Revitalisasi Paramadina. Itulah harapan yang terbersit dari perayaan milad ke-20 Paramadina. Bagaimana revitalisasi atas institusi yang pernah menjadi salah satu lokomotif pembaruan gagasan-gagasan keislaman di Indonesia itu menjadi mungkin? Berikut perbincangan Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), Kamis (12/11) lalu, dengan Budhy Munawwar Rachman dan Utomo Dananjaya, dua orang yang pernah menjadi aktivis Paramadina.
Utomo Dananjaya
Mas Tom, apa yang bisa Anda kenang atau katakan tentang 20 tahun usia Paramadina?
Satu hal yang paling penting dari warisan Paramadina adalah prinsip menghargai keragaman. Paramadina bukan organisasi sektarian. Artinya, ia tidak mendukung salah satu aliran pemikiran tertentu. Paramadina selalu memberi ruang bagi pelbagai perbedaan untuk saling berdialog. Perbedaan-perbedan itu, terutama menyangkut soal keagamaan, didialogkan, dibicarakan.
Nah, selama 20 tahun, Nurcholis Majdid (almarhum) menjadi orang terpenting Paramadina karena pemikiran dan gagasan-gagasannya yang ingin menyebarkan pemahaman keislaman yang luas dan terbuka, mendalam dan tanpa curiga. Pendirian ini dia wujudkan dalam memberikan ruang agar perbedaan bisa didialogkkan secara terbuka dan tanpa curiga.
Sekarang, generasi saya, generasi Nurcholis sudah berakhir. Karena itu, kami berharap banyak pada generasi yang lebih muda. Saya mati-matian berjuang agar Paramadina dipegang oleh anak-anak muda, oleh Budhy, misalnya.
Bagaimana Anda menilai kaderisasi di Paramadina?
Nurcholis sudah berhasil berkiprah di Paramadina, dan karena itu dia ingin menyerahkannya kepada yang lebih muda. Bagi anak-anak muda sekarang, mungkin bukan waktunya lagi sekadar mewarisi atau mengunyah-ngunyah pemikiran Nurcholis. Sekarang sudah tiba bagi anak-anak muda untuk melanjutkan perkembangan pemikiran itu. Jadi bukan berhenti dan mengunyah-ngunyah saja, tetapi melanjutkan.
Di Paramadina itu ada mata kuliah perkembangan pemikiran Islam. Nah, setelah dua dekade Nurcholis menyampaikan pikirannya, ia sudah berakhir dengan meninggal. Karena itu, perkembangan Paramadina harus lebih maju lagi. Ada banyak soal yang kini harus dipikirkan lagi, terutama prinsip-prinsip pluralisme yang saat ini menjadi problem kita. Dulu kebebasan kita dipasung, sehingga harus diperjuangkan.
Setelah 20 tahun, apa keberhasilan dan kebelumkeberhasilan Paramadina?
Keberhasilan Paramadina itu inheren dengan keberhasilan bangsa ini. Yang kami kembangkan dulu itu adalah semacam usaha penerimaan agama sebagai hak asasi tiap individu. Dalam hal penerimaan itu, tetap ada sikap-sikap esensial yang harus dipegang, misalnya prinsip tauhid. Tauhid itu pengertiannya apa?
Esensi tauhid bermuara pada baiknya pergaulan kita sesama manusia dalam suasana saling pengertian dalam banyaknya perbedaan. Kemudian menghormati pluralisme sembari menegaskan bahwa Islam itu agama yang universal. Jadi inilah perilaku muslim yang menjadi cita-cita Nurcholis. Saudara Budhy Munawwar pernah bertanya pada Cak Nur soal itu: berarti Cak Nur liberal, dong? Cak Nur bilang, yang liberal bukan saya, tapi prinsip-prinsip yang sudah digariskan Alquran.
Nah, sekarang, sebagian dari aspek kebebasan itu, sudah dcapai melalui reformasi. Sebagian dari wawasan pluralisme sudah tersebar, antara lain berkat teman-teman di luar Paramadina. Inilah yang kami lihat sebagai keberhasilan. Itu bukan semata-mata hasil jerih payah Paramadina saja, tapi juga hasil kerja keras teman-teman yang punya pemikiran yang sama dengan kita.
Apa kebelumberhasilannya?
Kebelumberhasilanya adalah: belum seluruh bangsa ini menghayati gagasan pluralisme, atau mengamalkan sikap inklusif dalam beragama. Belum begitu. Sekarang masih ada saja golongan Islam yang masih memandang keberagamaan yang baik itu harus menguasai orang, bukan hidup berdampingan dalam pelbagai perbedaan sembari saling menghormati. Kita belum berhasil mengubah perilaku umat seperti yang dimaksudkan itu. Belum berhasilnya mungkin bukan semata-mata kegagalan Paramadina, toh perjuangan Paramadina tidak akan berhenti.
(Budhy Munawwar-Rachman)
Mas Budhy, bisa diceritakan kilas balik lahirnya Paramadina?
Paramadina lahir sejak 31 Oktober 1986 oleh semacam kolaborasi cendekiawan Muslim pada waktu itu, antara lain Cak Nur (almarhum), Mas Tom (Utomo Dananjaya), Usep Safiudin, dan beberapa kalangan birokrat seperti Menag Munawwir Sadzali, Emil Salim, dan kalangan pengusaha seperti Fahmi Idris, Sugeng Saryadi, dan lain-lain. Angka 17 diambil menjadi jumlah pengurus. Mereka sama-sama bersepakat mengembangkan semacam bentuk dakwah Islam yang berbeda dari yang sudah ada waktu itu. Yaitu dakwah untuk kelas menengah yang di era 1980-an sedang tumbuh. Dan memang, mereka membutuhkan cara penyajian Islam yang berbeda dengan cara penyajian yang tradisional.
Hal yang cukup spektakuler waktu itu adalah program Klub Kajian Agama (KAA). Forum ini secara tradisional mirip pengajian, tapi kita menyebutnya kajian agar bersifat lebih ilmiah. Dan itu dilakukan bukan di pesantren, masjid atau surau, tapi di hotel berbintang. Pada waktu itu, fenomena itu cukup mengejutkan. Tapi apa yang mengejutkan di masa itu, kini sudah menjadi hal yang lumrah. Mungkin, itu dampak paling jelas dari proses Islamisasi kelas menengah Muslim di Indonesia.
Nah, KKA ini punya kemampuan bertahan yang sangat spektakuler. Ia bisa berlanjut lebih dari 200 seri sepanjang kurang lebih 20-an tahun. Serial ini dilakukan sebulan sekali, pada minggu ketiga hari Jum’at malam. Topik bahasannya sangat luas, meliputi hampir seluruh bidang penting kajian Islam, baik bidang keilmuan tradisional seperti fikih, kalam, falsafah, dan tasawuf, atau hal-hal modern seperti isu demokrasi, hak asasi manusia, hubungan Islam dan sains, dan isu-isu kontemporer Islam di Indonesia.
Apa saja yang berkaitan dengan isu Islam mungkin pernah dibahas KKA. Dan KKA telah menghasilkan 200 x 2 paper, karena tiap kalinya ada dua pembicara yang masing-masing diwajibkan membuat paper. Pembicara pertama berasal dari tamu yang diundang, dan pembicara yang lain bertindak sebagai pembicara perbandingan untuk melihat sisi lain permasalahan, yaitu Cak Nur. Hampir semua buku-buku Cak Nur dihasilkan dari acara ini.
Bisa dikatakan, saat itu Paramadina ikut menghidupkan gairah intelektualisme Islam, ya? Persis seperti yang Anda sebut. Di masa itu, tidak ada perhatian sungguh-sungguh terhadap kegiatan dakwah kelas menengah. Padahal, kalangan menengah itu sudah terpelajar, sarjana, dan seterusnya. Mereka punya cara berpikir yang berbeda karena punya bahan bacaan dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Karena itu, wajar mereka memerlukan cara penyajian Islam yang berbeda pula. Kebetulan, saat itu ada perkembangan intelektual yang juga cukup pesat di kalangan terpelajar Muslim. Nah, Cak Nur melirik segmen kelas menengah Muslim ini. Karena itu Cak Nur dkk membayangkan suatu lembaga atau oranisasi Islam yang akan mengisi kekosongan lahan garapan itu.
Ada yang menilai paradigma corak keislaman yang dikembangkan Paramadina baru sebatas Islam inklusif, untuk membesakan hati umat, belum merambah paradigma pluralisme yang lebih kritis. Komentar Anda? Sejak awal Paramadina sudah membicarakan itu. Dan pluralisme sudah pula menjadi keprihatinan Cak Nur paling besar. Pluralisme yang dimaksud bukan hanya soal hubungan antaragama, tapi lebih penting menyangkit hubungan intraagama Islam. Karena itu, paham inklusivisme dan konsep ukhuwah islamiah sering kali dikemukakan Cak Nur. Semua dalam rangka usaha untuk menerima perbedaan antar kelompok-kelompok Muslim sendiri dengan lapang dada.
Konsep ini lebih lanjut bermakna mengakui hak kelompok Syiah ataupun Ahmadiyah untuk menganut agama sesuai pahamnya sendiri. Itu sesuatu yang tidak boleh dihalangi. Cak Nur sudah berpikir soal itu. Tapi sebagai masalah besar, soal ini baru muncul sekarang. Saat Cak Nur sakit, saya pernah bertanya mengenai soal kekerasan atas Ahmadiyah yang mengemuka satu-dua tahun terakhir. Cak Nur berpesan, menerima perbedaan dengan lapang dada adalah sikap paling minimal dalam bertoleransi.
Nah, saya kira ini tantangan kita paling besar sekarang ini, karena kita dalam situasi intoleransi yang cenderung menguat dalam fenomena keagamaan, baik terhadap minoritas sesama Muslim atau lainnya.
Salah satu kritik orang terhadap Paramadina adalah kesan elitisnya. Bahkan ada yang menulis bahwa Cak Nur memperjuangkan agama untuk kalangan borjuis, tidak menyentuh kalangan bawah. Tanggapan Anda? Paramadina memang lebih banyak terfokus pada kalangan menengah ke atas. Tapi majlis dakwah terhadap masyarakat di pelosok-pelosok sudah banyak dilakukan komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga lain. Karena itu, model kajian Islam Paramadina sengaja diformat untuk lebih bersifat intelektual. Saya setuju bahwa sosialisasi gagasan ke kalangan yang lebih luas adalah penting. Justru keadaan intoleransi dalam beberapa hal sekarang ini membuat paham-paham keagamaan yang dikemukakan Cak Nur makin relevan.
Beberapa tahun lalu, saat mau membuat biografi Cak Nur, kita sempat bertanya tentang evaluasi Cak Nur terhadap Paramadina yang sudah berusia 17 tahun di waktu itu. Cak Nur bilang, itu sesuatu yang subjektif. Kita tak bisa menjawabnya. Tapi kalau boleh mengklaim, paham keagamaan yang kita kembangkan dulu, sekarang sudah menjadi paham yang lebih banyak diterima orang.
Saya mau menambahkan, paham yang pernah dikembangkan Cak Nur, justru makin krusial saat ini. Perkembangan sosial-keagamaan dalam 2-3 tahun belakangan menunjukkan bahwa isu syariat Islam, perda-perda keagamaan, dan kasus diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda, jauh lebih banyak daripada di masa Cak Nur. Jadi, sekarang kita memerlukan usaha lanjutan untuk mengembangkan gagasan-gagasan Cak Nur. Saya kira, itu sudah menjadi tanggungjawab kita bersama.
Kini ada semacam kemunduran: pengajian kelas menengah atas Indonesia lebih banyak berlinang air mata, sekadar menyentuh hati, kurang bernalar. Kemana jemaah Paramadina pergi? Fenomena pengajian kelas menengah ke atas Indonesia saat ini, memang lebih banyak berhubungan dengan urban sufism, atau sufisme kaum perkotaan. Dulu, pengajian Paramadina lebih kritis dalam arti sangat mementingkan pengembangan nalar. Sebab, pengembangan hati atau kesufian itu sudah menjadi bagian dari watak agama itu sendiri. Dan sekarang, fenomena yang terakhir ini memang cukup berkembang. Tapi kegiatan pengembangan nalar yang sudah dirintis Cak Nur juga berkembang pesat. Bahkan, di Paramadina sendiri ada usaha untuk memuliakan kembali pikiran. Itulah istilah yang digunakan Yudi Latif (Deputi Rektor Universitas Paramadina, Red) dalam orasinya di Paramadina.
Apa kado ulang tahun ke-20 Paramadina yang kini sedang dipersiapkan?
Kami sudah mengumpulkan kembali semua hasil kuliah Cak Nur di Paramadina. Dan itu menghasilkan Ensiklopedi Nurcholis Madjid. Ensiklopedi ini ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kita kaya akan bahan pemikiran dan punya referensi keislaman yang mungkin bisa digunakan untuk memecahkan permasalah-permasalah kontemporer. Cak Nur selalu berpesan, kita perlu menjaga unsur-unsur tradisi yang baik sembari mengusahakan pembaruan-pembaruan. Di ensiklopedi ini, kita akan tahu bahwa secara keilmuan, Cak Nur itu sesungguhnya sangat dekat dengan tradisi NU. Tapi secara keorganisasian, beliau mungkin lebih dekat pada Muhammadiyah atau kalangan modernis Islam.
Bagi Cak Nur, untuk pengembangan pemikiran keislaman yang kontekstual dengan problem-problem kebangsaan, mengapresiasi khasanah-khasanah klasik Islam sangatlah perlu. Saya kira, itulah wasiat Cak Nur yang perlu kita kembangkan lebih jauh. Di dalam kelas-kelas KKA, Cak Nur sangat sering mengutip tokoh-tokoh intelektual Islam klasik seperti Ibnu Taimiyah, Ibn Rusyh, dlsb. Jadi keinginan Cak Nur untuk mengembangkan pemikiran keislaman itu sangat kuat.
Harapan Anda pada ulang tahun Paramadina yang ke-20 ini?
Persis seperti kearifan yang sudah sering dikemukakan Cak Nur, terutama ketika dia mau berobat ke Cina. Yaitu, Paramadina sudah harus diserahkan ke kaum muda. Harapan tertinggi Cak Nur adalah: Paramadina harusa bisa mempertahankan staminanya dalam proses pembaruan pemikiran Islam. Saya kira, sekarang harapan itu bisa diwujudkan karena ada banyak generasi yang lebih muda-muda seperti Yudi Latif, Ihsan Ali Fauzi, dan banyak lainnya. Sebelumnya ada Pak Kautsar, Pak Zainun, dan lain-lain. Ada puluhan cendekiawan yang bisa melanjutkan cita-cita Cak Nur. Dalam suatu sinergi yang apik, saya kira kita dapat terlibat kembali dalam proses pengembangan corak Islam yang rahmatan lil ’alamin. []