Perlu Dialog Hati ke Hati, Bukan Bibir ke Bibir - Jaringan Islam Liberal (JIL)
Halaman Muka
Up

 

Muhammad Najib Ghoni:

Perlu Dialog Hati ke Hati, Bukan Bibir ke Bibir

26/02/2007

Begitu Presiden Soeharto lengser, kita justru melihat banyak kerusuhan antar umat beragama. Karena itu, kami bersama teman-teman mencoba untuk membangun situasi kerukunan yang tidak bersifat top-down, tapi bottom-up. Artinya, itu benar-benar diinginkan oleh masyarakat dan agamawan itu sendiri.

Kerukunan antar umat beragama selama ini sebetulnya bersifat semu dan artifisial. Ketika harmoni yang semu dan artifisial itu diuji letupan konflik yang kecil saja, kerusuhan berskala massal bisa saja meledak. Diperlukan dialog lintas agama dari hati ke hati, bukan sekadar dari bibir ke bibir. Demikian pengalaman Muhammad Najib Ghoni yang akrab disapa Gus Najib, Pimpinan Pondok Pesantren Shiratul Fuqoha, Sepanjang, Gondanglegi, Malang, kepada Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK), Kamis (15/2) lalu.

Gus Najib, bisa diceritakan pengalaman Anda dalam menjalankan forum dialog lintasagama?

Kebetulan, hari ini (15/2) adalah hari terakhir kami mengadakan dialog antar umat beragama se-Asia yang bertajuk Youth, Leader and Women Interfaith Dialogue. Tempatnya di Institut Pendidikan Teologi Balewiyata, Malang. Di sini berkumpul teman-teman Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Mereka jadi satu untuk membangun kebersamaan. Untuk apa kami mengadakan acara ini?

Kita tahu, belakangan banyak terjadi keusuhan-kerusuhan mengatasnamakan agama. Kalau sudah mengatasnamakan agama, kita akan susah sekali memadamkannya. Tidak usah dibayar pun orang dengan semangat akan ikut. Mereka akan merasa itu sebagai perjuangan suci. Nah di forum ini, kita menganalisis mengapa hal-hal seperti itu bisa terjadi. Salah satunya faktor penyebabnya adalah karena tidak terjadinya dialog. Perspektif masing-masing pihak masih subyektif terhadap pihak lain.

Karena itu, kita mengumpulkan anak muda lintasagama agar terjadi pergeseran perspektif dalam menilai agama dan pihak lain. Biasanya, setiap agama memang cenderung menghukumi agama lain secara monolog dan dari sudut pandang masing-masing. Di sini, itu kita coba dialogkan. Dari sini kita harapkan timbul cara membangun kebersamaan dengan memahami kultur masing-masing agama secara langsung.

Apa target dan tujuan forum-forum seperti ini?

Tujuannya adalah untuk membangun iklim toleransi antar umat beragama. Kita tahu, iklim toleransi yang terbangun antarumat beragama selama ini masih agak formal; masih toleransi grup. Kita mau menghormati orang lain kalau ada dalam struktur grup tertentu. Tapi secara individual, kita akan kembali ke sikap-sikap yang intoleran. Jadi jarang sekali yang toleran itu sampai bergeser pada tataran penghayatan individu.

Dalam forum ini kita coba mengusahakan agar toleransi dalam grup itu bergeser ke toleransi antarindividu. Bukan lagi basa-basi karena sungkan ini dan itu, tapi toleransi itu benar-benar timbul dari dalam diri individu-individu. Dengan itulah mereka akan mengerti the ultimate values atau nilai paling utama di tiap-tiap agama. Dari situ terbangunnya pertemanan yang tak bisa dipisahkan oleh berbagai masalah lagi.

Saking intimnya, kami menyebut forum ini bukan hanya dialog bibir ke bibir, tapi heart to heart dialogue atau dialog dari hati ke hati. Kita tidak hanya membicarakan perdamain, tapi juga membincangkan soal teologi agama masing-masing. Selama ini, banyak keraguan dan kecurigaan masing-masing pihak terhadap pihak lain. Yang non-Muslim tidak tahu bagaimana iklim pesantren, sementara orang tidak tahu iklim vihara dan biara.

Secara teknis, bagaimana menciptakan iklim persahabatan yang intim itu?

Selain lewat interaksi di kelas, kita juga mengirim peserta dialog yang Kristen, Buddha, Hindu, dan lainnya untuk tinggal di pesantren. Di situ mereka akan merasakan pengalaman-pengalaman unik yang baru. Yang punya persepsi buruk tentang pesantren misalnya, akan tahu iklim pesantren.

Ada peserta Hindu yang begitu tahu akan kita kirim ke pesantren langung nervous. Saking paniknya, dia sempat telepon istri dan bilang akan berangkat ke pesantren. Keluarganya sempat keberatan. Tapi begitu sampai di pesantren, dia justru ceria dan disambut baik oleh kiai dan para santri. Dia pun ditanya ini dan itu, dan sempat bertanya apapun yang tidak ia ketahui tentang pesantren. Saat itu juga, kecurigaannya terhadap pesantren sirna.

Begitu pula pengalaman mereka yang kita kirim ke kongregasi Kristen. Pertamanya banyak yang mengganggap gereja itu tak lebih institusi kristenisasi, identik dengan dan disuplai dana oleh Barat, dan punya hidden agenda terhadap kaum Muslim. Tapi begitu tinggal beberapa hari di kongregasi, persepsi mereka berganti. Sebenarnya apa yang dicurigai selama ini tidak terbukti. Buyar persepsi mereka.

Nah, pengalaman tinggal bersama yang kita sebut ”live in” dengan komunitas lain itu, ternyata bukan main efektif untuk membuka perspektif-perspektif yang negatif terhadap orang lain.

Selain metode ”live in”, adakah cara lain yang Anda tempuh?

Ada. Itu pernah saya terapkan pada kalangan pemuda. Misalnya belajar bersama. Di tahun 1997-1999, terjadi krisis luar biasa dalam hubungan antaragama. Saya bersama teman-teman di Malang mengumpulkan anak-anak pendeta dan anak-anak kiai di dalam pesantren selama satu bulan untuk belajar bahasa Inggris bersama. Kebetulan saat itu ada teman dari Kanada dan Jerman yang mau mendampingi mereka.

Nah, mereka bisa berkumpul, berdiskusi bareng—tapi tidak tentang teologi—sembari belajar bahasa. Hasilnya luar biasa. Mereka yang tadinya takut untuk saling ketemu, berjarak antara satu dengan yang lain, akhirnya bisa tinggal dan belajar bersama. Mereka berkesimpulan bahwa kerusuhan dan kecurigaan yang berlebihan itu sudah tidak beralasan. Bahkan para guru yang menerima warning harus pulang ke Kanada, justru tak mau pulang dan nyaman tinggal di pesantren.

Apakah kekhawatiran akan pencairan akidah atau sinkretisme beragama lewat forum seperti ini beralasan?

Kekhawatiran itu memang masih jadi kendala. Itu berdampak pada kesulitan mencari peserta dialog. Tapi, tentu saja kekhawatiran itu tak terbukti di lapangan. Sebab biasanya, saat pertama kali bertemu, para peserta saling menjatuhkan yang lainnya. Mereka berpikir bagaimana agama saya bisa menang dan agama lain kalah.

Tapi itu tak berlangsung lama. Ketika mereka sudah tinggal bersama dalam waktu cukup lama, mereka akan kehabisan energi. Tapi tetap saja mereka tahu bahwa dalam kehidupan sehari-hari, mereka tak bisa membuktikan bahwa tujuan dialog adalah untuk menyatukan agama-agama. Jadi, ketakutan semacam itu memang ada pada tahap awal-awalnya saja. Setelah bertemu dan berdialog, bukan sinkretisme yang justru terjadi, tapi perluasan perspektif masing-masing terhadap orang lain.

Seperti apa fase-fase perubahan perspektif itu berjalan?

Pada minggu pertama, baik yang Islam maupun Kristen, biasanya akan berkumpul dengan kelompok masing-masing. Waktu makan, mereka akan menyudut dengan kelompoknya itu juga. Diskusi pertama mereka adalah diskusi kecurigaan; soal apa motif dialog semacam ini. Banyak lagi kecurigaan lainnya pada diskusi yang pertama. Bahkan sebelum live in ke suatu tempat, mereka sudah menyusun strategi untuk mencari kelemahan-kelemahan pihak tertentu. Yang Kristen mencari kelemahan-kelemahan pesantren, begitu juga sebaliknya. Tapi begitu sudah tinggal lama di pesantren atau kongregasi, mereka hampir tak akan bisa berkata apa-apa lagi.

Kita pernah mengundang seorang pendeta dari Sulawesi untuk ikut acara kita di Malang. Pertamanya, dia menganggap orang Islam itu sama semua. Ketika kita kirim dia ke pesantren, dia tak bisa tidur. Persepsinya tentang pesantren selama ini sangat buruk. Tapi begitu kembali dari pesantren, dia hampir tak bisa berkata apapun. Persepsi negatif yang selama ini ada, dibuyarkan ketika dia ber-live-in-ria.

Dari situ, biasanya dimulai fase baru. Mereka yang tadinya berkumpul dengan kelompok masing-masing, mulai berkomunikasi dengan kelompok lain, duduk dan makan bersama lintasagama. Mereka saling cerita soal pengalaman selama live in. Dari sinilah mulai terjadi dialog yang cair. Yang tadinya sangat formal menjadi dialog dari hati ke hati. Ketika akhir kegiatan, biasanya mereka sudah tidak bisa dibeda-bedakan lagi.

Apa tantangan internal kegiatan seperti ini?

Tantangan internal dalam bentuk resistensi, di mana pun pasti ada. Misalnya dari lingkungan pesantren sendiri. Tapi itu bisa ditanggulangi. Dulu para santri sangat takut dengan kehadiran orang-orang non-Muslim. Mereka sudah meyiapkan cara agar pendeta tersebut masuk Islam. Bahkan untuk mencari tempat tinggal pendeta pun kita dulunya kesulitan.

Biasanya, sebelum acara kita survei dulu dari pesantren ke pesantren sambil minta izin menjalankan program dan menempatkan kawan-kawan non-Muslim di situ. Dari situ kita dapat melihat reaksinya. Ada yang menolak dengan tegas, ada yang menolak halus, dan ada yang menerima. Dari beberapa kunjungan ke pondok pesantren, kita dapat menemukan kiai-kiai yang cukup pluralis, bisa menerima kita, dan bahkan bersedia memperlakukan para peserta dengan baik.

Biasanya, sikap yang antipati beranjak dari ketindaktahuan. Tak kenal maka tak sayang. Banyak sekali orang Islam yang tidak tahu ada banyak denominasi (firqah) di dalam Kristen. Nah, dari proses tinggal bersama itu, mereka akan tahu bahwa di Kristen itu banyak sekali denominasi-denominasi yang masing-masing punya kepentingan berbeda. Dari hidup bersama, mereka sadar akan fakta itu dan dapat menghormati tradisi agama lain sebagaimana pemilik tradisi menghormati tradisinya.

Ada banyak jalur kebudayaan yang bisa ditempuh juga, ya?

Ya. Jalur kebudayaan itu sudah pernah juga dilakukan partner kami. Misalnya oleh teman-teman Konghucu di Klenteng Malang. Perlu Anda tahu, dari 100 pemain barongsai yang ada di sana, 90 orang diantaranya adalah Muslim. Bahkan Reog Ponorogo yang diasuh GKJW Malang, tidak hanya diamainkan oleh orang-orang Kristen, tapi lintasagama. Bahkan ada juga yang dari Islam.

Fakta-fakta kecil itu biasanya mampu membuat peserta dialog membuka diri. Mereka sadar, selama ini tidak ada masalah antaragama. Dari situ mereka bisa membedakan mana yang hanya masalah agamawan tertentu, mana soal politisasi agama, dan mana yang benar-benar masalah agama. Mereka tidak akan lagi gampangan dalam menuding golongan-golongan lain. Dalam dialog ini, satu sama lain memang benar-benar ingin mengenal orang lain dan ingin hidup bersama dalam damai.

Biasanya tema-tema apa saja yang ditekankan dalam forum, Gus?

Yang paling utama adalah bagaimana agar setiap orang punya kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Di antaranya bagaimana agama betul-betul peduli terhadap orang miskin. Dari beberapa pengalaman dialog, kita tahu sebenarnya musuh utama agama dan para agamawan bukanlah agama lain, tapi soal kemiskinan. Karena itu, di forum dialog kita mengemas cara agar agamawan sadar bahwa musuh kita sebenarnya adalah kemiskinan. Dari situ kita bisa membentuk jaringan antaragama. Kita juga mengangkat isu proeksistensi dalam kehidupan beragama.

Dulu, orang beranggapan bahwa hubungan antaragama masa Orde Baru cukup rukun dan damai. Faktanya memang rukun dan damai. Tapi kerukunan dan kedamaian itu sebenarnya berlangsung top-down. Ada politik kerukunan yang menjadi kebijakan pemerintah masa itu. Jadi, masyarakat rukun-rukun dan menghormati orang lain karena takut pada pemerintah. Beberapa daerah yang dianggap kurang rukun, pejabatnya akan kena skors.

Bagi kami, kerukunan antaragama saat itu bersifat semu dan artifisial. Terbukti, begitu Presiden Soeharto lengser, kita justru melihat banyak kerusuhan antar umat beragama. Karena itu, kami bersama teman-teman mencoba untuk membangun situasi kerukunan yang tidak bersifat top-down, tapi bottom-up. Artinya, itu benar-benar diinginkan oleh masyarakat dan agamawan itu sendiri.

Jadi sifatnya antisipatif, ya?

Benar. Lihat saja tempat-tempat yang pernah dilanda kerusuhan saat ini. Dulunya, tempat-tempat itu tergolong aman. Ini menunjukkan bahwa kerukunan saat itu adalah kerukunan yang semu. Begitu diuji sedikit saja, gampang sekali meletusnya kerusuhan luar biasa. Nah, dengan bertemu dalam forum lintasagama, kita mendapatkan hal-hal yang luar biasa. []

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1214

 

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq