Prof. Dr. Azyumardi Azra: Ada yang Mengambil Alih Fungsi Tuhan
Oleh Redaksi
Dia tidak bisa mengklaim kebenaran adalah miliknya sendiri, apalagi memaksakan kebenaran menurut versinya itu kepada orang lain. Nah, gejala yang kita lihat belakangan ini, tepatnya empat tahun setelah kran demokrasi mulai terbuka di Indonesia, ada orang-orang yang mengklaim dan mengambil alih fungsi Tuhan.
Selayaknya dalam suasana masih merayakan Idul Fitri, dan kemudian akan merayakan Natal dan Tahun Baru, kita jadikan hari-hari itu sebagai momentum “memaafkan” dan rekonsiliasi sembari menggali perjanjian primordial manusia yang fitri.
Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, sesudah merayakan Idul Fitri ini, orang Islam diharapkan kembali menemukan apa yang disebut dengan primordial nature, sifat azali. Yaitu sifat orang yang selalu mencari kebenaran, dan dengan kebenaran itu ia senantiasa mencoba menerapkannya dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas.
Demikian nukilan wawancara antara Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu dengan Rektor UIN Syarif Hidayatullah ini. Wawancara berlangsung tanggal 12 Desember 2002. Berikut petikan lengkapnya:
Pak Azyumardi, dapatkah Anda mengaitkan antara “kembali kepada fitrah” dan saling memaafkan dengan rekonsiliasi dalam suasana Idul Fitri dan Natal saat ini?
Saya kira, pemaafan, rekonsiliasi atau islah memang sangat relevan kita bicarakan. Bukan semata karena kita dalam suasana Idul Fitri, tapi juga karena adanya perkembangan positif belakangan ini. Perkembangan itu menyangkut penandatanganan kesepakatan perdamaian di Aceh, terutama penghentian hostility atau saling bermusuhan antara GAM dan TNI. Oleh karena itu, dua peristiwa ini, yakni Idul Fitri dan penghentian kekerasan atau permusuhan, dapat dijadikan momentum guna melanjutkan proses perdamaian dan rekonsiliasi. Ini gambaran umum.
Dalam konteks Idul Fitri, secara harfiah, jelas sekali maknanya, yaitu “kembali ke fitrah atau kesucian.” Dengan Idul Fitri, orang Islam diharapkan kembali menemukan apa yang disebut dengan primordial nature, sifat azali. Yang dimaksud di sini adalah sifat hanif: yaitu sifat orang yang selalu mencari kebenaran, dan dengan kebenaran itu ia senantiasa mencoba menerapkannya dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas. Begitu kalau kita telaah pengertian Idul Fitri.
Akan tetapi, tak kurang pentingnya, adalah simbolisme ritual yang dilakukan dalam rangkaian Idul Fitri itu sendiri. Misalnya bacaan takbir, tahlil, tahmid dan lain-lain yang membesarkan Allah. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa kebesaran dan kemahaperkasaan, hanya milik Allah semata. Tak seorang manusia pun yang bisa mengklaim bahwa dialah yang paling benar, perkasa dan bisa memaksa orang dengan cara-cara kekerasan -misalnya-- agar mengikuti kemauan dan pandangan mereka.
Ironisnya, kalimat takbir sebagai relativisasi manusia cenderung dilupakan sebagian orang. Bagaimana tanggapan Anda?
Itulah yang dilupakan sebagian orang sehingga bacaan takbîr, tahlîl dan tahmîd itu seolah-olah hanya formalitas saja, tanpa penghayatan memadai. Kalau orang betul-betul menghayati bacaan takbirnya, maka ia akan merasakan bahwa sesungguhnya dirinya sangat kecil dan relatif. Dia tidak bisa mengklaim kebenaran adalah miliknya sendiri, apalagi memaksakan kebenaran menurut versinya itu kepada orang lain. Nah, gejala yang kita lihat belakangan ini, tepatnya empat tahun setelah kran demokrasi mulai terbuka di
Indonesia, ada orang-orang yang mengklaim dan mengambil alih fungsi Tuhan.
Dengan kata lain, sebagian orang telah memakai “baju” Tuhan?
Ya, begitu memang dalam prakteknya. Inilah yang harus dihayati kaum muslimin secara keseluruhan. Hal yang penting juga dalam konteks perdamaian dan rekonsiliasi, tentu saja, acara maaf-maafan. Ini penting, karena memang ritual Idul Fitri juga melibatkan kesediaan untuk saling memaafkan.
Bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang diri manusia berkaitan dengan fitrahnya sendiri?
Menurut perspektif Islam, manusia pada dasarnya suci atau fitrah, karena berasal dari zat dan hakekat Yang Mahasuci, yaitu Allah. Karena Allah begitu Maha Pengasih pada manusia, maka sebagian sifat-Nya diberikan kepada manusia. Sifat ketuhanan ini dalam bahasa Arab disebut dengan istilah lâhût, unsur ketuhanan, unsur ilahiyah. Unsur itu mewujud pada manusia dalam sifat pengasih dan penyayang yang ada pada manusia. Namun demikian, tentu saja kadarnya tidak sebanding dengan kadar kemahapengasihan dan kemahapenyayangan yang dimiliki Allah. Akan tetapi, unsur lâhût seperti itu tetap ada pada diri manusia.
Dengan demikian, ada spirit ketuhanan yang ditiupkan pada diri manusia?
Ya. Akan tetapi, manusia juga makhluk yang unik. Selain mempunyai unsur lâhût, manusia juga mempunyai unsur nâsût, unsur kemanusiaan. Misalnya, hawa nafsu yang menimbulkan sifat angkara murka, kerakusan dan mau menang sendiri. Ini adalah sifat-sifat yang dikandung dalam unsur nâsût atau unsur kemanusiaan.
Tugas manusia, adalah bagaimana menyeimbangkan antara unsur lâhût dan unsur nâsût itu tadi. Kita tahu, para sufi selalu saja menekankan pengembangan sifat lâhût ini. Sebab apa? Karena, dengan demikian, manusia bisa mencapai kesuciannya dan manusia bisa berkomunikasi dengan Allah.
Adakah konsep evolusi manusia yang berpotensi untuk melakukan rekonsiliasi?
Sebenarnya dalam pandangan Islam, konsep kemanusiaan juga berevolusi, berkembang dan mengalami progres secara kreatif. Dalam kreatifitas itu pula, manusia diharapkan dapat menemukan jati dirinya. Itulah yang dalam penjelasan kita tadi disebut fitrah. Nah, karena itu, dalam pandangan Islam, setiap muslim dianjurkan untuk selalu mengevaluasi atau bermuhasabah terhadap dirinya dan minta diberi petunjuk terus-menerus pada jalan yang lurus. Dalam shalat, kita senantiasa meminta bimbingan ke jalan yang lurus: ihdinâ al-shirâth al-mustaqîm. Itu sebenarnya mengingatkan umat Islam supaya tetap berada pada jalan yang lurus. Dalam konteks itulah konsep evolusi kreatif itu bisa kita pahami.
Terkait dengan pengambilalihan fungsi Tuhan, bagaimana kita menyikapi sekelompok orang yang gampang melemparkan tudingan kafir kepada orang lain?
Dalam anjuran Islam, sebaiknya kita tidak melakukan penilaian-penilaian terhadap orang dan menganggap kita sendiri yang paling benar. Itu adalah hak prerogratif Tuhan dan berlawanan dengan semangat Idul Fitri. Kita juga mesti mengingat apa yang Rasulullah ajarkan tentang sikap lemah lembut dan al-tasâmuh atau toleran dalam menyikapi pendapat. Hal inilah yang mesti kita diteladani dari para ulama terdahulu.
Yang aneh, ada ribuan hadits yang dituturkan Nabi. Tapi mengapa hanya mengutip satu-dua hadits yang menunjang intoleransi?
Ya, sikap tersebut terkait dengan adanya pemahaman dan penafsiran yang cenderung sangat literal dan cepat mengafirkan orang lain. Hal itu bisa merangsang kekerasan. Mengapa? Karena orang-orang yang mengklaim dan menuduh orang Islam lain kafir itu gampang memaksakan kemauannya melakukan jihad menurut versinya sendiri terhadap orang Islam yang lain. Padahal, kita tahu, jihad tidak bisa dilakukan secara partikelir karena ia menjadi kewenangan “negara.”
Budaya kekerasan memang dapat ditimbulkan dengan pemahaman yang literal dan sepotong-sepotong melalui pencatutan satu buah hadits atau satu ayat tertentu. Jadi tidak melihat secara kaffah atau menyeluruh esensi dan semangat ajaran itu. Inilah yang menimbulkan orang-orang yang mudah mengafirkan, menistakan dan memerangi orang lain. Yang demikian itu sesungguhnya tidak dianjurkan oleh Islam. Semua agama mengecam perilaku itu. Lagi pula, Islam itu sendiri maknanya ‘kan “damai.” Islâm satu akar kata dengan salâm yang bermakna kedamaian, ketentraman.
Kalau begitu, Islam radikal bermakna contradictio interminus?
Ya, contradictio interminus. Akan tetapi, kekerasan tentu tidak hanya disebabkan pemahaman literal saja. Situasi sosial politik juga berpengaruh. Ketidakadilan politik-ekonomi juga salah satu sebab kekerasan. Hanya saja, bagi orang Islam yang betul-betul memahami ajaran Islam, ketidakadilan ekonomi atau politik, apapun alasannya, tidak bisa dijadikan pembenaran untuk melakukan tindakan kekerasan. Karena kita tertindas dari sisi politik dan ekonomi, lebih baik kita perang saja, misalnya. Jangan sampai kita menolerir kekerasan sekecil apapun dengan dalih atas nama agama.
Dalam prinsip Islam, pekerjaan mengubah ketidakadilan ekonomi dan politik harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip dakwah itu sendiri. Dengan bi al-hikmah (kebijaksanan), mauidhoh hasanah dan kemudian dengan dakwah bi al-hal atau aksi-aksi yang kongkret. Jadi tidak dakwah bi al-lisan saja.
Dalam artian, taghyir (perubahan) itu bisa juga melalui bi al-dakwah. Dakwah itu bisa dakwah dengan lisan, dengan bi al-hal, bukan taghyir dengan kekerasan. Sebab, perubahan dengan kekerasan, sebagaimana banyak diingatkan ulama, akan menimbulkan kekacauan. Kalau timbul kekacauan, para ahli dan ulama fikih siyasah (fikih politik) mengatakan justru akan banyak mendatangkan mudarat bagi umat Islam itu sendiri.
Intinya, kita merindukan unsur kasih sayang dalam ajaran Islam yang banyak dilupakan orang?
Ya…Itulah yang banyak dilupakan orang. Sesungguhnya, Islam itu agama kasih. Bukan hanya itu, ketika kita menyebut nama Allah, selalu saja disertai dengan kata rahman (penyayang) dan rahim (pengasih). Hanya saja, terkadang memang ada kalangan umat Islam yang menekankan hal-hal yang lebih keras bahwa Allah akan menghukum orang dan sejenisnya. Sementara itu, hal-hal yang bersifat kasih sayang kurang ditekankan.
Terakhir, bagaimana Anda melihat perayaan Idul Fitri yang berdekatan dengan Natal? Ini terutama dikaitkan dengan mengucapkan selamat hari raya kepada penganut agama lain?
Sepengetahuan saya, tidak ada larangan eksplisit dalam Alquran untuk mengucapkan selamat (hari raya) kepada umat lain. Saya kira, kita boleh saja mengucapkan selamat Natal, misalnya, kepada saudara-saudara kita yang beragama Kristen.
Tapi kan pernah ada fatwa dari MUI yang mengharamkan ucapan Natal itu?
Kalau tidak salah, apa yang saya baca dari fatwa MUI itu lebih merupakan penafsiran belaka. Artinya, mereka mengutip sejumlah ayat Alquran dan hadits yang tidak secara eksplisit melarang itu. Saya kira, tidak ada Alquran maupun hadits yang menyebut: “Jangan berkirim kartu ucapan selamat Natal!,” misalnya.
Itu semua tergantung niat. Kalau kita mengucapkan selamat Natal, sebenarnya itu terletak dalam konteks interaksi sosial saja, bukan dalam konteks percaya atau tidak percaya dengan keyakinan agama lain. Itu bagian dari mu’âmalah atau interaksi sosial. Kita juga melihat di Timur Tengah, mengucapkan selamat Natal merupakan hal yang lazim dan tidak menjadi masalah. Meskipun, harus diakui, di kalangan ulama juga ada persoalan-persoalan khilafiyah tentang hal itu.
Saya kira, fatwa MUI yang pernah juga dikemukakan Buya Hamka, juga perlu dicek lagi. Apa betul, yang dimaksud Buya Hamka seperti itu? Setahu saya, hal yang ditekankan dalam fatwa itu adalah larangan agar orang Islam jangan hadir dalam Natalan bersama. Artinya, dalam masalah-masalah yang bersifat ritual. Adapun tukar-menukar kartu selamat atau memberi kue, tidak jadi masalah. Pada waktu Lebaran, teman-teman yang non-Islam ‘kan juga mengucapkan selamat Idul Fitri dan lain-lain. Jadi yang harus kita pahami adalah membedakan mana yang bersifat ibadah dan mana yang merupakan muamalah, hubungan antar manusia atau hablun min al-nâs. Dalam kaitan ini, tidak ada halangan dan itu bukan persoalan yang prinsipil dalam kehidupan antarmanusia. []
Komentar
prof. asyumardi azra, anda pernah tidak berdiskusi langsung kepada para ulama yang mengharamkan mengucapkan selamat kepada mereka yg beragama diluar islam..
pada suatu khotbah jumat saya mendengar bahwa haram mengucapkan selamat natal, mengucapkan natal secara tidak langsung telah mengakui lahirnya anak tuhan. atau dengan kata lain kita secara tidak langsung mengakui keyakinan nasrani bahwa nabi isa itu anak tuhan.
fatwa ulama didukung dengan al-quran dan hadist, dan bagi orang awam seperti saya sangatlah membantu dengan fatwa tersebut jangan sampai karena ketidak tahuan saya ini dapat merusak akidah saya.
bila dibandingkan dengan pendapat anda yang hanya mengandalkan nalar semata membuat saya jadi bingung mengapa anda berpendapat seperti itu. hubungan sesama manusia telah diatur oleh agama, untuk sekedar berbagi kue atau tolong menolong dalam bertetangga/sosial itu dibolehkan dan tidak ada fatwa ttg larangan tolong menolong atau membagi kue...dst
alquran tidak mengatakan dgn jelas ttg larangan mengucapkan selamat natal, bagaimana dgn narkoba, seperti putaw, heroin, ganja yang tdk disebutkan secara jelas di dalam alquran apakah pendapat anda juga tidak mengharamkannya? begitu juga dengan sholat di dalam alquran tidak disebutkan secara jelas bagaimana tata cara melakukan sholat, lalu bagaimana tata cara anda sholat?
yang saya tangkap dari pendapat anda adalah bahwa anda hanya mengandalkan nalar semata tanpa didukung oleh dalil atau referensi yang jelas atas pengetahuan yang benar dalam memahami agama yang mulia ini.
fatawa ulama ttg haram mengucapkan natal merupakan hasil pemikiran yang di dukung oleh pengetahuan mereka dalam memahami isi kandungan alquran dan hadist, saya jadi binugngun lagi ttg judul anda diatas “ada yg mengambil fungsi tuhan” apakah ijma ulama tadi anda mau katakan ambil alih fungsi tuhan???
anda tampak bermain dengan pemikiran yang aneh, karena ijma ulama dilandaskan pemahaman mereka ttg alquran dan hadist. dan sebagai manusia biasa ulama juga bisa keliru dalam memahami sesuatu dan ini manusiawi, karena itu terkadang ulama juga suka berbeda pendapat.. dan ini sangat wajar sepanjang perbedaan pendapat masing2 didukung oleh pemahaman yang baik dan benar atas alquran dan hadist.
perbedaan ijma/pendapat dikalangan ulama diperbolehkan, yang saya tahu bila ulama keliru dalam fatwanya mendapat 1 kebaikan apabila benar mendapat 2 kebaikan. karena ulamalah yang berhak mengeluarkan ijma/fatwa.
-----
Komentar Masuk (1)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)