Agama dalam Cetakan Baru - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
08/12/2003

Agama dalam Cetakan Baru

Oleh Hatim Gazali

Penting kiranya membuat mekanisme transformasi pemahaman agama yang inklusif kepada masyarakat secara umum sebagai salah satu upaya meminimalkan adanya ketegangan di antara pemeluk agama. Singkatnya, agama hanya dipanggil ketika ada kebutuhan legitimasi dan dicampakkan ketika menagih tanggung jawab moral.

SAMPAI detik ini, agama masih diyakini pemeluknya sebagai sumber ketenangan, keamanan, dan kedamaian. Agama juga dianggap sebagai sumber pemecahan masalah (problem solver) dalam kehidupan penganutnya.

Namun, kenyataannya, agama tidak jarang menjadi salah satu faktor pemicu ketegangan dan konflik, baik di antara sesama penganut (internal) agama itu maupun dengan penganut (eksternal) agama lain. Dalam hal ini, agama malah menjadi sumber permasalahan (problem maker). Ketika dipahami dan dihadapkan pada realitas sosial, agama sebagai kumpulan wahyu Tuhan ternyata bisa melahirkan berbagai konflik di antara manusia.

Jika demikian, benar ungkapan R. Scopt Appleby dalam The Ambivalence of the Sacred, Religion, Violence, and Reconciliation (2000) yang menyatakan adanya ambiguitas fungsi agama. Pada satu sisi, agama bisa menghasilkan nilai-nilai humanistis, toleran, inklusif, cinta kasih, dan perdamaian. Namun, di sisi lain, agama membuahkan otoritarianisme, kekerasan, konflik, serta peperangan.

Penyebabnya, antara lain, masing-masing pemeluk agama secara eksklusif mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar dan agama orang lain adalah salah. Estra Ecclesian nulla salus (tidak ada keselamatan di luar gereja). Karena itu, ketika kebenaran suatu agama dibawa “ke luar”, yang terjadi adalah gesekan dan ketegangan, clash antara pemeluk agama yang satu dan lainnya, bukan perjumpaan (en counter).

Akibatnya, hubungan antarumat beragama pun diwarnai sikap saling curiga, apriori, dan tidak toleran terhadap penganut agama yang berbeda. Salah satu penyebab berbagai peristiwa kekerasan yang berdimensi agama di tanah air adalah faktor keberagamaan yang eksklusif itu. Meski, tidak menutup kemungkinan faktor-faktor lain seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya turut memberi warna dan sentimen dalam konflik tersebut.

Untuk menghambat laju konflik yang berdimensi agama itu, tampaknya, kita memang harus merumuskan kembali cara pandang dan pemahaman terhadap agama kita sendiri dan agama orang lain, termasuk merumuskan cara kita mesti hidup dengan kelompok-kelompok lain (others).

Dalam konteks ini, ada beberapa cara yang bisa ditempuh. Pertama, perubahan paradigma teologis dari yang eksklusif kepada yang inklusif-transformatif. Teologi yang dikonstruksi ulama klasik dalam hubungan antaragama yang sangat tidak harmonis menjadikan teologi tampak eksklusif, double standard, dan curiga terhadap orang lain. Teologi semacam itu -barangkali- kontekstual dengan zamannya. Namun, ketika zaman yang menandakan pluralitas agama tidak bisa ditolak sebagai kenyataan dan hukum alam, perubahan terhadap teologi juga menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendasar sebagai landasan dalam kehidupan beragama dalam aras praksis.

Teologi inklusif-transformatif tersebut merupakan sebuah teologi yang menempatkan manusia secara umum pada posisi setara tanpa memandang perbedaan agama, etnis, ras, bahasa, dan suku (QS 3:64). Pada tingkat ini, semua manusia diharapkan mampu menjadi khalifah Tuhan di muka bumi ini (khalifatullah fiy al-ardh) untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan menjaga keharmonisan semesta alam. Karena itu, peperangan, konflik agama, atau pertengkaran harus ditinggalkan dan dijauhi sebagai bentuk tanggung jawab bersama atas kelangsungan hidup ini.

Dalam konteks agama-agama, semua agama memiliki titik konvergensi (dalam bahasa Alquran: kalimatun sawa’) sebagai pemersatu dari dari adanya pluralitas keyakinan dan agama. Teologi inklusif-transformatif tidak hanya berusaha membuka adanya kemungkinan kebenaran terhadap yang di luar keyakinannya, tetapi menjadikan ketenteraman serta perdamaian dunia sebagai tanggung jawab bersama. Artinya, nilai-nilai universal seperti kasih (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah ’ammah), keadilan (’adl), persamaan, dan sebagainya bisa menjadi “payung” semua agama untuk bekerja sama dalam aksi-aksi kemanusiaan. Segala bentuk kejatahan, kekerasan, atau terorisme harus diperangi bersama sebagai wujud solidaritas kemanusiaan secara universal.

Rasulullah pernah bersabda: “Wahai manusia sekalian, sebarluaskanlah perdamaian, eratkanlah tali persaudaraan, berilah makan (kepada mereka yang kelaparan), kerjakanlah salat ketika kebanyakan orang tidur di waktu malam, maka kamu akan masuk surga dengan penuh kesejahteraan” (Subulussalam, Jilid 4, hlm 209).

Kedua, perlunya merombak nalar fikih (Islam), hukum kanonis (Kristen), serta ajaran-ajaran formalistis lainnya. Hal itu penting dilakukan. Sebab, baik fikih (Islam) maupun kanonis (Kristen) merupakan seperangkat aturan agama yang sangat menyentuh realitas sosial yang sering menolak kelompok lain. Sejumlah kitab klasik seperti Fath al-Qorib atau Fath al-Mu’in masih memosisikan nonmuslim sebagai kafir -baik dzimmy maupun harby- yang harus “takluk” terhadap Islam. Di situlah pentingnya adanya gagasan Fiqih Lintas Agama (Paramadina, 2003) sebagai langkah awal untuk merumuskan sebuah fikih yang dialogis dan kompromistis terhadap agama lain. Di situlah pentingnya dekonstruksi (al-qathi’ah al-ma’rafiyah) dan rekonstruksi (al-tawashul al-ma’rafy) terhadap fikih klasik.

Ketiga, agama dan politik (negara). Dalam catatan sejarah, hubungan agama dan negara sering menimbulkan banyak problem. Politisasi agama dilakukan para birokrat negara demi kepentingan dan target tertentu. Konflik agama dan negara merupakan contoh yang sangat gamblang. Di tangan para elite negara, agama sering digunakan sebagai legitimasi kepentingannya. Begitu pula sebaliknya, negara dalam pandangan para agamawan sering dipahami sebagai media misionaris, menyebarkan ajaran-ajaran agamanya melalui kebijakan negara.

Hubungan tumpang-tindih antara agama dan negara sering meminta korban yang tidak sedikit, baik korban secara psikologis, fisikal, maupun material. Pada kondisi tersebut, seharusnya agama dan negara bisa bekerja sama bukan untuk membius (to opiate) masyarakat, tetapi sebagai media untuk menyejahterakan masyarakat secara umum.

Keempat, transformasi pengetahuan. Pemahaman agama yang inklusif-transformatif sering berhenti hanya di tingkat elite. Sebab, yang berseteru lebih banyak dari masyarakat bawah (grass root society), bukan kalangan elite (agama-negara). Mereka (masyarakat) hanya dijadikan alat bagi kelompok tertentu untuk memusnahkan kelompok lain. Hal tersebut, antara lain, disebabkan gagalnya transformasi pemahaman yang inklusif-transformatif kepada masyarakat secara umum. Para da’i (misionaris) masih menyuguhkan sebuah format agama yang keras, rigid, dan eksklsuif.

Dengan demikian, penting kiranya membuat mekanisme transformasi pemahaman agama yang inklusif kepada masyarakat secara umum sebagai salah satu upaya meminimalkan adanya ketegangan di antara pemeluk agama. Singkatnya, agama hanya dipanggil ketika ada kebutuhan legitimasi dan dicampakkan ketika menagih tanggung jawab moral.

Akhirnya, agama dalam cetakan baru bukan merupakan sebuah agama baru, tetapi sebuah rumusan agama yang menyuguhkan nilai-nilai inklusivisme, humanisme, serta bersifat transformatif kepada segenap ruang-ruang kehidupan. ***

Hatim Gazali, pemerhati masalah sosial-keagamaan, alumnus PP Zainul Huda, Arjasa, Kangean, Sumenep, Jawa Timur

08/12/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (4)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Saya tertarik dengan komentar Dwi Nugroho.

Apa betul Islam itu sudah lengkap? Mana ayat yang mengatur modifikasi genetis, kloning, pemakaian persenjataan nuklir, jual beli future, puasa di wilayah kutub yang siang malamnya berbulan-bulan, ada tidaknya bakteri di Mars dan segala macam pertanyaan zaman ini?  Jadi, mari kita renungkan lagi kelengkapan Islam, sebelum asal ngomong tanpa berpijak pada kenyataan.

Sedangkan perilaku Khulafaur Rasyidin yang cenderung diktator serta nepotis, bukankah itu tak murni humanis? Jikalau para Khulafaur Rasyidin bersikap dewasa dan humanis/spiritual, dan tidak terbebani pamrih politik praktis, umat Islam tak akan terpecah menjadi Sunni dan Syiah.

Marilah kita beragama Islam dengan wajar dan tidak memabukkan diri dengan slogan-slogan kosong.

Salam, Bram.
-----

Posted by Bramantyp Prijosusilo  on  12/22  at  07:12 PM

Apa yang dikatakan hatim, adalah hal yang wajar. Karena selama ini memang watak keberagamaan umat beragama sendiri masih sebatas dan sekedar formalitas an sich. Maka, sangat tidak cocok jika hatim mengatakan bahwa agama hanya di panggil ketika ada kebutuhan legitimasi dan dicampakkan ketika menagih tanggung jawab moral.  Tapi jangan salah, bahwa agama selama ini sudah tertanam kuat dalam sanubari setiap individu. Itulah agama . Bahwa agama adalah bukan sekedar suatu kebutuhan yang sesaat bisa dipanggil dan dipanggil. Agama muncul bersamaan dengan keberadaan manusia sendiri. Kepercaayaan seorang primitif akan suatu keberadaan kekuatan diluar dirinya secara langsung, itu menjadikan dia beragama. Jadi agama sudah melekat dalam diri manusia, kapanpun dan dimanapun, dan tidak ada kata dan statement bahwa agama itu dipanggil atau tidak dipanggil. gitu kang...???!!!!

Posted by mustafa ahmad  on  12/10  at  08:12 PM

Islam sejak awalnya sudah bagus, dan tidak ada yang lebih bagus dari Islam. Islam mengatur secara menyeluruh dan paripurna semua aktivitas manusia sehingga bisa menjadi suatu kaidah hukum yang lengkap. Mana ada agama yang seperti ini.

Karena tidak mempunyai konsep paripurna maka agama lain jatuh kedalam nilai moral, bukan nilai agama. Islam tidak perlu, karena sudah lengkap. Yang perlu kita lakukan adalah menggali kembali dan merefleksikan kembali nilai nilai paripurna yang luhur tersebut dalam berkehidupan pada masa sekarang.

Apakah menurut anda tindakan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin mengandung nilai yang tidak humanis? Bila penulis meyakini kemurnian humanisme tindakan beliau, marilah kita sama sama mencontoh dan menggalakkan umat Islam yang lain untuk mencontoh keindahan perilaku beliau.

Posted by Dwi Nugroho  on  12/10  at  07:13 AM

Tulisan saudara Hatim Gazali di Jawa Pos kemaren terus terang menggugah saya untuk memberikan catatan dan tanggapan melalui media ini.  Memang harus diakui, bahwa gagasan yang dipaparkannya cukup baik dan memukai. Walaupun tidak ditemukan gagasan yang genuin, tapi apa yang diungkapkan oleh Hatim Gazali tidak selalu benar.  Salah satu ungkapan Hatim adalah agama hanya dipanggil ketika ada kebutuhan legitimasi dan dicampakkan ketika menagih tanggungjawab moral. Ungkapan ini tidak selamanya benar, sebab bukti sejarah telah mencatat akan keberhasilan agama dalam membangun peradaban dunia. Suatu peradaban selalu mendapat backing dari agama. Maka sangat kurang tepat apa yang dikatakan Hatim di atas.  Demikian, semoga melalui ini saya bisa kenal Hatim . Terima kasih

Posted by Ubaidillah  on  12/09  at  09:12 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq