisi ini membuat kelompok-kelompok keras tersudut. Yang perlu diantisipasi, ketika mereka tersudut, akan muncul post-power syndrom, karena ketika konflik mereka sangat dibutuhkan. Makanya kita tetap berupaya merangkul mereka agar tidak terlalu tersudut.
Adakah ruang kultural bersama yang diperkuat sejak terjadinya konflik?
Ada, seperti rumah kopi. Di Maluku, bukan kopinya yang khas, tapi totalitas dan kolektivitas perjumpaan di ruang itu. Kalau ada hal-hal yang perlu diselesaikan bersama, tidak perlu rapat tapi cukup bertemu di rumah kopi.
Hambatan teologis dialog antaragama tentu sangat berat, ya?
Kita belum masuk pada dialog teologis, karena itu belum menjadi budaya di sana. Proses dialog yang terjadi saat ini baru pada level mencari yang sama. Kita belum membuka aspek-aspek yang berbeda karena yang penting harus ada trust antarkita lebih dulu. Bagaimanapun, psikologi masyarakat pasca-konflik adalah masyarakat yang belum sehat karena sensitivitas masih tinggi. Mengupayakan terciptanya ruang-ruang perjumpaan yang lebih intens dan membangun jejaring identitas kolektif itulah yang terus-menerus harus kita upayakan.
Sebesar apa peran pemerintah dalam resolusi konflik Maluku?
Mereka punya program sendiri. Ada program media, jembatan perdamaian, bahkan lembaga antar-iman. Tapi kita sepakat untuk mengambil jarak dengan pemerintah. Dan itu juga disepakati ormas-ormas di sana. Kita tidak ingin terkooptasi, menjadi subsistem. Jadi kita berusaha tidak menerima bantuan dari pemerintah. Tapi mereka tiba-tiba membentuk Forum Kerja Sama Antar Umat Beragama dengan Pemerintah. Ini terbentuk karena ada dana 300 jutaan yang turun dari Departeman Agama. Gubernur meng-SK-kan itu. Beberapa tokoh sempat marah karena kita memang sudah punya lembaga antar-iman. Tapi akhirnya kita putuskan untuk melihat siapa yang bekerja dan siapa yang tidak.
Anda optimis perdamaian di Maluku akan langgeng?
Optimis, ya harus. Tapi ada isu besar yang belum selesai, yaitu reintregasi sosial. Sebab, pertama, secara faktual kita memang sudah tersegregasi, bukan hanya by place tapi juga by mind. Kedua, memang kontur wilayah memungkinkan terjadinya konflik lagi. Ketiga, kita tidak punya grand narasi. Kita hanya punya narasi kecil pulau-pulau. Kondisi seperti ini sangat memungkinkan konflik terpelihara secara potensial, sekalipun bukan dalam bentuk agama. Bisa jadi konfliknya berlatar belakang etnik atau sub-etnik, konflik sumber daya alam, dll.
Karena itu, bagi saya, apapun program dan perencanaan yang dikembangkan untuk Maluku, harus diukur seberapa persen kebutuhan reintegrasi sosial built-in di dalamnya. [Novriantoni dan Anick H. Tohari]