Saya Kenal Feminisme Dari Penulis Arab - Jaringan Islam Liberal (JIL)
Halaman Muka
Up

 

Mariana Amirudin:

Saya Kenal Feminisme Dari Penulis Arab

16/04/2007

Saya berpikir, kalau ingin bikin revolusi, memang harus begitulah caranya. Saya bekerja hampir tanpa pamrih. Tidak ada hak sama sekali, kecuali kepuasan hati. Itu justru dianggap kepahlawanan dan pengabdian kita terhadap negara yang kita impikan. Dan memang banyak sekali iming-imingnya. Misalnya, kalau NII sudah futuh atau menang dan RI kalah, maka kamu akan mendapatkan surga sebagaimana yang digambarkan Alquran.

Banting setir ideologi dapat saja terjadi pada kelompok radikal agama bila orang yang bergelut di dalamnya giat melakukan refleksi kritis atas kiprah mereka. Setidaknya itulah pengalaman Mariana Amiruddin, redaktur Jurnal Perempuan, sebagaimana dituturkannya kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Radio 68H, 5 April lalu.

Bagaimana agama dikenalkan kepada Anda sejak kecil?

Tidak ketat. Bahkan untuk salat pun saya tidak pernah dipaksa orangtua. Untuk pendidikan agama pun diserahkan saja ke sekolah. Orangtua cuma mengajarkan tentang kebaikan dan memberitahu bahwa saya beragama Islam. Saya juga tidak disekolakan ke madrasah. Guru ngaji memang didatangkan. Tapi itu jadi bagus, karena saya bisa mengerti huruf Arab.

Pengaruh lingkungan dalam membentuk corak keberagamaan, bagaimana?

Saya cenderung anti-sosial dan tak peduli. Yang menentukan lingkungan waktu itu kebetulan memang agama. Dan agama yang saya pilih adalah Islam dan karena itu saya lebih mengerti tentang apa yang harus dilakukan dalam bidang itu. Tapi waktu kelas III SMA, saya mulai memilih kelompok tarbiyah dan mulai mengenakan jilbab.

Itu terjadi sekitar tahun 1990-an. Waktu itu mengenakan jilbab memang tidak dibolehkan di sekolah umum. Semua diseragamkan sekolah. Tapi dengan begitu, saya justru ingin tampil beda dari anak-anak di sekolah. Saya pikir, jilbab waktu itu adalah sebuah simbol pernyataan diri atau identitas.

Bagaimana nuansa keagamaan di sekolah-sekolah umum saat itu?

Unik. Saya bergairah mengikuti rohis (rohani Islam) karena ada ruang kontemplasi yang saya tidak temukan di televisi dan teman-teman yang suka dugem atau jalan-jalan. Saya justru menemukan kepuasan spiritual di sana. Saya dulu kan tidak peduli dengan orang lain dan egois. Beranjak dari rohis itu, saya bertemu dengan kelompok-kelompok tarbiyah. Ada halaqah dan segala macam kegiatan.

Tapi saya tidak cepat puas. Karena ketidakpuasan, saya mulai mencari perbincangan tentang isu-isu perempuan. Sejak itu saya membuat mading (majalan dinding) bersama teman-teman dan para ikhwan. Tapi kemudian, saya dilarang membuat gambar-gambar kartun, hanya karena saya perempuan. Laki-laki justru boleh. Alasan itu sangat tidak masuk akal bagi saya.

Saya langsung mundur dan mencari aktivitas lain. Lalu saya ikut lomba karya tulis tentang sekolah ideal dan meraih juara satu. Sekolah ideal yang saya bayangkan waktu itu adalah yang mensegregasi antara anak perempuan dan laki-laki. Saolnya, isu perempuan yang saya dapati waktu itu adalah tentang banyaknya pelecehan terhadap perempuan. Makanya, saya berpikir solusinya adalah dipisahkan, supaya prestasi perempuan kelihatan. Sebab, kebanyakan siswa perempuan introvert dihadapan laki-laki. Jadi mereka tidak bisa muncul.

Adakah titik balik cara pandang Anda terhadap agama di kemudian hari?

Ya, dan itu karena kekecewaan. Saya kan orang sangat idealis. Ketika tak menemukan yang ideal di sana (gerakan tarbiyah), saya mencari yang lain, tapi masih dalam aspek yang sama, yaitu Islam. Waktu juara lomba karya tulis itu, saya didatangi seseorang yang mengajak aktif di halaqah dia. Dulu saya juga sempat ikut ICMI Orwil Jakarta. Nah, orang itu mengajak saya untuk membuat kajian teoritis-analitis tentang Islam dan kenegaraan.

Ternyata, setelah datang beberapa kali, tiba-tiba saya dibaiat dan diminta berganti nama jadi Fatimah Azzahra. Di situ saya kemudian menemukan agama bisa menggunakan logika lebih banyak. Saya diajak berpikir tentang bagaimana Islam di Mekah dan mengapa Nabi hijrah ke Madinah; bagaimana Tuhan dan lain-lain. Analogi-analogi itu menurut saya bisa masuk akal.

Seperti apa ikrar baiat ketika itu?

Aduh, saya lupa. Tapi sifatnya agak militeristik. Loyalitas ditujukan hanya kepada Rabb. Tapi Rabb yang mereka pikirkan bukan hanya sesuatu yang imaginer, tapi nyata: berupa negara. Kita diajak hijrah dari Mekah ke Madinah, dari jahiliah ke Islam. Saya merasa jadi orang yang disucikan, atau dalam istilah mereka, sudah tazkiah. Di situ banyak masalah unik yang saya temukan. Menarik juga sih untuk ukuran waktu itu.

Tapi lama-lama kok ada tugas macam-macam seperti tugas kenegaraan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Mereka menyebut tugas itu untuk memperjuangkan tegaknya Negara Islam Indonesia (NII). Bagi mereka, di Indonesia itu sebenarnya ada dua negara: RI dan NII. Ada yang aktual dan ada yang sedang diimpikan. Mereka mengklaim, ketika sudah berganti nama menjadi Fatimah Azzahra, maka saya sudah hidup di negara yang diimpikan itu (NII).

Saya benar-benar merasakan bahwa pikiran dan jiwa saya bukan lagi di negara kesatuan republik Indonesia. Saya tidak bilang itu ilusi di waktu itu, tapi sebuah kenyataan. Karena itu, saya juga bersedia dikenakan pajak dan sebagainya. Setiap bulan saya harus menyumbang Rp. 50.000 untuk gerakan. Lama-lama angkanya naik menjadi Rp. 100.000 per bulan. Wah, sampai lima tahun dalam gerakan, saya merasa ternyata cuma ditarik uang doang.

Adakah hak-hak Anda yang diakui di negara impian itu?

Kalau dihitung-hitung, yang ada kewajiban semua. Jadi harus membayar infak lah, merekrut orang lah. Setiap bulan, saya harus merekrut orang, dan selama seminggu, diusahakan dapat sebelas orang. Saya sampai turun ke Terminal Pulo Gadung untuk mencari orang yang bisa ditarik ke NII. Untuk beberapa orang, saya berhasil. Ada sopir Metromini, beberapa mahasiswa, dan sebagian pelajar yang sampai dicari-cari kepala sekolahnya, yang berhasil saya rekrut. Pokoknya militansi saya luar biasa.

Saya berpikir, kalau ingin bikin revolusi, memang harus begitulah caranya. Saya bekerja hampir tanpa pamrih. Tidak ada hak sama sekali, kecuali kepuasan hati. Itu justru dianggap kepahlawanan dan pengabdian kita terhadap negara yang kita impikan. Dan memang banyak sekali iming-imingnya. Misalnya, kalau NII sudah futuh atau menang dan RI kalah, maka kamu akan mendapatkan surga sebagaimana yang digambarkan Alquran. Waktu itu, saya berpikir “boleh juga, ini!” Makanya saya bisa bertahan sampai lima tahun.

Kapan Anda berpikir itu hanya ilusi lalu banting setir ke persoalan lain?

Saya banting setir ketika mulai melihat adanya ideologi yang fasistik di situ. Manusia benar-benar tidak dilihat keberadaannya. Jadi apapun yang dikatakan pimpinan kita, kita harus sepenuhnya nurut. Disuruh membunuh orang, kalau perlu, ya bunuh orang. Mencuri, kalau perlu, ya mencuri. Saya akhirnya sempat mencuri untuk membayar infak. Itu fakta, bukan omong-kosong. Yang tidak fair dari gerakan ini: kita selalu dikasih mimpi terus, sama seperti sinetron Hidayah.

Sejak kapan Anda merasa ada yang tidak beres dalam utopia Anda itu?

Pada tahun keempat dalam gerakan. Tahun kelima saya keluar. Itu terjadi saat masih kuliah dan menjelang skripsi. Skripsi saya betul-betul belang-blentong. Tapi setelah pelan-pelan keluar, akhirnya beres juga skripsi itu. Sejak itu saya langsung melakukan titik balik. Saya pergi dan tak peduli lagi dengan banyak orang yang mencari. Saya mulai masuk teater Taman Ismail Marzuki. Dan justru di situlah saya merasakan diri saya sebenarnya.

Saya merasakan dunia lebih ramah. Saya sudah masuk di fase sebelumnya yang terisolasi. Makanya, saat masuk fase keterbukaan, keragaman, kok saya justru diterima dan merasa jadi diri sendiri. Akhirnya saya mengekspresikan perasaan itu lewat seni dan teater. Saya sempat ngamen di jalan, nyanyi-nyanyi, dan lain sebagainya. Di situ saya merasakan kehidupan yang sebenarnya.

Ketika memutuskan keluar dari NII, Anda tak takut akan disanksi?

Nggak sama sekali. Semua adalah ilusi. Saya tak pernah mendapat teror. Sampai sekarang, saya kira gerakan ini masih ada, tapi under ground. Karena sebagai perempuan, keanggotaan saya hanya sampai level umat. Hanya laki-laki yang bisa jadi pemimpin. Karena itu, informasi tentang sistem NII sangat tertutup bagi saya. Saya agak kaget dengan temuan-temuan intelijen tentang kasus terorisme saat ini karena mereka juga memakai sistem sel seperti NII.

Jadi, selama ini saya tak bisa masuk ke dalam. Dan begitu keluar, saya tidak lagi bisa menemui mereka dan mereka pun seperti raib entah kemana. Memang sempat juga kami digrebek polisi ketika bikin rekrutmen di base camp Bekasi. Polisi sebenarnya tahu itu, tapi kucing-kucingan saja.

Ada berapa lapis dalam sistem sel kelompok seperti itu?

Mereka ada tujuh lapis. Istilah ini merujuk ke surah al-Baqarah tentang tujuh lapis langit. Jadi, ada lapisan Musa, Ibrahim, sampai Adam. Nah, kita yang umat hanya boleh tahu sampai level Musa. Kalau kita nanya soal level di atasnya, kita akan dibilang kayak Ibrahim yang ingin melihat matahari tapi justru silau. ”Kamu harus melihat ke bumi, jangan ke matahari, kalau tidak mau silau!” kata mereka. Perumpamaan-perumpamaan seperti itu, saya pikir kok bagus banget waktu itu.

Tapi saya tak tahu perkembangan yang sekarang. Laki-laki yang pangkatnya sampai level Ibrahim atau Hud, mungkin bisa lebih banyak tahu. Tapi biasanya, mereka cenderung trauma karena sudah terjebak di dalam sistem. Saya pikir, abang saya pernah jadi anggota pada level itu dan mengalami latihan-latihan militer. Karena itu, abang saya ingin keluar, tapi takut diteror. Untungnya dia tidak sampai diteror. Sekarang, dia seperti mengalami trauma. Nah, hal-hal seperti itu tak pernah diinformasikan kepada kita yang di level umat.

Apakah orangtua ikut mengamati perubahan-perubahan Anda?

Jelas. Waktu saya masuk rohis, saya sudah diamati, terutama soal pakaian. Pernah juga saya ditegur teman, ”Kok jilbabnya makin panjang?!” Saya mengamuk: ”Emangnya apa urusan Anda?!” Banyak sekali waktu itu kejadian yang membuat saya cepat marah. Disenggol dikit langsung marah. Waktu itu, saya memang sangat emosional. Tapi pelan-pelan, ketika masuk ke fase baru, perkembang emosi dan pikiran saya langsung melejit. Kreativitas makin tumbuh.

Sampailah ketika saya masuk Program Pascasarjana Kajian Wanita Universitas Indonesia. Di situ saya makin menemukan jati diri saya sebenarnya. Saya tak lagi menyandarkan diri pada sistem, perintah, atau pimpinan. Saya lebih bersandar pada diri sendiri. Saya kemudian menemukan teori yang cocok untuk diri saya sendiri.

Akhirnya, saya masuk Jurnal Perempuan dan di situ bisa melihat banyak orang dari atas. Rupanya, banyak juga orang yang punya sejarah hidup seperti saya. Banyak ilusinya; banyak utopia yang sama sekali tidak riil. Tapi saya tidak menyesali pengalaman itu, karena itu merupakan bagian dari perjalanan hidup saya. Saya jadi tahu banyak.

Apa pengaruh Kajian Wanita bagi Anda?

Sebelum di Kajian Wanita, saya seperti manusia yang buta. Begitu masuk di sana, tanpa harus diperintah untuk belajar ini-itu, teori ini-itu, saya cepat dapat menangkap persoalan dan menemukan solusi dan kesimpulannya. Nggak tahu, pokoknya Kajian Wanita memberikan saya alat-alat produksi sosial untuk bisa menghadapi kehidupan sebagai perempuan. Ternyata, saya sendiri yang harus berpikir. Ternyata, ada masyarakat yang diciptakan oleh posisi sosial tertentu. Pokoknya saya berpikir tidak hitam-putih lagi, lebih ingin mengejar ke akar-akar persoalan.

Adakah buku-buku yang ikut mempengaruhi perkembangan Anda?

Saya cenderung bisa seperti jet, keluar dari NII, ketika diberi novel oleh kakak saya. Novel itu dikarang oleh penulis Timur Tengah, yaitu Nawal El Saadawi. Kelompok-kelompok seperti NII itu kan suka terjebak simbol Islam. Kebetulan namanya Nawal Arab gitu. Wah ini dikira Islam; ditulis perempuan yang saleh. Makanya saya baca. Padahal isinya sangat memberontak.

Waktu itu saya tak tahu kalau novel Nawal mengandung isu feminisme. Jadi, perkenalan saya dengan isu feminisme justru tidak dimulai dari penulis Barat, tapi penulis Arab: Nawal El Saadawi dan Fatimah Mernissi. Dari situlah saya lalu menentukan pilihan kuliah S2 di Kajian Wanita. Saya masuk seperti orang yang sudah tahu isu gender karena telah membaca karya-karya itu.

Jadi karya-karya sastra itu mengubah sesuatu, ya?

Ya, sangat mengubah. Menurut saya, tulisan-tulisan Nawal mengilhami orang yang membacanya untuk bertindak revolusioner, bukan dalam konteks negara, tapi dalam konteks pribadi. Dengan membacanya, saya merasa harus berubah secara radikal. Nawal sangat to the point ketika membicarakan dirinya, menukik langsung ke kehidupan nyata, ke dalam kondisi sosial masyarakat.

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1239

 

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq