Semangat Siasah Lebih Dominan Daripada Takwa - Jaringan Islam Liberal (JIL)
Halaman Muka
Up

 

KH. Mukhlas Syarkun, MA:

Semangat Siasah Lebih Dominan Daripada Takwa

05/03/2007

Kalangan internal NU dan Muhammadiyah kini mulai meresahkan gejala perebutan masjid dan sarana-sarana organisasi mereka oleh pihak tertentu. Apakah keresahan itu beralasan dan berdasarkan fakta? Dan bagaimana dampaknya terhadap corak keagamaan masyarakat kita? Berikut perbincangan Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan KH Mukhlas Syarkun, MA (Wakil Ketua Lembaga Takmirul Masajid Indonesia atau LTMI-NU) dan Ahmad Baso (pengurus Lajnatut Ta’lif wan Nasyr atau LTN-NU), Kamis (22/2) lalu.

Kalangan internal NU dan Muhammadiyah kini mulai meresahkan gejala perebutan masjid dan sarana-sarana organisasi mereka oleh pihak tertentu. Apakah keresahan itu beralasan dan berdasarkan fakta? Dan bagaimana dampaknya terhadap corak keagamaan masyarakat kita? Berikut perbincangan Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan KH Mukhlas Syarkun, MA (Wakil Ketua Lembaga Takmirul Masajid Indonesia atau LTMI-NU) dan Ahmad Baso (pengurus Lajnatut Ta’lif wan Nasyr atau LTN-NU), Kamis (22/2) lalu.

Pak Mukhlas, beberapa media Islam beberapa waktu lalu merilis keresahan NU dan Muhammadiyah karena beberapa masjid dan sarananya sudah direbut kelompok tertentu. Apakah keprihatinan itu berdasarkan fakta?

Mukhlas Syarkun: Kekhawatiran itu berangkat dari realita. Kenyataanya, masjid yang dulu dikelola NU secara kultural, kini mulai terancam oleh pihak luar yang sengaja menggunakan masjid sebagai basis komunikasi sosial, terutama politik. Karena itu, di NU ada kekhawatiran kalau orientasi masjid yang mestinya ussisa alat taqwâ (dibangun atas landasan takwa) seperti disebutkan Alquran, berubah menjadi arah menjadi ussisa alas siyâsah (dijadikan basis perpolitikan).

Selama ini, masjid selalu diasumsikan sebagai tempat pertemuan ruang batin masyarakat, selain fungsi sebagai baitullah. Otomatis, tujuannya untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Namun belakangan, masjid cenderung ussisa alas siyasah (dijadikan lahan berpolitik). Nah, itu yang mengkhawatirkan, karena telah keluar dari format dan koridor fungsi masjid itu sendiri.

Apakah masjid NU selama ini tidak memainkan peranan politik?

Selama ini, masjid-masjid NU lebih pure dalam menjalankan fungsi-fungsi ussisa alat taqwa. Itu platform utamanya. Karena itu, dalam rekrutmen kepengurusan dan lain sebagainya, prosesnya cenderung alamiah dan tidak didasarkan pada pertimbangan kepentingan politis. Bahkan, tidak jarang banyak orang yang saling lempar kesempatan untuk jadi pengurus. ”Kamu sajalah yang jadi, kamu sajalah yang jadi...!” Tapi fenomena belakangan ini sudah berubah. Susunan kepengurusan malah jadi ajang perebutan dan target, sehingga ada upaya-upaya sengaja untuk menguasai masjid. Itulah yang tadi saya sebut gejala bergesernya orientasi ussisa alat taqwa menjadi ussisa alas siyasah. Ketika berhasil menguasai suatu masjid, kelompok ini akan mengeliminasi pengurus lama yang dianggap tak sehaluan, tak sepemikiran, dan tak seubudiyah. Tema-tema khutbah pun mulai berubah. Karena itulah muncul kekhawatiran-kekhawatiran di kalangan NU. Semangat ussisa alas siyasah itu sekarang lebih dominan daripada ussisa alat taqwa-nya.

Berapa banyak masjid di bawah LTMI-NU yang sudah berubah orientasi seperti itu?

Kita belum punya data validnya. Namun gejala-gejala ini sudah terlihat makin meluas. Sekarang sudah ada beberapa laporan soal berubah-fungsinya beberapa masjid yang dulunya kita kelola. Ada yang full, separo-separo, dan ada yang masih dalam perencanaan. Karena itu, tugas kita adalah mengembalikan fungsi masjid seperti semula; berorientasi ussisa alat taqwa. Itu saja yang ingin kita pertahankan. Selama ini, kita bukannya lengah. Masjid memang selalu jadi milik masyarakat. Jadi kalau ada yang ingin memakmurkan, ya monggo, silakan.

Bagi kita, siapa saja yang mau mengurus masjid, silakan, asal pada rel ussisa alat taqwa. Jangan dibelokkan. Nah, pembelokan-pembelokan ini rupanya punya modus operandi macam-macam. Pada awalnya, sang oknum jadi tukang sapu masjid dulu. Lama-lama, dia mulai menyodorkan nama-nama khatib. Dia lalu mulai jadi muadzin. Lama-kelamaan, tugasnya jadi lain sama sekali.

Ada juga kasus pengerahan massa dari luar ketika pemilihan Dewan Kepengurusan Masjid (DKM). Biar suaranya banyak. Padahal, pemilihan DKM sebuah masjid, lazimnya ditentukan jamaah sekitar. Tapi karena ingin merebut masjid, mereka mengerahkan massa dari luar. Karena ketidaklaziman ini, maka banyak yang sudah mengkhawatiran. Masjid yang dulu dikelola secara alamiah kok kini jadi rebutan?! Karena itu, wajar kalau Ketua Umum PBNU, Bapak KH Hasyim Muzadi mulai warning. Sebab mulai ada gejala-gejala yang tidak sehat.

Masjid di bawah LTMI-NU kadang memang dinilai kurang semarak. Karena itu direbut. Tanggapan Anda?

Faktanya, selama ini memang ada masjid-masjid yang masih dikelola kalangan tua, sehingga paradigmanya masih pemikiran tua dan tidak ikut pemikiran sekarang. Tapi sudah banyak juga yang berbenah dan mulai mengakomodasi aspirasi tua-muda. Persoalannya kan masjid tidak hanya untuk semarak-semarakan, tapi bagaimana ia tetap jadi ruang batin masyarakat. Dengan begitu, ketika ke masjid, selain bisa melaksanakan hablun minallah, hablun minannas seseorang juga jadi baik. Kalau datang dengan keresahan dan eliminasi terhadap pihak-pihak yang dulu sudah nongkrong di situ, itu tidak semarak namanya. Semaraknya sebuah masjid itu tergantung bagaimana ia meningkatkan hablun minallah dan hablun minannas.

Apa yang dilakukan LTMI-NU untuk membenahi persoalan itu?

Sekarang, LTMI merencanakan program masjid sebagai pusat peradaban dan kesejahteraan masyarakat. Sebab masjid adalah ruang yang sangat potensial kalau dimaksimalkan potensinya. Menurut catatan statistik, desa di Indonesia itu berjumlah 800-an, tapi masjidnya berjumlah 800.000-an. Kami pernah melakukan kalkulasi kemiskinan di Indonesia yang berjumlah sekitar 80 juta jiwa. Kalau masjid mau diberdayakan untuk program pengentasan kemiskinan, setiap masjid akan kebagian seribu orang miskin.

Nah, masjid-masjid ini kan sarana yang sudah ada dan tiap Jumat ada banyak orang yang berkumpul. Sebenarnya, kalau dilakukan program-program yang positif, itu akan sangat membantu. Bagi kita, silakan masjid digunakan sebaik-baiknya untuk kebajikan. Namun harus berfondasikan takwa, bukan siyasah. Fondasi takwa akan menelurkan program-program yang positif. Itulah yang sedang diupayakan LTMI. Sekarang kita sedang mengembangkan pendidikan berbasis masjid lewat kerjasama dengan Diknas, terutama di daerah terpencil.

Itulah yang pernah diteladankan Rasulullah. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau segera mendirikan masjid, lalu pasar. Masjid berfungsi untuk mengokohkan hubungan dengan Allah dan silaturrahmi antara Muhajirin dan Anshar. Dari situlah lahir kekuatan ukhuwah, toleransi, dan keragaman, sehingga melahirkan Madinah baru. Kita berharap masjid juga bisa menjadi kekuatan seperti yang pernah dicontohkan Rasulullah, tentu dengan konteks dan dinamika yang berubah dan berbeda. Tapi semangat dan rohnya tidak boleh berubah.

Bung Baso, apa makna strategis masjid dalam konteks sosial-politik Indonesia mutakhir sehingga diperebutkan?

Ahmad Baso: Sebetulnya dari dulunya masjid merupakan benteng pertahanan umat Islam terhadap derasnya proses perubahan-perubahan di luar. Secara kultural, masjid juga terikat dengan masyarakat sebagai lembaga pendidikan, madrasah, pesantren, dan juga pasar. Namun kini, masjid beralih-fungsi sebagai benteng pertahanan kelompok tertentu untuk menjaga identitas kelompoknya. Dan itu muncul beriringan dengan menguatnya kelompok-kelompok Wahabi dan puritan Timur Tengah. Salah satu agenda mereka adalah bagaimana menguasai masjid, madrasah, atau sekolah agama. Dan masjid yang mereka danai selama ini adalah tempat strategis untuk menyuburkan ajaran-ajaran mereka.

Kita tahu, di tahun 1980-an banyak sekali aliran dana dari Arab Saudi untuk pembangunan masjid di Indonesia. Alasan pertama adalah untuk syiar. Tapi setelah masjid dibangun, mereka mulai menginginkan orang-orang mereka untuk masuk kepengurusan, atau minimal memasukkan ajarannya untuk didakwahkan kepada jamaah. Belakangan, masjid juga menjadi tempat kaderisasi kelompok-kelompok militan Islam. Bahkan beberapa masjid di negara-negara Barat yang dulu dibangun bersama-sama oleh para imigran dari berbagai ragam etnis dan ras, kini menjadi basis baru bagi kelompok militan.

Apa implikasi perebutan ruang masjid itu?

Masjid akhirnya terlepas dari dinamika masyarakat di sekitarnya. Apalagi kalau yang merebut masjid sudah tinggal di dalam masjid tersebut. Dulu, gejala yang meresahkan orang adalah munculnya kelompok Jamaah Tabligh yang terkadang datang merebut masjid dan tinggal di situ. Karena meresahkan masyarakat, cara-cara itu lalu mereka tinggalkan. Mereka bukan lagi merebut masjid dengan cara tinggal di situ, tapi dengan cara merebut kepengurusannya. Setelah itu barulah mereka membangun pengaruh kepada masyarakat sekitarnya.

Dengan begitu, mereka tidak diganggu lagi dan ternyata hasilnya lebih efektif. Dengan aliran duit Timur Tengah, mereka bisa mengembangkan jaringan dan mensyiarkan majid. Misalnya dengan menyediakan Alquran dan bacaan-bacaan Islam. Dulunya, banyak masjid yang tidak punya bacaan-bacaan agama. Nah, mereka juga mensuplai bacaan-bacaan itu.

Adakah yang dirugikan dari proses infiltrasi semacama itu?

Yang jelas, masyarakat banyak yang dirugikan. Terutama komunitas keagamaan seperti NU dan Muhamadiyah yang selama ini sudah mengelola masjid. Secara kultural, praktek keagamaan masyarakat dalam bentuk zikir dan tahlil, ketika direbut kelompok itu, mulai ditinggalkan. Masyarakat kecewa dengan perubahan tersebut. Ada juga kerugian pada aspek materil.

Biasanya, sebuah masjid dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Bahkan di beberapa daerah seperti Cirebon dan Makasar, masjid yang megah dibangun secara maksimal oleh masyarakat melalui bantuan dan swadaya. Tapi sayang, dengan mudah kelompok tertentu datang untuk merebut dan dengan sepele menyatakan bahwa ini masjidnya umat Islam, bukan masjid kelompok tertentu. Ketika mereka berhasil merebutnya, secara ekslusif mereka mengklaim kepemilikan dan tidak lagi mewadahi komunitas yang selama ini mentakmirkan masjid tersebut. Mereka menguasai masjid itu sesuai dengan faham mereka. Akhirnya masyarakat juga dirugikan secara material.

Apakah peranan masjid masih cukup vital dalam kontestasi politik di Indonesia saat ini?

O, masih sangat penting. NU itu dari dulu adalah bagian dari bangsa ini. Dan peranannya makin kuat karena masih mengandalkan basis kultural yang ada selama ini, yaitu masjid, surau, dan pesantren. Tapi sekarang, banyak generasi muda NU yang meninggalkan masjid untuk masuk ke dalam gerakan-gerakan demokrasi yang bicara di café-café dan hotel-hotel. Akibatnya, masjid terbengkalai. Padahal, masjid merupakan eleman vital untuk membangun pergerakan bangsa ini. Kalau semuanya berantakan, bangsa ini akan kehilangan jatidiri dan ruhnya.

NU kini sudah mulai konsen dengan isu itu. Karena ternyata, masjid yang mulai ditinggalkan NU ikut juga merugikan bangsa ini. Buktinya, banyak kasus-kasus kekerasan dan terorisme belakangan ini. Itu jelas-jelas merugikan bangsa kita. Bangsa kita diseret ke dalam pertarungan yang sebetulnya bukan milik mereka, seperti konflik agama. Terkadang, itu muncul dari masjid-masjid politis yang yang ikut memanas-manasi situasi itu. Dan yang runyam adalah ketika ada orang luar yang datang dan merebut masjid, lalu memanas-manasi masyarakat untuk melakukan jihad dan seterusnya. Jadi jelaslah kalau pertaruhannya sangat besar ketika masjid sudah direbut oleh orang-orang yang tidak tahu kondisi masyarakat sekitarnya.

Adakah langkah-langkah yang disiapkan PBNU untuk mengantisipasi makin meluasnya politik perebutan masjid ini? Sebenarnya sudah ada pembagian tugas untuk itu. LTN-NU selama ini bertugas menyediakan strategi dan materinya. Misalnya lewat pendekatan kiai-kiai. Masjid-masjid itu kan masih banyak yang mengandalkan peranan ketokohan kiai. Masyarakat juga masih mengharapkan beberapa kiai untuk berceramah. Nah, itulah yang kita manfaatkan; agar kiai NU juga tahu bahwa ada masjid NU yang direbut oleh kelompok luar.

Kedua, lewat distribusi bahan-bahan atau materi dakwah seperti buletin Jumat. Kita sudah melakukan itu. Selama ini sudah ada 50 masjid sekitar Jakarta yang kita masuki. Dan sekarang perkembangannya makin bagus. Masyarakat makin tahu bahwa alternatif Islam yang dibawa kelompok-kelompok semacam itu lebih banyak meresahkan daripada mengajak kedamaian. Dan itulah yang kita manfaatkan. []

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1216

 

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq