“Agama Baru” dan Kebebasan Beragama
Oleh Pradana Boy ZTF
Di Indonesia, meski dinamika ”agama baru” menunjukkan gejala meningkat, perkembangan wacana tentang ”agama baru” tampaknya belum begitu pesat. Sementara kajian-kajian akademis tentang agama baru belum mendapat tempat, di tingkat masyarakat dan negara, gejala itu justru dianggap persoalan yang tidak kalah problematiknya.
Belakangan ini, kehidupan beragama di Indonesia ditandai dengan munculnya sejumlah gerakan keagamaan baru di luar tradisi agama yang mainstream, seperti Ahmadiyah, Komunitas Eden, atau juga praktik salat dwibahasa Yusman Roy. Munculnya gerakan keagamaan baru itu memang memicu pro dan kontra. Di satu sisi, ia dianggap penyimpangan dari arus utama tradisi agama yang telah mapan. Sementara di sisi lain, ia justru dianggap sebagai respon terhadap agama mainstream yang dianggap tidak lagi berpihak kepada para spirituality seekers. Para pencari kenikmatan spiritualitas itu beranggapan, agama-agama mainstream telah gagal memberi ruang bagi perkembangan spiritualitas.
Respon publik terhadap kelahiran mereka memang beragam. Tapi, yang penting dicatat, khusus di Indonesia, kelahiran gerakan-gerakan ini terkait dengan adanya dua kondisi penting yang saling pengaruh, yaitu menguatnya semangat konservatisme Islam dan terbukanya iklim kebebasan beragama pasca runtuhnya rezim Oba. Julia D Howell, dalam salah satu artikelnya menyebutkan, keruntuhan Orba merupakan salah satu faktor penyebab penting munculnya gerakan-gerakan keagamaan baru itu.
Tapi, iklim kebebasan yang muncul seiring keruntuhan rezim lama itu juga faktor yang tak bisa dinafikan bagi menguatnya kelompok-kelompok konservatif, bahkan radikal. Akibatnya, kebebasan mengkespresikan panafsiran agama yang berbeda juga berhadapan-hadapan langsung dengan tembok konservatisme dan radikalisme. Akhirnya, iklim kebebasan terjepit oleh makin mengemukanya desakan kelompok konservatif dan radikal.
Tidak hanya terjadi pada level sosial dan teologis, perdebatan tentang gerakan agama baru juga sudah jadi perdebatan dalam tradisi akademis. Dalam sosiologi agama kontemporer, gerakan-gerakan keagamaan baru itu lazim dikenal sebagai ”agama baru”. Penyebutan ”agama baru”, sepintas lalu memang menimbulkan kontroversi. Tapi di dunia akademis, sebutan itu merupakan evolusi penyebutan atas gejala serupa di dekade 1960-an yang sering dikenal sebagai sekte (sect) dan kultus (cult). Kedua istilah itu mengalami pergeseran menjadi new religious movements (gerakan keagamaan baru) pada dekade 1990-an.
Dalam catatan Dillon dan Richardson (1994), penyebutan cult dalam tradisi Anglo-Saxon, memang mengandung makna pejoratif yang sangat kuat di dalam masyarakat. Sementara”gerakan keagamaan baru” atau ”agama minoritas” justru merupakan sebutan yang lebih objektif dan paling sering digunakan sosiolog agama (Possamaï dan Lef, 2004).
Di Indonesia, meski dinamika ”agama baru” menunjukkan gejala meningkat, perkembangan wacana tentang ”agama baru” tampaknya belum begitu pesat. Sementara kajian-kajian akademis tentang agama baru belum mendapat tempat, di tingkat masyarakat dan negara, gejala itu justru dianggap persoalan yang tidak kalah problematiknya.
Karena itu, kelahiran ”agama baru” ini difalsifikasi secara teologis, karena dalam keyakinan penganut agama mainstream, lahirnya agama baru adalah tidak mungkin. Tapi, secara sosiologis, fenomena ini sangat mungkin dihubungkan dengan berkembangnya kebebasan berekspresi dalam beragama. Sejumlah teoretisi ”agama baru” seperti Gordon Melton (2005), Peter Clarke (2006) dan Greenfield & Droogers (2003), selalu menghubungkan gejala ini dengan semangat untuk keluar dari dominasi penafsiran dan ekspresi keagamaan kelompok tertentu, atau tepatnya agama yang mainstream.
Greenfield dan Droogers lebih jauh menegaskan bahwa kelahiran ”agama baru” itu tak akan pernah lepas dari tradisi-tradisi agama induk (mainstream). Dalam bahasa Greenfield dan Droogers, “agama baru” dipahami sebagai ”sekelompok aktor (orang dalam suatu komunitas) yang sama-sama punya paradigma transendental dalam beragama, sebagai hasil swa-pemahaman mereka terhadap doktrin agama tertentu. Biasanya, mereka menawarkan sebuah pandangan dunia baru yang menggabungkan elemen-eleman global dan lokal, tradisional dan inovasional, serta reflektif dan praktis.
Dengan kerangka itu, kelahiran ”agama baru” mestinya tak harus ditanggapi dengan cara-cara yang negatif. Selama ini, di negeri kita, pemahaman agama yang berada dengan tradisi agama mainstream selalu dilabeli sesat dan karena itu sah untuk dimusuhi. Parahnya lagi, dalam menyikapi gejala tersebut, negara justru tampil sebagai kekuatan fasis yang memaksakan tafsir formal tertentu atas pemahaman keagamaan. Alih-alih memberi tempat bagi keragaman keyakinan, negara justru menjadi kekuatan penghancur aneka-ragam keyakinan.
Dalam kasus vonis dua tahun penjara atas Lia Aminuddin dan perlakuan anarkis atas pengikut Ahmadiyah, negara jelas-jelas menunjukkan ketidakmampuannya dalam menjamin kebebasan beragama. Padahal, secara teoretis, negara tak punya wewenang apapun untuk menyalahkan keyakinan agama tertentu, sama seperti tidak absahnya kita memvonis salahnya selera orang lain. Letak wewenang negara dalam soal agama justru pada penyediaan tempat seluas-luas dan seadil-adilnya bagi segala bentuk ekspresi keberagamaan yang berbeda-beda.
Karena itu, fenomena ”agama-agama baru” itu perlu dilihat sebagai buah dari pasar bebas ide yang berkembang di dalam masyarakat. Bertahan atau tidaknya sebuah produk agama yang baru, pada akhirnya akan sangat bergantung pada seberapa kuas daya persuasi dan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat.
Artinya, tanpa harus dilarang-larang, sistem perdagangan ide dalam kerangka pasar agama itu sendirilah yang akan menentukan apakah mereka akan bertahan atau justru akan punah. Kesadaran seperti itu sangat penting bagi kita agar sikap toleran dan ruang ekspresi pelbagai corak keberagamaan tetap terjamin. Sepanjang keyakinan agama tersebut tidak menimbulkan efek destruktif secara sosial, tidak ada yang perlu diresahkan.
Benar, fenomena ini secara teologis akan selalu melahirkan perdebatan. Tapi, persoalan teologis bukanlah urusan negara. Negara sebagai organisasi in optima forma dan fasilitator berlangsungnya keseimbangan hidup dalam masyarakat, sama sekali tak punya hak untuk berpihak pada salah satu paham teologi tertentu, apalagi memaksakannya. Negara tetaplah harus menjaga netralitas dan terjaminnya ruang berekspresi bagi tiap-tiap warga negara, dari segala agama dan aliran.
*) Pradana Boy ZTF, aktivis JIMM dan dosen FAI UMM. Tengah studi di the Australian National University, Canberra.
Komentar
Saya mau tanya nih, saya punya kepercayaan sendiri yaitu Agama Kesatuan Republik Indonesia. Saya buat itu karena alasan saya ingin Indonesia punya sendiri agama dan budaya. Jadi, isi agama ini hanya menceritakan sejarah Adam dan Evewa sampai menceritakan Muncullah Indonesia. Agama saya ini tidak membawa-bawa Nabi-nabi dari Timur Tengah, tapi saya hanya menceritakan khusus ttg sejarah Indonesia dan agama-agama sebelumnya yang dibuat oleh nenek moyang Indonesia seperti Kejawen dan sebagainya. Cuma, saya masih mau laporan kepada pemerintah untuk mengesahkan agama ini khusus orang Indonesia. Agama ini tidak ajarkan yang tidak-tidak lho. Anda bisa datang atau hubungi saya lewat 081387886052 dan alamat saya Jl. Mekah No. 16/36, Bogor 16121, E-mail : . Trm ksh.
Bahan masukkan terhadap rubrik “Agama Baru” dan Kebebasan Beragama.
Telah terbit buku panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama untuk menciptakan persepsi tunggal agama ("Agama Baru") berjudul:
“BHINNEKA CATUR SILA TUNGGAL IKA”
berisi XX+527 halaman, berikut 4 macam lampiran acuan terpisah berukuran 63x60 cm.:
“SKEMA TUNGGAL ILMU LADUNI TEMPAT ACUAN AYAT KITAB SUCI TENTANG KESATUAN AGAMA (GLOBALISASI)”
hasil karya tulis ilmiah otodidak penelitian terhadap isi kitab-kitab suci agama-agama selama 25 tahun oleh:
“SOEGANA GANDAKOESOEMA”
dengan penerbit:
“GOD-A CENTRE”
dan mendapat sambutan hangat tertulis dari:
“DEPARTEMEN AGAMA REPUBLIK INDONESIA” SekDirJen Bimas Buddha, umat Kristiani dan tokoh Islam Pakistan.
Wasalam, Soegana Gandakoesoema, Pembaharu Persepsi Tunggal Agama millennium ke-3 masehi.
Buku panduan terhadap kitab-kitab suci agama-agama berjudul:
“BHINNEKA CATR SILA TUNGGAL IKA”
Penulis: Soegana Gandakoesoema
Penerbit: GOD-A CENTRE
Tersedia ditoko buku K A L A M
Jl. Raya Utan Kayu 68-H, Jakarat 13120.
Telp. 62-21-8573388
Assalamu’alaikum.
Hanya sekedar pelurusan sejarah saja. Pergerakan Ahmadiyah bukanlah gerakan ‘baru’ dalam sejarah pergerakan organisasi Islam, baik di dunia ataupun di Indonesia pada khususnya.
Bahkan usianya lebih tua dari organisasi-organisasi besar Islam di Indonesia seperti Muhamadiyah (est. 18 November 1912) dan NU (est. 31 January 1926). Secara internasional, Ahmadiyya Muslim Community berdiri sejak 1889.
Di Indonesia, Mubaligh Ahmadiyah sudah bertabligh di Indonesia dan mendirikan jemaah pertama sejak 1925 (see http://www.alislam.org/indonesia/75thJAI.html).
Tidak ada niatan menafikan, tapi bila berbicara tentang jumlah anggota, angka statistik jumlah Ahmadi di seluruh dunia mencapai 200 juta jiwa. Itu hampir mendekati populasi seluruh warga negara Indonesia.
Penelaahan Bapak Pradana Boy kiranya kurang tepat dalam menempatkan konteks. Sehingga analisisnya seperti ‘berjalan di awan’ yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Dengan berlimpahnya informasi di Internet, semestinya prelimanary research bisa dilakukan untuk menentukan apakah premise-premise dan hipotesis-hipotesis yang akan diajukan valid dan bisa diandalkan apa tidak.
Sekian masukan dari saya. Mohon maaf bila ada kata yang tidak berkenan.
Jazakumullah Wahsanul Jaza
Irenaeus Ahmad http://www.ahmadiyya.or.id http://www.alislam.org http://www.ahmadiyah.co.nr
-----
Tulisan Pradana sangat berbobot dan berkualitas, walaupun masih banyak kata yang disebut sebagai “terlalu memukul kelompok tertentu”. misal Pak Pradana masih memberi gelar miring untuk kelompok Islam radikal dan islam kosevatif dan sangat membela kelompok lemah yaitu kelompok “agama baru”. Itu wajar Pak Pradana..
Tetapi sepertinya “agama baru” ini tidak se-fenomenal Rosul Saul dahulu ketika mencetuskan ide teologi TRINITAS dan berhasil menata agama baru menjadi agama besar (Katolik) juga tidak se-fenomenal Sang Budha Gautama yang berhasil melepaskan diri dari dogma Hindu India. Justru di Indonesia yang fenomenal ya AA Gym dan UJ (ustad Jefri) yang sangat kuat pengaruhnya kepada mayoritas Islam Awam dan Islam Muda. “agama baru” di atas sepertinya buru-buru akan layu sebelum berkembang, karena konsep ketuhanannya yang bisa disebut sebagai “sangat umum”. konsep ketuhanan dari “agama baru” ini terlalu mudah difahami jadi akan terlalu mudah ditinggal.
Bandingkan dengan Nabi Abraham, Muhammad, Saul, Budha gautama, Martin Luther, dll. Walaupun sederhana sepertinya konsep ketuhahan Abraham dan Muhammad adalah konsep yang paling sederhana, yaitu : “TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH, kalau bukan pencipta alam maka bukan tuhan”. Saul agak rumit pada konsep TRINITASnya, sedangkan Budha kuat tapi Tuhan ini terlalu manusia. Tetapi dari Abraham hingga Budha ini memiliki “deep of theology” yang besar. Jadi “agama baru” ini akan sudah bernafas, kecuali mendapat tekanan dari Islam konsevatif, semakin ditekan maka semakin kuat walaupun konsep ketuhanannya rapuh.
Hormat Saya untuk Pak Pradana
Komentar Masuk (4)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)