Administrasi Lokal Persulit Ibadat - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
25/10/2004

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno Bicara Kasus Sang Timur dan Kebebasan Beragama: Administrasi Lokal Persulit Ibadat

Oleh Redaksi

Pada tanggal 3 Oktober lalu, sekelompok masyarakat yang menamakan diri “Fron Pemuda Islam Karang Tengah” memprotes Yayasan Sang Timur Karang Tengah, Ciledug, Tangerang. Mereka menuntut kegiatan ibadah yang dilakukan di sekolah Katolik tersebut dihentikan, karena izinnya telah dicabut, dan alasan teknis lain, seperti kemacetan. Kini aktivitas ibadah umat Katolik setempat terlantar, dan kegiatan belajar mengajar di situ juga sempat terhenti. Aksi tersebut memicu pro-kontra soal kebebasan beragama di Indonesia, hingga saat ini.

Pada tanggal 3 Oktober lalu, sekelompok masyarakat yang menamakan diri “Fron Pemuda Islam Karang Tengah” memprotes Yayasan Sang Timur Karang Tengah, Ciledug, Tangerang. Mereka menuntut kegiatan ibadah yang dilakukan di sekolah Katolik tersebut dihentikan, karena izinnya telah dicabut, dan alasan teknis lain, seperti kemacetan. Kini aktivitas ibadah umat Katolik setempat terlantar, dan kegiatan belajar mengajar di situ juga sempat terhenti. Aksi tersebut memicu pro-kontra soal kebebasan beragama di Indonesia, hingga saat ini. Untuk menelusuri pangkal persoalan Sang Timur, dan bagaimana posisi kebebasan beragama di negara Pancasila yang plural ini, Novriantoni dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai rohaniawan Katolik, Franz Magnis-Suseno, yang juga mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta pada Kamis (21/10/2004). Berikut petikannya.

NOVRIANTONI: Romo, dari berbagai media massa, kita menyimak kasus Yayasan Sang Timur. Apa yang terjadi sebetulnya?

FRANZ MAGNIS-SUSENO: Saya tahu di sana ada sekolah (Katolik) sejak tahun 1992, dan muridnya sudah berjumlah sekitar 2400 orang. Pada hari Sabtu, Minggu dan hari besar lainnya, gedung serba guna sekolah itu digunakan sebagai gereja oleh sekitar 9000-an umat Katolik sekitar situ. Semua berjalan dengan izin Kepada Desa Karang Tengah sejak tahun 1992. Tapi, pada akhir Juli kemarin, setelah 12 tahun berjalan, izin ibadah dicabut Kanwil Depag Tangerang, lalu diikuti Lurah Karang Tengah. Sejak itulah masyarakat yang menamakan diri Front Pemuda Islam Karang Tengah berunjuk rasa, sampai puncaknya pada tanggal 3 Oktober lalu. Mereka menutup akses masuk ke lokasi itu, dan menjadi sangat marah (karena ibadah masih terus berlanjut), sehingga pastor setempat yang berada di bawah tekanan, menandatangani pernyataan untuk tidak lagi memakai ruang itu untuk tempat ibadah. Tapi masalahnya belum selesai.

NOVRIANTONI: Anda tahu latar belakang pencabutan izin penggunaan tempat tersebut sebagai tempat ibadah?

Itu yang saya tidak tahu. Sudah 12 tahun tidak ada yang protes. Pada hari Sabtu dan Minggu, biasanya umat Katolik ke gereja, dan mereka tidak mengganggu kecuali gangguan kendaraan yang bisa saja membuat macet. Tapi mereka kan beribadah biasa. Nah, mengapa mendadak izin itu dicabut tanpa menghubungi sedikitpun pihak paroki maupun sekolah? Sama sekali tidak ada proses sebelumnya. Begitu turun surat Kanwil Depag, dilanjutkan surat Lurah Karang Tengah, sejak itu usaha untuk berbicara dengan masyarakat lokal dalam rangka meminta untuk tetap diizinkan beribadah sampai ditemukan alternatif lain, tidak lagi berhasil. Akhirnya, 3 Oktober lalu muncul ancaman yang sungguh-sungguh dalam bentuk unjuk rasa itu.

NOVRIANTONI: Front Pemuda Islam Karang Tengah, dalam suratnya kepada salah satu media cetak mengatakan, mereka berunjukrasa karena alasan-alasan legal-formal yang dilanggar Yayasan Sang Timur, bahkan alasan teknis seperti kemacetan tadi. Mereka tidak menggunakan isu kristenisasi sebagaimana yang pernah Anda tulis. Apa tanggapan Anda?

Mereka sendiri yang menuduh adanya kegiatan kristenisasi dalam spanduk-spanduk dan yel-yel mereka. Jadi penolakan kristeniasi rupanya dijadikan alasan. Padahal menurut saya, tidak pernah ada kristenisasi yang berkaitan dengan Sang Timur. Kalau alasannya membikin macet jalanan, mungkin bisa saja. Tapi hal semacam itu kan bisa dibicarakan. Toh, selama 12 tahun hal itu tidak ada masalah. Betul, jalan yang dipakai untuk sekolah itu bukan milik yayasan. Tapi itu kan bisa dirundingkan!

Makanya, saya melihat kasus seperti ini tidak terbatas pada Sang Timur. Di mana-mana, saya rasa sangat sulit bagi umat Kristiani mendapat izin membangun rumah ibadah. Di satu pihak, membangun gereja tidak diberi izin, tapi kalau beribadat di gedung lain (seperti sekolah Sang Timur) akan diprotes.

NOVRIANTONI: Dalam dugaan sementara Anda, apa persoalan terjauh dari kasus ini?

Sulit menyangkanya. Tapi kesan saya, ada semacam gerakan di mana-mana yang mencegah kaum minoritas untuk membangun gereja. Padahal kaum minoritas ini juga bertambah dan memerlukan tempat ibadah. Tapi di manapun sangat sulit mendapat izin. Padahal jelas sekali UUD kita menjamin kebebasan beribadah. Di mana lagi kaum minoritas mau beribadah selagi mereka minoritas, kalau tidak di tengah-tengah kaum mayoritas?

Saya rasa, Sang Timur itu hanya salah satu kasus. Saat ini, sekolah juga sudah mengalami kesulitan. Anak-anak menjadi takut, karena sesudah ibadah dihentikan, blokade pintu depan masih berjalan terus. Tidak hanya itu, saya juga melihat foto beberapa teks spanduk yang isinya sangat tidak wajar. Salah satu spanduk misalnya berisi: “Usir Agama Penjajah!” Itu saya kira tidak tepat dikemukakan.

NOVRIANTONI: Dalam tulisan di salah satu harian ibu kota, Anda mensinyalir adanya kelompok-kelompok ekstrem yang membikin masalah dan menyusup ke dalam birokrasi pemerintahan lokal. Kalau anggapan Anda benar, tentu ini tantangan besar bagi pemerintah mendatang dalam soal kebebasan beragama!

Saya terdorong untuk mengatakan itu, karena sesudah tembok itu dibuat, camat setempat mengatakan: “Perjuangan kami telah berhasil!” Saya bertanya-tanya, “kami” itu, siapa? “Perjuangan”, apa? Pak Camat kok berkata seperti itu?! Kalau masyarakat setempat yang mengatakan secara spontan, saya masih bisa mengerti. Saya melihat sangat sering hal seperti itu terjadi. Saya meragukan persoalan itu semata-mata inisiatif lokal.

NOVRIANTONI: Apa tindakan yang dilakukan Sang Timur untuk mengklarifikasi ungkapan sang camat?

Tidak ada tindakan selanjutnya. Saya risau ketika membaca itu, dan saya sendiri hanya menulis di koran. Yayasan Sang Timur mungkin sekarang sibuk sekali menjamin akses ke sekolah, karena pintu yang selalu mereka gunakan masih ditutup tembok. Sekarang anak-anak takut masuk sekolah karena masih banyak spanduk yang bernada memusuhi. Mereka masuk lewat jalan belakang yang dibikinkan khusus, tapi di situpun sudah ada spanduk-spanduk yang menentang.

NOVRIANTONI: Apakah orang-orang penting di Dewan Paroki dan ulama-ulama setempat pernah berembuk untuk mencari jalan keluar persoalan ini?

Menurut saya, itulah cara yang tepat. Tapi dalam kasus Sang Timur saya mendengar, begitu izin dicabut, Pastor Paroki dan Dewan Paroki langsung mendekati orang-orang setempat, tapi tanpa hasil. Jadi memang mesti ada inisiatif dari kedua belah pihak. Saya punya catatan, di negara ini hukum harus betul-betul dijalankan agar tidak ada yang bertindak semena-mena dan seakan-akan kebal hukum. Kita mesti terbiasa memutuskan masalah seperti itu menurut hukum, dan itu berlaku bagi kedua belah pihak.

NOVRIANTONI: Romo, tadi Anda menyinggung perilaku pemerintah lokal yang mungkin tidak bersikap netral. Tentu persoalan menjadi runcing, ketika pemerintah tidak lagi bersikap netral. Menurut Anda apakah pihak pemerintah seperti Departemen Agama, sejauh ini sudah menempatkan diri dengan tepat ketika terjadi gesekan-gesekan antarumat beragama?

Kalau di tingkat nasional, saya kira tidak ada masalah. Tapi di tingkat lokal saya kira masih ada banyak masalah. Saya tinggal di Jakarta, jadi saya tidak terlalu banyak tahu. Tapi saya sering mendapat berita betapa sulitnya umat di daerah-daerah tertentu menjalankan ibadat. Kesulitan itu sangat sering berkaitan dengan administrasi lokal.

Makanya, saya kuatir seluruh pasal mengenai kebebasan beribadah tidak disadari atau didiamkan saja di negeri ini. Kebebasan beribadah itu kan artinya setiap umat beragama berhak menjalankan ibadah dan membangun rumah ibadah. Sebab kalau beribadah tidak di rumah ibadah, mereka juga akan diprotes, karena seakan-akan pamer di depan umum. Mestinya, membangun rumah ibadah harus selalu diizinkan. Saya kira, di sini kelompok mayoritas sama sekali tidak pernah kesulitan untuk membangun rumah ibadah di manapun mereka mau. Mengapa untuk minoritas dibikin begitu sulit?

NOVRIANTONI: Apa ada hambatan-hambatan teknis dan legal-formal seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama yang justu menjadi bagian dari masalah?

SKB adalah dasar hukum kesulitan itu. Sebab begitu banyak izin dan rekomendasi yang dibutuhkan untuk membangun rumah ibadah, terutama rekomendasi dari masyarakat lokal yang mestinya mudah didapat, tapi tidak diberikan. Yang sering terjadi, masyarakat lokal tidak menolak dan tidak menghambat sama sekali, tapi kemudian ada pihak-pihak yang menghasut, misalnya dengan menggunakan isu kristenisasi, dan lain sebagainya.

NOVRIANTONI: Lantas apakah dasar hukum seperti SKB itu perlu direvisi atau ditinjau ulang agar sesuai dengan semangat kebebasan beragama?

Menurut saya, surat itu seharusnya dicabut saja karena ia menjadi bagian dari masalah. Peraturan mengenai izin pembangunan rumah ibadah memang harus ada. Saya bisa menerima kalau dalam hal keagamaan harus ada beberapa peraturan yang mesti diperhatikan, karena kita tahu ini persoalan yang sangat sensitif.

NOVRIANTONI: Tadi Anda mengusulkan SKB dicabut. Apa poin-poin dalam SKB itu yang sangat memberatkan, tidak masuk akal, dan selalu menjadi persoalan?

Yang utama soal persetujuan masyarakat lokal. Di situ diterangkan, kalau ada 20 orang saja yang keberatan, tidak akan diberi izin. Saya kira, sangat mudah memobilisasi 20 orang yang keberatan dalam daerah tertentu. Ada satu masalah yang harus juga dimengerti di sini. Mungkin bagi masyarakat lokal tidak langsung jelas kalau minoritas itu berarti orangnya masih sedikit. Bisa saja umat Katolik di dalam lingkungan paroki yang mau membangun gereja terhitung berjumlah 8000-an orang. Mereka hidup dalam lingkaran 3 KM di sekitar situ. Tapi memang belum tentu di dekat gereja itu akan ada banyak orang Katolik. Makanya, ketika gereja dibangun, bisa saja masyarakat setempat merasa: “Kok, membangun gereja di tempat kami? Ini pasti untuk agenda kristenisasi!” Mestinya bukan demikian cara berpikirnya. Kalau semua umat Katolik dihitung dalam lingkaran 3 KM tadi, tentu akan ada ribuan umat, dan mereka memang perlu sebuah gereja.

NOVRIANTONI: Sebetulnya hal-hal seperti itu bersifat teknis dan bisa dirundingan. Artinya, ketika umat Katolik mengajukan data-data tentang jumlah orang yang akan menjadi anggota gereja, tentu persoalannya menjadi jelas!

Kalau dirundingkan dengan masyarakat setempat biasanya akan berjalan lancar, meski berulang-ulang. Tapi tak jarang ketika izin sudah diberi, lalu mendadak muncul protes, izin itu lalu dicabut secara tiba-tiba, karena pihak administrasi lokal tidak pernah berani bertindak tegas dan melawan protes seperti itu. Jadi dalam kenyataannya, hal teknis seperti itu menjadi susah, apalagi kalau sudah ada pemikiran “pokoknya jangan sampai ada gereja di sini!”

NOVRIANTONI: Belajar dari kasus Sang Timur ini, apa harapan ke depan Anda terkait soal kebebasan beragama?

Untuk Sang Timur ada dua harapan. Pertama, sekolah diharapkan berjalan terus tanpa gangguan. Kedua, umat Katolik yang berjumlah 9000-an orang di Ciledug itu, kini tidak lagi punya tempat ibadah. Saya kira, kalau mereka tidak lagi diizinkan untuk beribadah di Sang Timur, mereka harus mendapat tempat lain, dan diberi izin untuk membangun gereja. Menurut saya yang mesti menjadi prinsip adalah, semua umat boleh meminta tempat tertentu untuk dijadikan rumah ibadah. Kalau pemerintah merasa keberatan dengan tempat yang dimiliki sendiri itu, mereka harus menunjuk tempat lain di mana mereka bisa membangun gereja.

NOVRIANTONI: Artinya, pemerintah harus menjadi mediator yang netral, dan paham bahwa semua umat beragama, apapun agamanya, punya hak untuk mendirikan rumah ibadah?

Itulah yang saya harapkan. Saya kira, kita juga perlu menyadari bahwa Indonesia memang negara yang majemuk, di mana orang bisa merantau, sehingga tidak ada lagi daerah-daerah yang tidak tersentuh semua agama yang ada di Indonesia. Mereka datang dari Sabang sampai Merauke untuk menetap di mana-mana. Di daerah yang dulunya dihuni mayoritas Kristen, sekarang juga sudah banyak dihuni umat Islam. Dan itu menurut saya wajar-wajar saja. []

25/10/2004 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (20)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

memang sulit di indonesia ini
banyak muslim fanatik

Posted by david.b  on  04/06  at  10:46 PM

Aku adalah salah satu murid Sang timur… Saat ini saya sudah kelas 3 SMP… Waktu terjadinya penutupan gereja itu… entah kenapa saya sangat sedih hingga menangis… Saya menyaksikan aksi anarkis FPI yang menurut saya sudah kelewatan… Saat itu saya ingin sekali datang dan menyaksikan langsung dan kalau saja bisa saya akan mencegah terjadinya hal itu… Saya ingin menanyakan kepada FPI: kenapa gereja kami ditutup ??? Aku sangat prihatin bagaimana mungkin untuk beribadah dan memuji Tuhan saja dipersulit… Kami sekarang sulit untuk mencari tempat beribadah… Saya terkadang bertanya-tanya… kenapa di sekeliling aku banyak masjid??? Tapi hanya 1 gereja saja tidak diperbolehkan… Saya juga heran kenapa gereja kami tidak diberi izin… Sekian tanggapan saya… Saya mohon maaf apabila ada kata-kata yang tidak berkenan.
-----

Posted by Joy  on  03/17  at  05:04 AM

Frans Magnis Menolak Pluralisme Agama”

Pada tanggal 2 Februari 2005 lalu kawan saya ke Jakarta dan menemui Prof. Dr. Frans Magnis Suseno, seorang tokoh Katolik terkenal di Indonesia dan Direktur Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Cukup lama kami berdiskusi tentang berbagai hal seputar masalah agama dan khususnya masalah Gereja Katolik dan Konsili Vatikan II. Di akhir pertemuan, Frans Magnis memberi saya sebuah hadiah berupa buku karyanya yang berjudul “Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk¨.

Di antara yang menarik untuk kita bahas pada catatan kali ini adalah pembahasan Frans Magnis Suseno tentang pluralisme agama. Secara tegas, dalam bukunya, Frans Magnis menolak paham tersebut. Bagi saya, pendapat Frans Magnis itu menarik, sebab selama ini saya menyangka, dia seorang pendukung pluralisme agama, mengingat ada sejumlah muridnya dari kalangan orang Muslim yang pernah kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan kini rajin menyebarkan paham tersebut.

Berikut ini kita kutipkan pendapat Frans Magnis tentang pluralisme agama. Pluralisme agama, kata Magnis, sebagaimana diperjuangkan di kalangan Kristen oleh teolog-teolog seperti John Hick, Paul F. Knitter (Protestan) dan Raimundo Panikkar (Katolik), adalah paham yang menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agama-agama hendaknya pertama-pertama memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap lebih benar daripada yang lain-lain.

Teologi yang mendasari anggapan itu adalah, kurang lebih, dan dengan rincian berbeda, anggapan bahwa agama-agama merupakan ekspresi religiositas umat manusia. Para pendiri agama, seperti Buddha, Yesus, dan Muhammad merupakan genius-genius religius, mereka menghayati dimensi religius secara mendalam. Mereka, mirip dengan orang yang bisa menemukan air di tanah, berakar dalam sungai keilahian mendalam yang mengalir di bawah permukaan dan dari padanya segala ungkapan religiositas manusia hidup. Posisi ini bisa sekaligus berarti melepaskan adanya Allah personal. Jadi, yang sebenarnya diakui adalah dimensi transenden dan metafisik alam semesta manusia. Namun, bisa juga dengan mempertahankan paham Allah personal.

Masih menurut penjelasan Frans Magnis Suseno, pluralisme agama itu sesuai dengan “semangat zaman¨. Ia merupakan warisan filsafat Pencerahan 300 tahun lalu dan pada hakikatnya kembali ke pandangan Kant tentang agama sebagai lembaga moral, hanya dalam bahasa diperkaya oleh aliran-aliran New Age yang, berlainan dengan Pencerahan, sangat terbuka terhadap segala macam dimensi “metafisik¨, “kosmis¨, “holistik¨, “mistik¨, dsb. Pluralisme sangat sesuai dengan anggapan yang sudah sangat meluas dalam masyarakat sekuler bahwa agama adalah masalah selera, yang termasuk “budaya hati¨ individual, mirip misalnya, dengan dimensi estetik. Dan bukan masalah kebenaran. Mengkliam kebenaran hanya bagi diri sendiri dianggap tidak toleran. Kata “dogma¨ menjadi kata negatif. Masih berpegang pada dogma-dogma dianggap ketinggalan zaman.

Paham ‘Pluralisme Agama’, menurut Frans Magnis, jelas-jelas ditolak oleh Gereja Katolik. Pada tahun 2001, Vatikan menerbitkan penjelasan “Dominus Jesus.” Penjelasan ini, selain menolak paham ‘Pluralisme Agama’, juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantaran keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. Di kalangan Katolik sendiri, “Dominus Jesus” menimbulkan reaksi keras. Frans Magnis sendiri mendukung “Dominus Jesus” itu, dan menyatakan, bahwa “Dominus Jesus” itu sudah perlu dan tepat waktu.

Menurutnya pula, ‘Pluralisme Agama’ hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran dari pada sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau saling menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka yakini. Ambil saja sebagai contoh Islam dan kristianitas. Pluralisme mengusulkan agar masing-masing saling menerima karena masing-masing tidak lebih dari ungkapan religiositas manusia, dan kalau begitu, tentu saja mengklaim kepenuhan kebenaran tidak masuk akal. Namun yang nyata-nyata dituntut kaum pluralis adalah agar Islam melepaskan klaimnya bahwa Allah dalam al-Qur’an memberi petunjuk definitif, akhir dan benar tentang bagaimana manusia harus hidup agar ia selamat, dengan sekaligus membatalkan petunjuk-petunjuk sebelumnya.

Dari kaum Kristiani, kaum pluralis menuntut untuk mengesampingkan bahwa Yesus itu “Sang Jalan”, “Sang Kehidupan” dan “Sang Kebenaran”, menjadi salah satu jalan, salah satu sumber kehidupan dan salah satu kebenaran, jadi melepaskan keyakinan lama yang mengatakan bahwa hanya melalui Putera manusia bisa sampai ke Bapa.

Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan: “Menurut saya ini tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina kalau pun bermaksud baik. Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama, bari kita bersedia saling menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat penuh identitas masing-masing yang tidak sama.¨

Itulah sikap dan pandangan seorang tokoh Katolik terhadap paham Pluralisme Agama. Jelas, bahwa Vatikan sendiri menolak paham tersebut. Karena itu, kadang-kadang kita heran, bahwa diantara kaum Muslim sendiri ada yang membuat kesan seolah-olah Vatikan V melalui Konsili Vatikan II , V sudah mengubah menjadi pluralis. Padahal tidaklah demikian, sebagaimana ditegaskan oleh Frans Magnis Suseno sendiri, lucu sekali kan ?.

Tentulah kaum Muslim yang meyakini kebenaran aqidahnya juga sangat menolak paham semacam ini. Bagi seorang Muslim, tentu hanya Islam, sebagai satu-satunya institusi agama yang benar. Artinya, jika orang mau selamat di dunia dan akhirat, Islam-lah jalannya. Bukan yang lain. Ini tidak berarti setiap orang yang mengaku atau disebut Muslim pasti selamat, sebab itu sangat tergantung kepada pribadinya. Bisa jadi, dia murtad atau membatalkan imannya sendiri. Yang lebih lucu lagi (kalau tidak ingin disebut TRAGIS), tentu adalah manusia-manusia yang tetap mengaku sebagai Muslim tetapi pada saat yang sama juga rajin menyebarkan paham ‘Pluralisme Agama’. Tambah lucunya lagi, orang-orang itu juga menjadi pengurus organisasi Islam.

Paham ‘pluralisme Agama’ atau teologi pluralis itu sebenarnya adalah paham untuk menghilangkan sifat ekslusif ummat Islam. Artinya dengan paham ini ummat Islam diharapkan tidak lagi bersikap fanatik, merasa benar sendiri dan menganggap agama lain salah. Menurut John Hick, tokoh pluralisme agama, diantara prinsip pluralisme agama menyatakan bahwa agama lain adalah sama-sama jalan yang benar menuju kebenaran yang sama (Other religions are equally valid ways to the same Truth).

Di kalangan Kristen juga muncul keganjilan. Penyebaran paham ini diantaranya juga dilakukan kalangan gereja melalui sekolah-sekolah teologi Kristen dan Universitas Kristen. Bahkan ada kelompok-kelompok misionaris Kristen yang juga rajin menyebarkan paham ini, disamping paham sekularisme.

Fenomena semacam itu bisa dilihat sebagai salah satu bentuk perang pemikiran terhadap kaum Muslim, sebab mereka sadar, ‘Pluralisme Agama’ memang paham yang membunuh dasar-dasar agama itu sendiri. Karena itu, sebagai seorang rohaniwan Katolik, wajar jika Frans Magnis Suseno MENOLAK keras-keras paham tersebut. Jika Katolik saja menolak paham tersebut, maka adalah aneh dan ajaib jika ada sebagian di kalangan kaum Muslim yang ikut-ikutan menyebarkan paham ini.

Sekarang, banyak organisasi Islam yang terjebak atau menjebakkan diri turut menyebarkan paham ini. Apalagi, ada LSM Asing yang rajin membiayai program-program penyebaran ‘Pluralisme Agama’, seperti The The Asia Foundation (TAF).

Dalam websitenya, TAF menyebutkan, bahwa karena menyadari akan pentingnya nilai-nilai inklusif dan pluralis dalam masyarakat Muslim Indonesia yang mayoritas, maka TAF telah memberikan bantuan kepada berbagai ormas Islam sejak tahun 1970-an. Dalam konteks masyarakat Islam Indonesia yang semakin beragam, TAF kini membantu lebih dari 30 kelompok LSM dalam upaya mereka mempromosikan konsep bahwa nilai-nilai Islam itu dapat menjadi asas bagi sistim politik demokratis, anti-kekerasan dan toleransi beragama. Dalam kaitannya dengan pendidikan sipil, HAM, penyatuan antar komunitas, persamaan gender, dialog antar agama, T AF bekerjasama dengan LSM-LSM yang ormas-ormas dalam usaha mereka menjadikan Islam sebagai media untuk demokratisasi di Indonesia.

Program-programnya termasuk training tokoh-tokoh agama, kajian tentang isu gender dan hak asasi manusia dalam Islam, pelajaran tentang pendidikan sipil pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, pusat pembelaan terhadap wanita Muslim dan memperkuat media Islam yang pluralis dan toleran. (http://www.asiafoundation.org/Locations/indonesia.html)

Jadi, dengan berselubung pada isu demokrasi, toleransi, dan sebagainya, paham ‘Pluralisme Agama’ ini terus disebarkan di kalangan Muslim. Karena Muslim ada mayoritas di Indonesia, maka dampak besar dari penyebaran paham ini akan menimpa kaum Muslim. Karena itu, kita sungguh sedih dan prihatin terhadap orang-orang dari kalangan Muslim yang rajin menyebarkan paham ini. Apa pun motifnya. Paham ‘Pluralisme Agama’ inilah yang dijadikan sebagai salah satu dasar pembuatan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, yang salah satu isinya adalah membolehkan wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Tentu saja, mereka berpikir, bahwa agama apa saja adalah sama dan satu agama tidak boleh mengklaim sebagai yang “benar sendiri¨. Paham ini juga berdampak pada munculnya pendapat bahwa tidak boleh kaum Muslim mengklaim hanya al-Quran saja satu-satunya ‘Kitab Suci’ saat ini. Seorang tokoh penyebar paham ini pernah menulis di media massa, bahwa “all scriptures are miracles¨(Semua Kitab agama-agama adalah mukjizat).

Sebagai Muslim kita memiliki keyakinan yang berbeda dengan Frans Magnis Suseno. Kita bisa menunjukkan banyak ayat al-Quran yang memberikan kritik keras terhadap keyakinan kaum Kristen terhadap Yesus. Sejak awal mula, Rasulullah saw sudah menunjukkan sikap kritis semacam itu. Namun, pada saat yang sama, Islam juga mengakui eksistensi kaum Kristen, dan tidak diperbolehkan menganiaya mereka karena perbedaan agama. Mereka, bahkan disebut kafir ‘Ahlul Kitab’, dan begitu banyak ajaran Islam yang berkaitan dengan mereka.

Disamping perbedaan yang mendasar, tentu ada beberapa persamaan sikap antara Muslim dengan Katolik, seperti dalam hal ‘Pluralisme Agama’, sikap terhadap homoseksual, dan sebagainya. Namun, adanya berbagai persamaan antar agama-agama, tidak perlu menjadikan semua agama itu menjadi satu atau membuat agama baru yang bernama ‘Pluralisme Agama¨. Dan sebagai Muslim yang meyakini kebenaran eksklusif aqidah Islam, kita bisa menjadikan pendapat Frans Magnis tentang ‘Pluralisme Agama’ ini sebagai hikmah: “Jika Katolik saja menolak Pluralisme Agama, apalagi Islam.” Wallahu a’lam.

QUOTES OF THE DAY: “Sudahkah kita MEMAKLUMI ORANG LAIN, MENURUNKAN EGO PRIBADI, DAN MENJAGA HATI PRIBADI, sebelum kita memohon ORANG LAIN MEMAKLUMI KITA, MENURUNKAN EGONYA dan MENJAGA HATINYA”

Posted by Pemerhati JIL  on  03/31  at  09:04 AM

Orang Indonesia yang mengaku beragama, apa pun agamanya, memang semakin menunjukkan bahwa agama itu tidak terintegrasi dengan kehidupan. Bahkan semakin lama saya hidup di Indonesia ini ada semacam kecenderungan membenci orang yang beragama lain. Memang dugaan ini tidak diajarkan oleh agama itu, tapi sudah semakin menjadi pandangan dan pendirian banyak orang entah dari mana datangnya.

Dan menurut Bertrand Russell, bahwa salah satu yang gampang disulut untuk bertindak irasional adalah dengan mengobarkan sentimen agama. Dan memang akan menjadi semacam lingkaran, bahwa yang gampang disulut juga adalah orang yang keimanannya sangat kurang atau agama baginya hanyalah simbol.

Mengenai isu Kristenisasi, di lingkungan Katolik, itu tidak ada lagi. Bahkan setelah Konsili Vatikan II, Katolik mendambakan seluruh manusia menjadi manusia yang utuh dan tidak perlu menjadi Kristen atau Katolik. Bahkan di sekolah katolik manusia berusaha menciptakan manusia yang terdidik. Ajakan untuk untuk menjadi penganut Katolik, adalah sangat memalukan dan bisa ditertawakan.

Posted by William Purwosantosa  on  11/12  at  07:12 AM

ari bilang : Sebenarnya hal2 seperti ini juga terjadi di tempat2 lain bahkan dibelahan dunia lain. Seperti sulitnya membangun mesjid di NTT, di Papua dahulu di Tim Tim, bahkan di Perancis umat Islam yang bersekolah tidak boleh menggunakan JILBAB dan di Spanyol izin untuk Imam dan masjid dipersulit.

sebenernya saya juga tidak setuju dgn adanya larangan tempat ibadah di manapun, entah kasus sang timur atau di ntt, memang harus diakui bahwa unsur mayoritas bermain di sini. Tetapi ketika anda sudah menyadari ada yang salah seperti di NTT, maka yg harus kita lakukan bukan dengan menerapkan cara yang sama seperti justru menghalang2i, yg bener adalah kita tunjukkan bagaimana seharusnya yang benar yaitu kebebasan beribadah. kalo kita cuman saling mengulang kesalahan yg sama maka ini smua hanya seperti lingkaran yang tidak pernah terputus.

Posted by anak  on  11/06  at  09:11 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq