JIL Edisi Indonesia

Kritik atas Argumen Aktivis Hizbut Tahrir

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Maslahat bersumber dari konteks sosial. Jika dalil agama bertentangan dengan konteks sosial, maka konteks harus didahulukan di atas teks agama. “Mendahulukan” di sini, dalam pandangan Thufi, bukan berarti membatalkan dan menganulir sama sekali dalil agama. Sebaliknya, konteks sosial dianggap sebagai “pentakhsis” atau spesifikasi dan “bayan” atau menerangkan teks atau dalil agama yang ada.

31/08/2008 | Editorial | Komentar (177) #

Kepemimpinan Santri dan Dilema Kekuasaan

Oleh Agus Muhammad

Integrasi antara kekuatan sekuler dan kekuatan religius mestinya merupakan representasi ideal dalam kepemimpinan nasional. Kekuatan kelompok sekuler dapat diandalkan dalam kapabilitas; sedangkan kekuatan religius dapat mengimbanginya dengan moralitas. Namun harapan ini agaknya masih jauh dari kenyataan. 

29/08/2008 | Kolom | Komentar (12) #

Pengalaman Mengikuti Persidangan Rizieq Shihab

Oleh Musdah Mulia

Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak yang otoritarian dan humanistik. Agama yang humanistik memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakininya benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, untuk selanjutnya membangun relasi positif dan konstruktif dengan sesama manusia, serta menjaga kelestarian alam semesta. 

26/08/2008 | Gagasan | Komentar (126) #

Menjadi Muslim dengan Perspektif Liberal

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

PERBEDAAN mendasar antara saya berserta teman-teman Muslim liberal lain dengan kalangan Islam konservatif pada umumnya adalah pada aspek interpretasi dan perspektif pemahaman. Meskipun saya berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama bisa dirasionalkan, pada saat yang bersamaan saya juga berpandangan bahwa tidak semua hal dalam agama harus melulu dianggap sebagai semata-mata perintah Tuhan yang tidak bisa dicari dasar-dasar rasionalisasinya, tak bisa dinalar.

25/08/2008 | Editorial | Komentar (111) #

Irrelevansi dan Insignifikansi Agama

Oleh Trisno S. Sutanto

Tetapi justru fenomena keserba-hadiran agama itu punya matra patologisnya. Sebab, saya menengarai, feneomena keberagamaan yang ada tidak melewati pertimbangan sosiologis, melainkan sekadar dicomot dari khasanah puluhan abad lampau; juga tidak melewati proses kritik-dakhil teologis, melainkan sekadar mengulang-ulang rumusan yang baku. Karena itu agama-agama terancam untuk menjadi irrelevan dan insignifikan. Dan dalam pertarungan politik yang riuh rendah sekarang, tradisi keberagamaan seperti itu sangat rentan menjadi sekadar alat bagi kepentingan kekuasaan.

24/08/2008 | Kolom | Komentar (11) #

Melihat Dunia (Islam) setelah Olimpiade Beijing

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Kepada kaum Islamis yang “sok yakin” dan “ge-er” bahwa Islam akan menjadi kekuatan dunia baru, saya mengatakan: tengoklah India dan Cina itu! Mereka bekerja keras untuk membangun ekonomi, merebut peluang dalam pasar global, bukan mengumbar retorika semata. Jika Islam hendak maju, tiada cara lain kecuali bekerja keras seperti dua negeri tersebut, bukan bekerja keras untuk mendirikan sebuah “khilafah” yang tak jelas juntrungannya itu. Kesampingkan mimpi kalian itu, wahai kaum Islamis! Bangunlah, sebab negeri-negeri lain mencapai kemajuan bukan dengan mimpi semata, tetapi dengan kerja keras.

19/08/2008 | Kliping | Komentar (132) #

Merangkul Yang Lain

Oleh Albertus Patty

Celakanya, di saat terjadi politik labelisasi atas dasar agama yang memilah dan cenderung melakukan pembedaan terhadap manusia, agama justru tampil sebagai pemberi legitimasi. Labelisasi tidak pernah berhenti pada dirinya sendiri. Buku Clash of Civilization-nya Samuel Huntington mengingatkan bahwa politik labelisasi dan labelisasi agama sering menjadi kekuatan yang secara berkelindan menjadi biang pencipta kekerasan dan teror di seantero dunia. 

15/08/2008 | Kolom | Komentar (14) #

Jaudat Said dan Tafsir La Ikraha Fi al-Din

Oleh Abd Moqsith Ghazali

Dengan alasan itu, mereka melakukan pemaksaan bahkan kekerasan agar orang lain masuk ke dalam agama yang dipeluk dirinya. Orang seperti ini, menurut Jaudat Said, mengidap penyakit jiwa (maradl nafsiy). Orang yang berjiwa sehat adalah mereka yang berupaya bagi tegaknya kebebasan beragama. Bahkan, Said menegaskan bahwa jihad disyari’atkan untuk menghapuskan pemaksaan (al-ikrah) dan membiarkan seluruh manusia merdeka dalam memilih sesuatu yang dianggapnya benar. 

12/08/2008 | Tokoh | Komentar (25) #

Islam Indonesia Kini: Moderat Keluar, Ekstrem di Dalam?

Oleh Novriantoni Kahar

Kini tengoklah, betapa absurdnya klaim kita tentang moderasi Islam. Dalam kasus Ahmadiyah, intimidasi sistematis yang dilakukan kelompok-kelompok Islam baru ini bukan hanya tidak dapat dibendung, tapi dalam beberapa hal seperti dibiarkan dan mendapat dukungan moral-teologis dari beberapa eleman internal Muhammadiyah dan NU. Hanya beberapa figur penting seperti Gus Dur dan Syafii Ma’arif yang turun gunung dan bertarung menentang bentuk-bentuk intoleransi yang makin menggejala.

11/08/2008 | Kolom | Komentar (35) #

Kontradiksi dalam Cara Berpikir Abu Bakar Ba’asyir

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Kalau kita amati kelompok-kelompok Islam yang meneriakkan semboyan ingin hidup sesuai dengan sunnah dan teladan Nabi, ada semacam pola yang menarik. Pola ini terjadi di tanah Arab sendiri, dan terjadi pula (atau tepatnya ditiru?) di Indonesia dan negeri-negeri lain di luar Arab. Yaitu, mereka cenderung terlibat dalam pertengkaran internal yang tak pernah selesai. Persoalannya sepele: masing-masing kelompok menuduh yang lain sebagai menyimpang dari atau kurang konsisten dengan sunnah, dan menganggap merekalah yang paling konsisten mengikutinya.

08/08/2008 | Editorial | Komentar (106) #
Halaman: 7 dari 108 « First  <  5 6 7 8 9 >  Last »

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq