Kautsar Azhari Noer: Agama Adalah Kualitas Personal
Oleh Redaksi
Kata “beragama” sudah terlampau identik dengan ketaatan pada sebuah institusi dan segenap sistem ajaran tertentu, sehingga tak jarang orang beragama abai akan spiritualitas. Untuk itu, takrif “beragama” perlu diartikan sebagai kualifikasi tertentu yang menunjuk pada kualitas pribadi/personal seseorang dalam beragama. Demikian hasil perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Kautsar Azhari Noer, pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, tentang spiritualitas dunia modern, Kamis (12/1) lalu.
Kata “beragama” sudah terlampau identik dengan ketaatan pada sebuah institusi dan segenap sistem ajaran tertentu, sehingga tak jarang orang beragama abai akan spiritualitas. Untuk itu, takrif “beragama” perlu diartikan sebagai kualifikasi tertentu yang menunjuk pada kualitas pribadi/personal seseorang dalam beragama. Demikian hasil perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Kautsar Azhari Noer, pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, tentang spiritualitas dunia modern, Kamis (12/1) lalu.
NOVRIANTONI (JIL): Pak Kautsar, ada yang menganggap bahwa di dunia modern, manusia akan makin jauh dari spiritualitas. Tapi di sisi lain, ada juga yang menganggap sebaliknya, karena manusia tak mungkin lepas dari spiritualitas. Tanggapan Anda?
KAUTSAR AZHARI NOER: Anggapan bahwa manusia akan semakin jauh dari agama dan spiritualitas di dunia modern itu tidak benar. Sekarang, semakin banyak orang yang kembali pada agama dan gandrung akan spiritualitas. Kini, spiritualitas dan agama tampak semarak, paling tidak di belahan dunia tertentu. Di banyak negara yang mayoritas Islam, bahkan negara-negara Barat yang dianggap sekuler, tak sedikit kelompok-kelompok manusia yang menggandrungi spiritualitas.
Trend spiritualitas itu masih banyak yang menginduk pada salah satu agama. Kalau dalam Islam, ini diwakili oleh kelompok-kelompok sufi atau orang-orang yang terlibat dalam dunia tasawuf, entah dalam bentuk tariqat, pengajian, atau lainnya. Di Yahudi juga ada mistik Kabbalah. Sementaradi Kristen ada spiritualitas atau mistisisme Kristen; begitu juga di Buddhisme dan Hinduisme.
Tapi yang menarik dari adalah kelompok spiritual yang tidak menginduk pada agama apapun. Kalau di Indonesia, contohnya adalah Brahma Kumaris, Anand Ashram, atau aliran kebatinan dan kejawen yang sudah lama ada. Kelompok-kelompok seperti itu tidak pernah menginduk pada salah satu agama yang ada. Di Barat, kelompok seperti ini juga tidak terikat dengan salah satu agama.
JIL: Varian yang menginduk pada salah satu agama seperti Manajemen Qolbu-nya Aa Gym, ESQ-nya Ari Ginanjar, dan Majlis Zikirnya Arifin Ilham tentu sudah banyak kita kenal. Bagaimana ciri khas varian kedua, atau kelompok-kelompok yang tidak menginduk pada agama tertentu?
Meski ekspresi atau pengungkapan spiritualitas bisa dilakukan dengan banyak cara, tapi antara varian yang menginduk pada salah satu agama dan yang lepas dari agama tetap ada titik persamaannya. Yaitu pada penekanan aspek spiritual itu sendiri. Intinya di situ. Yang dimaksud spiritualitas adalah peningkatan kualitas pribadi dalam berhubungan dengan yang Transenden atau Tuhan. Jadi, mereka sebetulnya sama-sama tidak mementingkan bentuk formal dari agama, kalau diandaikan bahwa spiritualitas itu lawan dari formalitas agama.
Namun, bukan berarti bentuk spiritualitas mereka sendiri tidak ada sama sekali. Kalau kelompok tersebut mempraktikkan meditasi sebagai jalan spiritual mereka, itu juga sudah dapat disebut salah satu ekspresi spiritual mereka.
JIL: Jadi, meditasi itulah bentuk atau cara mereka melakukan olah batin?
Ya. Tapi, varian kedua ini tetap tidak terikat dengan salah satu agama. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa hampir semua bentuk-bentuk spiritualitas modern itu bersifat panteistik; meski istilah ini bisa menimbulkan kesalahpahaman. Istilah pateisme sering dituduh sebagai paham yang mengidentikkan Tuhan dengan alam. Padahal, mereka sebenarnya tidak juga begitu. Sebab, Tuhan itu identik tapi juga tidak identik (dengan alam), atau lebih tepatnya, Tuhan itu imanen sekaligus transenden. Tuhan ada di mana-mana.
JIL: Dia ada di mana-mana, tapi tidak mesti bertempat atau mutahayyiz, ya?
Ya, dia tidak bertempat. Ada yang mengatakan bahwa para mistikus atau seorang spiritualis itu senantiasa melihat Tuhan dalam segala sesuatu atau semua hal. Ketika ia melihat pohon, dia melihat Tuhan; ketika melihat awan, dia menyaksikan Tuhan. Namun demikian, awan tentulah bukan Tuhan; pohon juga bukan Tuhan. Istilahnya, ke mana pun engkau menghadap (ainama tuwallû), kamu akan menemukan wajah Tuhan (fatsamma wajhalLâh).
Nah, paham seperti ini tentu sangat sulit diterima oleh kalangan Mutakallimun atau para teolog yang sangat menekankan perbedaan antara Tuhan dengan alam. Padahal sebenarnya, dalam Alqur’an sendiri ada ayat yang menyatakan bahwa Tuhan itu lebih dekat ke kita seperti dekatnya urat nadi kita (wa Nahnu aqrabu ilaihi min hablil warîd).
Karena ketidaksepakatan itu, kelompok-kelompok spiritual yang agak panteis itu sering dituduh macam-macam, apalagi yang diambil dari agama-agama Timur, entah Buddhisme, Hinduisme, atau Taoisme. Ini juga disebabkan mereka menerima doktrin reinkarnasi. Kebanyakan kelompok-kelompok seperti itu menganut paham reinkarnasi, dan tidak menginduk pada salah satu agama. Ajaran reinkarnasi jelas akan ditolak oleh mayoritas penganut Islam.
JIL: Artinya, ajaran-ajaran spiritual yang tak menginduk pada salah satu agama itu, sebetulnya juga mencomot beberapa bagian dari agama yang ada?
Betul. Mereka mencomotnya dari unsur-unsur agama Timur, bahkan sebagian besar. Ini bukan berarti unsur-unsur dari Barat tidak ada sama sekali. Saya melihat, di situ seakan-akan telah ada proses pertukaran peradaban antara Timur dan Barat. Jadi, orang Barat mengambil aspek spiritual Timur, sebaliknya, orang Timur mengambil unsur sains dan teknologi Barat. Jadi ada proses tukaran-menukar. Makanya, sekarang di Barat banyak sekali guru-guru spiritual, guru meditasi, ataupun yoga.
JIL: Tahun lalu, Anda ikut serta dalam Esoteric Education selama beberapa bulan di Skotlandia. Di situ berkumpul orang dari beragam tradisi agama dan kelompok mistik. Apa yang Anda dapatkan?
Perkumpulan itu tak dapat dikatakan ajang berjumpanya orang dari berbagai agama. Program itu memang sangat menekankan aspek esoterik kehidupan yang sudah lepas dari agama atau beyond religion. Jadi, orang yang datang ke sana tidak berafiliasi pada agama, aliran filsafat atau politik apapun. Yang sangat ditekankan adalah aspek esoterik atau esensi hidup, bukan bentuknya lagi.
Tapi, setiap orang punya ritual masing-masing. Karena programnya pendidikan esoterik, aspek teoritis dan praksis, antara pikir dan amal, atau antara kontemplasi dan aksi diseimbangkan. Di sana kita melaksanakan 4 kegiatan, yaitu meditasi, studi, kerja, dan zikir. Unsur spiritual yang paling banyak diambil berasal dari unsur Islam, seperti tasawufnya Ibn Arabi.
JIL: Artinya di situ yang ditekankan adalah keragaman jalan menuju Tuhan?
Orang-orang yang ikut memang tidak terikat kepada salah satu agama. Semua peserta diajarkan untuk menekankan aspek esoterik dari suatu ajaran agama. Bahkan, orang yang tidak beragama formal pun tidak apa-apa ikut. Mau Islam, Kristen, Yahudi, bahkan tak beragama pun bisa masuk. Mereka datang dengan satu tujuan, yaitu menuju insan kamil (manusia sempurna, Red). Yang lebih diutamakan adalah pertanyaan-pertanyaan seperti siapa diri kita, dari mana kita berasal, dan hendak kemana kita pergi. Jadi yang diulas adalah pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti itu.
JIL: Menurur Anda, apakah kelompok-kelompok zikir yang kini marak di tanah air punya nilai tambah untuk peningkatan spiritualitas?
Saya menyambut positif kehadiran mereka. Mungkin, salah satu bedanya dengan New Age Movement yang marak berkemang di Barat adalah kenyataan bahwa mereka masih berafiliasi pada salah satu agama, dalam hal ini Islam. Mereka jelas masih menjalankan syariat Islam. Ini berbeda dengan kelompok New Age yang umumnya tidak lagi berafiliasi pada salah satu agama. Di samping itu, ajaran-ajarannya juga jelas beda. Kalau yang di luar Islam ada ajaran berbau panteistik, di Islam ada konsep wahdatul wujûd. Sebagian gerakan New Age juga mengamalkan praktik vegetarianisme atau hanya memakan sayur-mayur. Ajaran tentang reinkarnasi jelas tidak ada di kelompok spiritual Aa Gym karena tidak dianut mayoritas umat Islam di Indonesia.
JIL: Ada yang menyebut kegandrungan akan spiritualitas itu menunjukkan adanya rasa keterombang-ambingan mental. Kita dianggap manusia perahu, tak punya pendirian, dan hanya ikut trend. Tanggapan Anda?
Tidak bisa juga dikatakan bentuk keterombang-ambingan dan kebodohan. Justru spiritualitas itulah esensi dari semua agama. Kita terkadang hanya menjalankan ritual-ritual formal agama, tapi tetap menipu. Ada yang rajin haji, tapi tingkah lakunya tidak pernah benar. Ini karena sentuhan spiritualnya belum kena, dan hatinya belum nyambung dengan Tuhan. Karena itu, tidak benar kalau ajaran spiritual itu hanya mementingkan diri sendiri dan mengabaikan orang banyak. Wujud spiritualitas yang benar harus punya dampak positif bagi penanggulangan masalah-masalah sosial.
Saya kira, semua proses spiritualitas selalu merupakan perpaduan antara kontemplasi dan aksi. Makanya, beberapa kelompok spiritual selalu menonjolkan ajaran harmoni atau keselarasan hidup. Konsep harmoni itu bukan hanya tertuju kepada Tuhan semata, tapi juga harmoni pada sesama. Ajaran cinta sangat menonjol dalam pandangan kelompok-kelompok seperti ini. Di dalam fikih dan teologi, orang sangat jarang bicara soal cinta.
JIL: Kenapa di tiap zaman selalu ada usaha penyegaran aspek spiritual dari agama. Bukankah tiap-tiap agama sudah merupakan paket yang telah mengandung unsur spiritualitas?
Jawabannya tergantung pada apa defenisi agama. Selama ini, kita menganggap agama itu adalah ajaran-ajaran yang terwahyukan. Padahal, dalam surat al-Kafirun ada ungkapan lakum dînukum wa liyadîn (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Kata dînukum di situ merujuk pada agamanya orang kafir Quraisy. Walau mereka tidak punya nabi dan kitab suci, Tuhan tetap menyebutnya dîn atau agama. Karena itu, kata dîn atau agama sebaiknya menunjuk pada kualitas personal seseorang dalam berhubungan dengan Tuhan.
Ada banyak orang yang mengatakan bahwa agama itu dibagi dua; agama wahyu dan agama non-wahyu. Di dalam Alqur’an diterangkan, setiap umat itu pasti punya rasul. Karena itu, kita tidak bisa menuduh agama lain bukan agama wahyu. Orang Hindu akan marah-marah ketika agama mereka dikatakan bukan agama wahyu. Masak rasul yang mendapat wahyu hanya ada di Timur Tengah; tidak muncul di belahan bumi lain? Ini bertentangan dengan ayat Alqur’an sendiri.
Di sini saya teringat pada William C. Smith yang mengkritik perubahan makna religi yang sering kita terjemahkan sama dengan agama. Dia mengatakan, dulu kata religi itu menunjuk pada kualitas pribadi, bukan istitusi dan sistem. Kalau dimaknai sebagai kualitas pribadi, mestinya agama juga akan jadi milik semua orang. Kalau yang dimaksud dengan agama adalah kualitas pribadi seseorang, agama saya dengan agama Anda sudah pasti akan berbeda. Tapi kalau yang dimaksud adalah sistem, itu sudah merujuk pada hal yang mapan.
JIL: Atau, agama itu sebetulnya peringkat takwa yang memang berbeda-beda?
Ya. Takwa tentu saja bukan sistem, tapi kualitas pribadi/personal. Karena itu, Smith pernah mengatakan, kata religi atau agama lebih tepat diartikan sebagai kesalihan. Sekalipun seorang Kristen, dia juga pernah mengkritik orang Kristen. Dia bilang, orang Kristen itu lebih taat kepada Kekristenan ketimbang Tuhan dan ajaran cinta. Kritik itu juga bisa kena untuk orang Islam, terutama yang lebih cinta pada identitas kelompoknya ketimbang esensi ajaran damai pada agama itu sendiri. Banyak orang yang memang lebih loyal pada kelompok atau alirannya ketimbang pada Tuhan, kedamaian, cinta kasih, dan persaudaraan.
Karena itu, bagi saya, yang menjadi pedoman dalam peningkatan spiritualitas itu bukan agama, tapi Alquran dan Sunnah. Sebab, agama justru berpedoman pada keduanya. Saya cenderung mengartikan agama sebagai kualitas personal, bukan institusi atau sistem doktrin dan ajaran yang didedahkan pada kita. Sebab, institusi itu bukan pedoman, tapi justru juga harus berpedoman pada Alquran.
JIL: Omong-omong soal berpedoman pada Alqur’an, apa nilai paling pokok yang paling perlu dipegang?
Biasanya, orang Islam mengatakan intinya adalah tauhid. Tapi tauhid juga tak bisa dipisah dari soal keseimbangan dan keselarasan hidup. Kalau orang mau menegakkan tauhid, ia juga harus menegakkan harmoni dalam masyarakat. Harmoni itu tidak hanya dengan Tuhan, tapi juga dengan manusia. Keseimbangan itulah yang harus dijaga dan tidak dilepaskan dari nilai tauhid.
Banyak yang mengatakan kalau Islam telah memadukan kedua unsur itu; karena itu ia telah sempurna. Islam dianggap paling sempurna karena memadukan unsur-unsur yang sudah ada dalam agama-agama sebelumnya. Unsur esoterik atau batiniah dan eksoterik atau lahiriah itu sudah disatukan. Namun demikian, tetep harus perlu ada penekanan keseimbangan antara aspek lahiriah dengan batiniah; antara aspek sosial dan individual.
JIL: Dalam Islam itu ada akidah, syariah, dan akhlak. Kadang penekanan umat Islam berbeda-beda. Ada yang lebih ke akidah, ada yang lebih ke syariah, dan ada yang lebih ke akhlak. Komentar Anda?
Saya setuju pola keseimbangan. Fiqih itu terlalu banyak bicara aspek lahiriah dari agama (syariah). Dalam fikih, perkara salat adalah soal terpenuhinya rukun dan sarat. Ketika itu sudah dipenuhi, secara syar’i salat seseorang sudah sah. Tapi beragama kan tak cukup hanya dengan itu. Aspek batiniah juga perlu. Bagaimana kalau dalam sebuah salat hati seseorang tidak nyambung dengan Tuhan? Jangan-jangan, yang salat hanya gerak-gerik badaniah kita, sementara hati tidak. Konon, kita ini harus salat seumur hidup. Artinya, ada dua macam salat yang perlu kita tegakkan: yang formal 5x sehari itu, dan di luar yang formal itu. Semua itu mengandaikan selalu kontaknya hati kita dengan Tuhan.
JIL: Apa yang diharapkan ketika orang selalu connect atau tersambung hatinya dengan Tuhan?
Wujudnya harus punya dampak sosial. Sebab, Tuhan mengajarkan kasih sayang pada sesama. Ada hadis yang menyatakan: “Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya Yang di langit sana akan menyayangimu!” Jadi, Tuhan tidak akan menyayangi kita kalau tak kunjung sayang pada sesama. Itu kuncinya. Jadi tidak mungkin Tuhan akan kasih sayang kepada kita kalau kita tidak kasih sayang pada mahluk-Nya.
JIL: Jadi, agama mestinya bersifat antroposentris atau berpusat pada kebajikan pada sesama manusia, ya?
Saya tidak setuju dengan istilah itu. Saya kira, bukan hanya Islam, tapi Buddha, Yahudi, dan Kristen, tetap juga bersifat teosentris atau berpusat pada Tuhan. Masalahnya tinggal apakah ajaran suatu agama itu humanis atau tidak humanis. Saya setuju dengan istilah humanisme-teosentris. Jadi, kalau kita bersedekah, itu ditunaikan bukan karena ingin populer di muka orang, tapi demi mencari rida Tuhan. Orientasi semua agama tak mungkin diubah antroposentris (berpusat pada manusia), karena yang pusat itu selalu satu, yaitu Tuhan (teosentsis). Kalau tidak begitu, kita akan mengubah rukun iman, karena rukun iman yang pertama adalah percaya pada Tuhan. Saya kira, yang pertama ditekankan dalam agama Yahudi juga percaya pada Tuhan; baru diikuti aspek yang lain-lain.
JIL: Tapi antroposentrisme itu biasanya diajukan karena banyak agama formal yang dinilai telah teramat teosentris dan abai pada sisi-sisi kemanusiaan…
Saya kira, masalahnya bukan itu, tapi soal humanis atau tidak humanisnya suatu ajaran agama saja. Jadi intinya tetap teosentris, tapi teosentris yang humanis. Di Kamboja, orang tak bertuhan sangat sering menyembelih orang lain. Jadi soal menjunjung humanisme dan tidak itu kadang sama saja antara mereka yang bertuhan dengan yang tidak bertuhan. Orang yang tak bertuhan, otomatis dapat dikatakan antroposentris. Tapi di banyak tempat, penyembelihan terhadap sesama manusia itu justru dilakukan tanpa mengatasnakaman Tuhan. Jadi sama saja.[]
Komentar
Menanggapi wawancara mengenai agama yang personal dengan Pak Kautsar, saya pada dasarnya setuju karena agama itu memang milik pribadi, masing-masing individu yang menjalaninya dan itu adalah hak asasi manusia.
Agama sebagai sebuah ageman/gegeman atau pegangan tujuannya adalah agar manusia menjadi tersadarkan untuk berjalan pada relnya supaya semua kehidupan menjadi harmonis (kita melihatnya tidak pada satu agama, tapi menyeluruh). Untuk menjadi lurus dan kehidupan yang harmonis, tentu tidak datang begitu saja, karena kita tahu sifat manusia (kadang-kadang baik, kadang-kadang buruk, dan itu juga manusiawi).
Manusia harus kembali pada dasar ajaran, yang menurut saya, dalilnya; “Awaludini maarifatullahi ta’ala”. Insya Allah kalau kita mengacu pada dalil diatas dan terus mencari, agama yang kita anut sebagai sebuah ageman akan menjadi senjata yang ampuh untuk memberikan penyadaran dan pencerahan untuk keharmonisan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Sekian
Andi Suandi, pelukis.
-----
Assalammuallaikum wr.wb.,
Bismillahiraahmanirrahim, Ketika kita berbicara atau mendengar kata “agama” (agama apa pun itu), maka hati nurani kita akan serasa diajak untuk selalu mengkaitkannya dengan segala sesuatu yang memiliki nilai-nilai yang indah, bersifat normatif, bersifat spiritual Ketuhanan, kebijakan, keadilan, kebenaran serta segala sesuatu yang lainnya yang baik dan benar. Jika hati nurani itu bersih (tidak kotor) maka bisa jadi hakikat agama itu sebagaimana kesan awal yang ditimbulkan oleh hati yang bersih tersebut. Maka akan anehlah jika kita hidup di zaman ini kerapkali mendengar kata “agama” maka yang timbul adalah sesuatu yang “seram”, “kasar”, “bengis”, “korup” dan hal-hal buruk lainnya. Kondisi ini mungkin merupakan sebuah pertanda, bahwa bisa jadi ada sebagian dari agama-agama yang ada sekarang ini telah “tercemari” dari fitrahnya yang semula. Maka, menurut hemat saya wajar jika belakangan ini banyak manusia, baik itu di “negara maju”, “negara diam” atau pun di “negara mundur” yang mencari keaslian agamanya masing-masing. Hal ini sesungguhnya merupakan sebuah fitrah manusia yang tidak dapat dikotori oleh kekuatan manapun (dari mahluk ciptaan-Nya), sebuah fitrah untuk mencari sesuatu (norma, nilai-nilai & bahkan Dzat) yang indah, benar dan kekal.
Pencarian manusia dalam mencari fitrah sebuah “agama”, “jalan yang lurus” atau “kebenaran” akan dihadapkan pada dua yaitu kemungkinan gagal & tersesat atau berhasil & menemukan jalan yang lurus. Hal itu pada hakikatnya kembali lagi kepada niat dari diri manusia itu sendiri dalam mencari jalan tersebut. Jika niatnya bersih dan lurus, insya Allah akan ditunjukan-Nya manusia tersebut kepada jalan-jalan-Nya yang lurus. Hal ini sudah merupakan janji tertulis bahwa Allah SWT akan menyampaikan hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-Insyiqaq, ayat 6, yang artinya : “Wahai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya”. Ayat Al-Qur’an ini bagi mereka yang meyakininya, menjadi sebuah suluh/obor penyemangat baginya untuk senantiasa tetap bersungguh-sungguh mencari Tuhannya, Dzat Yang Esa dan Pembimbing Mutlak Kepada Kebenaran. Karena, jika ia telah berupaya dengan sungguh-sungguh dan kemudian tidak menemukannya, bisa jadi ia menjadi manusia yang atheis tulen. Dan, ini tidak mungkin !, karena Allah SWT Maha Benar dan janji-Nya pasti ditepati. Namun, jika masih saja manusia “melenceng/tersesat” dalam menemukan kebenaran, hal ini dimungkinkan masih ada yang belum bersih dan lurus niatnya dalam mencari Tuhannya. Karena secara alamiah tidak mungkin “mata air yang jernih” dapat keluar dan memancar dari tanah yang gersang, kotor dan berdebu. Dimanapun juga, pada umumnya mata air berada di sela-sela bebatuan di pegunungan yang menghijau, atau di celah-celah tanah lembah yang menghijau atau di padang pasir yang bersih seperti halnya sumur zam-zam yang abadi. Kesimpulannya, mari bulatkan tekad, bersihkan hati, dan luruskan niat, dan mudah-mudahan Allah SWT, Dzat Pembimbing Mutlak Kepada Kebenaran berkenan serta ridha menuntun kita semua pada sebuah sumber mata air abadi yang senantiasa mengalir dengan jernih, sejuk dan menyegarkan. Wallahua’lambishawab. Wasalammualaikum wr.wb.
Komentar Masuk (2)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)