Diskusi Bulanan JIL Adakah liberalisme Islam di Indonesia?
Oleh Umdah El-Baroroh
Meski ada asumsi bahwa liberalisme Islam sebagai penunjuk kecenderungan intelektualisme dan humanisme dalam pemikiran Islam, tetapi mencari akar liberalisme dalam Islam masih dirasa sulit oleh Yudi. Karena menurutnya sebuah ide memiliki dunia dan sejarahnya sendiri.
“Wacana liberalisme di Indonesia, telah masuk sejak abad 19 melalui tiga haji.” Demikian ungkap Lutfi Asysyaukani, aktivis Jaringan Islam Liberal yang baru meraih Ph.D dari University of Melbourne pertengahan bulan Januari lalu dalam diskusi bulanan JIL 27 Januari 2006. Tiga haji dimaksud adalah Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Abdul Rahman asal Piabang, dan Haji Muhammad Arif asal Sumanik. Mereka adalah pemuda asal tanah Minang yang belajar di Timur Tengah.
Diceritakan oleh Luthfi, bahwa sepulangnya dari Mekah, tiga haji ini banyak membawa gagasan Wahabi yang kala itu sangat berpengaruh di Mekah. Haji Miskin, misalnya, dengan penuh semangat mencoba memengaruhi para ulama terkemuka di daerah Pandai Sikat dan mengajak mereka untuk mengoreksi berbagai praktek budaya lokal yang memengaruhi agama. Ia tak segan-segan menolak perjudian, sabung ayam, ziarah kubur, tahlilan, dan sebagainya yang dinilai bukan ajaran Islam. Gagasan yang ditawarkan adalah memurnikan kembali ajaran Islam dengan kembali pada Alquran dan Hadis.
Meski mendapatkan perlawanan dari kaum adat, gerakan pembaruan yang dibawa oleh alumni Mekah ini berpengaruh luas di kalangan anak-anak muda. Inilah sebabnya pada paruh kedua abad 19, Akhmad Khatib, putra salah seorang Padri, mengikuti jejak tiga haji di atas untuk melanjutkan pendidikannya ke Mekah. Syaikh yang berasal dari Minangkabau ini kelak juga menjadi guru dari anak-anak muda Indonesia yang belajar ke Mekah. Ia menjadi seorang syaikh yang sangat disegani. “Bahkan di Mekah ia juga diangkat menjadi imam Masjidil Haram dan menjadi salah satu pengajar yang sanga berwibawa”, imbuh Luthfi.
Meski tidak secara langsung menggunakan istilah liberalisme, gagasan ketiga haji itu sudah mulai mengarah pada gagasan pembaharuan. Mereka secara berani memertanyakan doktrin dan penafsiran agama yang telah mapan. Ke depan, gerakan meraka itu diteruskan oleh generasi-generasi selanjutnya, seperti syaikh Akhmad Khatib dan murid-muridnya. Sepulang dari Mekah, mereka mulai mengenalkan sistem pendidikan klasikal. Sebuah sistem pendidikan modern yang saat itu diterapkan kaum penjajah dan masih sangat tabu bagi para ulama.
“Menjelang abad ke-20, lembaga-lembaga pendidikan Islam formal mulai bermunculan. Di Padang, misalnya, terdapat Madrasah Adabiyah. Sementara di Minangkabau berdiri madrasah Thawalib. Madrasah-madrasah itu awalnya adalah surau atau pesantren tradisional. Semenjak kehadiran para pembaharu itu, tempat-tempat tersebut diubah menjadi lembaga pendidikan modern. Selain mengembangkan pendidikan, kaum muda ini juga mulai menyebarkan ide-idenya lewat tulisan dan diterbitkan dalam bentuk jurnal. Al Imam dan Al Munir adalah jurnal ternama yang pada masa itu ramai dengan tulisan-tulisan tentang pembaharuan Islam. Artikel-artikel Muhamad Abduh, sebagai seorang inspirator gerakan modernisme, acapkali juga diterbitkan dalam jurnal-jurnal tersebut.
Meski gagasan “liberalisme” dan pembahauran ini sudah ada sejak abad 19, namun wacana ini masih tetap menuai perdebatan. Apalagi jika dikaitkan dengan Islam. Betulkah Islam mengenal liberalisme? Atau mengapa harus mencari akar liberalisme dalam Islam? Demikian pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka dalam diskusi yang berlangsung di ruang Teater Utan Kayu itu. Diskusi yang mengambil tema “Akar-Akar Liberalisme Islam di Indonesia” ini juga dijadikan momen untuk menyambut kembalinya Luthfi Asysyaukanie, salah seorang pendiri Jaringan Islam Liberal, dari studinya di University of Melbourne, Australia.
Gerakan liberalisme yang berkembang di Eropa rupanya tak bisa dibendung. Cepat atau lambat gerakan ini telah merasuk ke seluruh penjuru dunia. Platformnya untuk membebaskan individu dan menjunjung tinggi hak asasi manusia semakin menjanjikan kehidupan manusia yang lebih setara. Gerakan yang mulanya berada di tataran politik ini juga telah menginspirasi para agamawan dan rohaniwan untuk menafsirkan ulang teks-teks agama, termasuk Islam.
“Meski demikian gerakan ini pada dasarnya adalah antitesis terhadap agama”, tegas Yudi Latif, deputi rektor Universitas Paramadina yang menjadi salah satu pembicara malam itu. Karena paham ini awalnya dipicu oleh pengaruh agama yang begitu kuat terhadap kehidupan manusia. Agama seakan berwenang mengatur seluruh kehidupan manusia, baik dalam kehidupan privat maupun publik. “Liberalisme ingin membendung arus itu”, papar doktor dari Australian National University itu lebih lanjut. “Gagasan ini, sebagaimana ia kutip dari John Locke, ingin mengurangi ambisi agama dalam mengontrol kehidupan di wilayah publik. Sebaliknya perbincangan ruang publik yang melibatkan banyak pihak haruslah ditentukan berdasarkan konsensus bersama dari masyarakat yang terlibat di dalamnya, bukan melulu otoritas agama”, tegasnya. Gerakan ini disadari oleh Yudi, memang menjadi anomali bagi sebagian masyarakat. “Apalagi jika dihubungkan dengan Barat”, imbuhnya.
“Dalam Islam istilah liberalisme ini menjadi karakterisasi terhadap gerakan kebangkitan Islam yang dimulai sejak abad 19”, jelas Luthfi. Tetapi bagi Yudi gerakan kebangkitan Islam mungkin lebih awal dari itu. Karena abad 19, menurut Yudi, paham liberalisme yang muncul dalam gerakan pembaharuan para pemuda Islam telah masuk di Indonesia. Sementara Indonesia dalam mengadopsi paham ini telah terlambat lebih kurang satu abad dari Timur Tengah. Meski demikian Indonesia dinilai oleh Yudi sebagai satu-satunya negara ‘muslim’ di mana gagasan liberalisme bisa tumbuh subur. “Ini berbeda dengan Timur Tengah dan negara-negara Islam lainnya yang tertinggal jauh dengan Indonesia dalam mengembangkan wacana pembaharuan dalam pemikiran Islam.” “Mengapa demikian? Karena Islam yang tumbuh di Indonesia adalah Islam muda”, jelas aktivis di Reform Institute ini.
Lebih lanjut Luthfi yang juga direktur Repro (Religius Reform Project) mengatakan bahwa istilah liberalisme baru dikenal pada tahun 50-an. Di Barat, sarjana pertama yang menggunakan istilah ini adalah Wilfred Cantwell Smith, seorang ahli Islam asal Kanada yang dikenal sangat simpatik. Ia menggunakan kata itu di bukunya “Islam in Modern History”. “Kata ini digunakan Smith untuk merujuk kecendrungan intelektualisme dan humanisme dalam pemikiran Islam modern”, tandasnya. “Intelektualisme dan humanisme adalah inti dari gerakan liberalisme yang berkembang di dunia Barat.”
Selain Smith, terdapat pula nama-nama lain yang menggunakan istilah liberalisme Islam atau Islam Liberal, seperti Albert Hourani dalam “Arabic Thought in the Liberal Age”, dan Asaf A. A. Fyzee yang menulis buku “A Modern Approach to Islam”. Sementara di era 80-an istilah ini kembali dimunculkan oleh Leonard Binder dalam bukunya “Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies”.
Meski ada asumsi bahwa liberalisme Islam sebagai penunjuk kecenderungan intelektualisme dan humanisme dalam pemikiran Islam, tetapi mencari akar liberalisme dalam Islam masih dirasa sulit oleh Yudi. Karena menurutnya sebuah ide memiliki dunia dan sejarahnya sendiri. “Dan ketika sebuah ide dilepas dari konteks sejarahnya, maka akan menimbulkan banyak persoalan”, paparnya. Sehingga agak sulit untuk menunjuk sebuah gerakan Islam sebagai liberal.
Ia mengambil contoh gerakan wahabi di Saudi Arabiah. “Saat ini di dunia manapun tak ada orang yang akan mengatakan bahwa wahabi adalah gerakan libeal Islam”, tegasnya. “Tetapi dalam konteks sejarahnya, Wahabi muncul sebagai semangat mengkritik tribalisme dan hilangnya pemikiran Islam oleh dominasi Otoman yang banyak mengadopsi Barat.” Pada masanya Wahabi dianggap sebagai gerakan pembaharuan dan reformis. Hal ini diamini pula oleh Luthfi. Namun bagi aktivis JIL itu, realitas tersebut bukan berarti menafikan akar liberalisme dalam Islam. Sebaliknya hal itu menunjukkan bahwa gerakan liberalisme dalam Islam itu selalu mengalami perkembangan yang pesat dan tidak stagnan. Dan bukan merupakan aib, ketika gerakan liberalisme dalam Islam justru berawal dari puritanisme. Menurutnya hal yang sama juga terjadi di Eropa. “Gerakan pembaruan atau modernisme selalu diawali dengan pergolakan-pergolakan dalam pemikiran keagamaan yang akhirnya mengantarkan pada pemikiran sekuler”, tambahnya.[]
Komentar
Saran saya hati-hati dalam menilai, hati hati dalam melihat, dan hati-hati dalam mendengar, banyak agama yang mengaku “TUHAN Tetapi ternyata SETAN”. agama bukanlah sesatu yang perlu dan wajib diperdebatkan, tetapi bukan juga sesuatu yang mesti dilupakan atau dihinakan karena semua yang “benar” pasti berasal dari pada ALLAH sedang yang salah kembali pada diri masing-masing, karena “setiap diri akan mempertanggungjawabkan apa yang telah di perbuat di dunia ini setelah dia dijadikan khlifah dimuka bumi ini”, saya sarankan kepada semua pemimpin agama “BARU” supaya tidak mengajak orang disekelilingnya untuk menjadi murtad, jadilah murtad sendiri, saya bangga saya berada dineraka karena kebodohan saya di bumi tapi saya tidak bangga berada di surga karena kepintaran orang lain. Setiap orang akan mengalami kesendirian tadi yaitu di alam kubur, setelah “Inalilahi Wa Ina Lilahi Rojiun”, Dialquran sudah banyak menjelaskan tantang itu, Jadi say nggak kaget semakin dekat dengan kehancuran dunia ini . “Salah katakan salah benar katakan benar” “ANA AL HAQ” Allah adalah kebenaran Yang salah siapa ya Allah Ya Setan?
Melihat perjalanan kelam sejarah Wahabi yang dibawakan Muhammad bin Abd Wahab dan Ibnu Saud, mereka sebenarnya menegakkan dakwah di atas darah orang-orang muslim yang tidak sepaham dengan mereka.
Saat dikatakan manhaj mereka adalah manhaj Rasulillah, maka akan heranlah kita bahwa mereka bisa mengatakan demikian di atas perbuatan kekerasan dan pembunuhan yang mereka lakukan.
Sehingga wajarlah bila banyak yang mempertanyakan keislaman mereka yang sebenarnya hanyalah semu. Yang sebenarnya terjadi adalah mereka berusaha menanamkan faham mereka ke bagian ummat lainnya atas nama Islam.
-----
Yang disampaikan oleh editor bahwa mereka hanya mengedit sumpah serapah sebenarnya sama sekali tidak benar. Yang pasti pemikiran yang terlalu anti JIL juga ngga mungkin laku di forum ini. Sudah sering saya coba dan hasilnya nihil. Ternyata JIL ngga pantas sama sekali memegang bendera liberalisme.
Kalau tulisan di atas, mempertanyakan mengenai Liberalis Islam di Indonesia, tentu jawabannya kembali kepada hakikat ajaran Islam itu sendiri, sementara Indonesia soal lain, karena itu hanya menyatakan sebuah tempat yang dimanapun belahan dunia ini ada. Justru yang harus dipertanyakan adalah apakah ada di dalam dirimu (kita) Liberalis Islam itu? Liberal itu hanya pikiran manusia yang bergerak dan berkembang, sementara ajaran Islamnya tetap kepada hakikat kesuciannya. Karena dia berasal dari Dzat yang maha suci yang Laesa Kamislihi dan tidak ada yang bisa mencampurinya apalagi manusia.
Kalau ada Islam liberal, islam jamaah, ahmadiyah atau berbagai aliran itu semua hanya pikiran manusia, pikiran yang kadangkala terbatas, jadi jangan dicampurkan dengan hakikat islam itu sendiri, semoga ini dapat menjadi kajian untuk kita semua.
Apakah saya Islam?, anda Islam?, mereka Islam ? belum tentu jawabnya, kita hanya mengaku saja, sesungguhnya tidak tahu, iyakan ?
Assalamu’alaikum, Saya berpendapat bahwa memberikan predikat apapun (termasuk “liberal") di belakang “Islam” adalah kurang tepat, karena agama Islam adalah sesuatu yang utuh dengan sosoknya sendiri. Penambahan predikat akan menyempitkannya.
Kalau yang dimakudkan adalah “muslim liberal”, mungkin masih bisa diterima karena pada kenyataannya memang ada beragam pandangan dan pemahaman muslim akan ajaran Islam.
Bagi muslim, saya berpendapat, yang paling penting adalah bukan membahas “liberal” atau “wahabi” atau apapun, melainkan bagaimana mereka saling mengingatkan pentingnya kembali ke Al-Qur’an.
Allah sudah menjamin bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang “lengkap”, “terperinci”, “tidak mengalpakan segala sesuatu”. Apakah kita sudah mengimaninya?
Kekeliruan muslim dalam menerapkan ajaran Islam sering terjadi karena kesalahan dalam menyikapi pendapat “orang pintar” yang jadi panutan (atau bisa juga terjadi “orang pintar"nya yang salah) dan meninggalkan Al-Qur’an. Seolah mereka kurang percaya dan mengatakan “[Al-Qur’an tidak] lengkap”, “[Al-Qur’an tidak] terperinci”, “[Al-Qur’an] alpa”.
Sebagai contoh, lihatlah betapa kacaunya respon muslim di seluruh dunia terhadap kasus “kartun Muhammad”. Kebanyakan mereka termakan umpan. Reaksi mereka, yang cenderung mengumbar amarah dan kekerasan, seakan menyampaikan pesan kepada sebagian besar umat manusia bahwa Islam itu antiliberalisme, antikebebasan pers, bengis. Padahal, kesan itulah yang ingin dimanipulasi oleh musuh Islam.
Sebenarnya kalau bisa tampil elegan dalam kasus tersebut, kita akan mendapat momen dakwah yang luar biasa terhadap mereka, melalui media massa mereka.
Kesalahan sikap terhadap masalah seperti itu (kasus “kartun Muhammad") seharusnya tidak terjadi kalau muslim kembali ke Al-Qur’an. Di bawah ini saya kutipkan terjemah beberapa ayat yang sesuai dengan kebutuhan menanggapi penghinaan tersebut:
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS. 3:186)
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 16:125)
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. 16:126)
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. 16:127)
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. 16:128)
Semoga tulisan ini bisa membantu membawa kita kembali ke Al-Qur’an dan tidak menghabiskan waktu dan tenaga terlalu banyak untuk memperdebatkan ideologi.
Yakinlah bahwa Al-Qur’an mampu menjawab semua masalah. Ideologi apapun (ciptaan manusia) tidak sepadan untuk disandingkan dengan Islam. Jika unsur liberalisme ada di dalam Islam, tidak otomatis Islam itu liberal. Islam seharusnya ditampilkan utuh. Ia jauh lebih tinggi kedudukannya ketimbang ideologi (ciptaan manusia).
Senang sekali kalau saudara-saudaraku berkenan mengajarkan sesuatu kepada saya.
Terimakasih.
Komentar Masuk (9)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)