Agama dan Pencerahan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
17/05/2004

Agama dan Pencerahan

Oleh Luthfi Assyaukanie

Dua ratus dua puluh tahun lalu, Immanuel Kant menulis sebuah risalah kecil berjudul “Apa Itu Pencerahan?”. Menurut Kant, pencerahan adalah bangkitnya manusia dari rasa ketidakmatangan. Orang-orang yang tercerahkan selalu berpikir ke depan dan selalu memikirkan kemungkinan yang lebih baik dari kondisi yang ada. Karena itulah mereka berani menggunakan pemahamannya sendiri dan membuang jauh-jauh pandangan-pandangan dari masa silam yang tak lagi relevan.

Sekitar 220 tahun lalu, Immanuel Kant menulis sebuah risalah kecil berjudul “Apa Itu Pencerahan?”. Atau dalam bahasa Jerman, aufklarung. Risalah ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kerap dilontarkan banyak intelektual pada masa itu.

Menurut Kant, pencerahan adalah bangkitnya manusia dari rasa ketidakmatangan. Sedangkan ketidakmatangan sendiri adalah “ketidakmampuan menggunakan penalaran pribadi” dan keinginan untuk selalu merujuk dan menggunakan pendapat orang lain. Manusia menjadi tidak matang bukan karena dia tidak mau berpikir, tapi karena dia takut menggunakan pemahamannya sendiri.

Inti dari zaman pencerahan di Eropa --di mana Kant sebagai salah satu pionirnya-- adalah anjuran menggunakan pemahaman sendiri, dan membuang jauh-jauh pemahaman orang lain yang tidak relevan. Selama kita masih bergantung kepada pemahaman orang lain, selama itu pula kita tak akan pernah matang. Dan karenanya, tak akan bisa tercerahkan.

Semboyan pencerahan yang sangat terkenal adalah “Sapere Aude!” yang berarti “beranilah menggunakan pemahaman Anda sendiri!” Dengan kata lain, orang yang tidak berani menggunakan pemahamannya sendiri bukanlah orang yang tercerahkan.

Yang ditekankan dalam pencerahan bukanlah “menggunakan pemahaman sendiri,” tapi “berani.” Beranikah kita, misalnya, menggunakan pemahaman kita sendiri terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang kita hadapai sekarang? Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan di luar kita? Misalnya berhadapan dengan Sayyid Qutb, al-Banna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd al-Wahab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri.

Pencerahan memerlukan kedewasaan dan kematangan. Orang yang selalu menganggap orang lain lebih besar dan lebih otoritatif dari dirinya, tak akan pernah bisa dewasa dan tak akan pernah bisa matang. Hal-hal baru ditemukan bukan dengan mengulang-ngulang pendapat lama, tapi mencari sendiri pendapat baru secara kreatif. Pengulang-ulangan pendapat orang lain tak akan membawa seseorang ke mana-mana, kecuali ke masa silam itu sendiri, yang menjadi rujukannya.

Gerakan pembaruan keagamaan adalah gerakan pencerahan. Ia seperti gerakan aufklarung di Jerman yang dimotori oleh Kant. Para pembaru agama adalah orang-orang yang tercerahkan dan orang-orang yang telah mendapatkan kematangan dirinya.

“Keberanian” seperti juga “kebebasan.” Ia adalah suatu konsep yang paling sulit diterima manusia. Karena manusia cenderung menerima apa yang sudah ada, yang sudah jadi. Sesuatu yang “liar” dan “tanpa batas” adalah sesuatu yang menakutkan. Karenanya, buat mereka, lebih baik menerima kondisi yang ada, meskipun itu buruk dan tidak menarik.

Orang-orang yang tercerahkan selalu berpikir ke depan dan selalu memikirkan kemungkinan yang lebih baik dari kondisi yang ada. Karena itulah mereka berani menggunakan pemahamannya sendiri dan membuang jauh-jauh pandangan-pandangan dari masa silam yang tak lagi relevan.

Selama kita masih terus mengulang-ulang pendapat orang-orang di masa silam dan takut mengemukakan pendapat kita sendiri, selama itu pula kita tak pernah tercerahkan. [Luthfi Assyaukanie]

17/05/2004 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (8)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Pencerahan Yang Mana ?

Saya sependapat dengan pendapat Anda, “selama takut mengemukakan pendapat kita sendiri, selama itu pula kita tak pernah tercerahkan”. Sebab, selain persepsi tersebut senafas dengan pola “lateral thinking”-nya Edward De Bono (1990), sikap seperti itu mencerminkan kemerdekaan yang sejati.

Oleh karenanya, pendapat Kant bahwa “pencerahan adalah bangkitnya manusia dari rasa ketidakmatangan”, saya kira kurang pada tempatnya. Seyogianya, pencerahan adalah serangkaian usaha “membangkitkan” manusia dari ketidakmatangan, dalam rangka menemukan dan mengeksiskan jati dirinya.

Pencerahan itu sendiri, hemat saya, dapat dikelompokkan menjadi dua. Yang bersifat mikrokosmos dan bersifat makrokosmos. Yang bersifat mikrokosmos adalah yang dilakukan oleh sesama manusia kaitannya dengan hal-hal keduniawian. Atau dapat dikatakan yang berkaitan tentang ilmu-ilmu dunia.

Sedangkan pencerahan yang bersifat makrokosmos adalah pencerahan yang dilakukan oleh Tuhan sendiri. Sudah barang tentu, terjadi hanya melalui kepanjangan-Nya, khalifah/rasul. Permasalahannya berkaitan dengan perkara-perkara akherat (ilmu tentang akherat). Sebab, yang tahu secara pasti tentang akherat hanyalah Tuhan sendiri. Pencerahan ini dimulai dengan diturunkannya Adam (sebagai rasul pertama, bukan manusia pertama).

Fakta mengatakan sebelum Adam diutus, pekerjaan manusia hanyalah membuat kerusakan dimuka bumi dan membuat pertumpahan darah. Diperkuat dengan protesnya para malaikat ketika dimintai “persetujuan” hendak dibuatnya khalifah. Itu artinya mereka (malaikat) memang tahu persis kenyataan yang terjadi. Oleh karenanya, pencerahan makrokosmos ini merupakan suatu “keniscayaan”.

Ditindaklanjuti dengan pencerahan-pencerahan berikutnya melalui rasul-rasul yang selanjutnya. Dimana, metode sistem maupun peraturan yang dibawa para rasul itulah yang belakangan disebut “agama”. Seperangkat peraturan yang dapat mencegah dan mengantar pemeluknya tidak rusak. Baik tidak rusak ketika hidup di dunia maupun tidak rusak di akherat kelak.

Jadi, seruan yang langsung disampaikan oleh rasul-Nya itulah yang dikatakan pencerahan yang “hakiki”. Sedangkan pencerahan yang dilakukan oleh Kant maupun para tokohnya, merupakan pencerahan yang sifatnya “pembantu” dari pencerahan yang makrokosmos. Tuhan pun memang berkehendak menjadikan pencerahan makrokosmos tersebut abadi sampai kiyamat. Melalui firman-Nya menegaskan…dan Rasul-Nya pun selalu berada di tengah-tengah kamu..” (Q.S. 3:101), maupun “…sesungguhnya telah datang Rasul itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah kamu,…” (Q.S. 4:170).

("Kamu" yang dalam arti luas : nenek moyang, kita-kita, anak cucu, dan semua spesies manusia sampai kiyamat nanti. Bukan “kamu” yang menyaksikan jiwa raga Muhammad saw saja. Karena bila diartikan demikian, logikanya, Al Quran tidak “cocok” lagi untuk “kamu” yang sekarang (kita) dan “kamu-kamu” yang seterusnya [anak, cucu, cicit, dst]).

Dengan demikian, orang-orang yang dapat menangkap semua pesan Tuhan, baik yang tersirat dan tersurat dalam kitab-Nya, maupun yang langsung melalui rasul-Nya, itulah orang yang “tercerahkan”.
-----

Posted by Roni Djamaloeddin  on  05/31  at  04:05 AM

Saya sependapat dgn penulis, bahwa kunci dari pencerahan adalah berani menggunakan pemahamannya sendiri.  Dimana dalam proses ini, kemampuan kreatifitas pun menjadi salah satu tuntutan agar bisa menghasilkan pemikiran-pemikiran baru.

Tapi, ada satu yang kurang dari tulisan di artikel tsb. adalah, juga berani “menguji” atau “diuji” pemikiran tersebut.  Suatu pemikiran yang menuju suatu kebenaran perlu diuji.  Bangsa Eropa abad pencerahan itu bisa memunculkan pemikiran yang hingga bertahan hari ini karena pemikiran tersebut “sejalan” dgn kebenaran itu sendiri.  Di saat itu dimana pemahaman yang berlaku adalah yang dogmatis, maka dengan memunculkan pemikiran yang bisa “dibuktikan” atau diperkuat dgn bukti melalui verifikasi pada alam semesta menjadi begitu kuat dan tak tergoyahkan.  Sejarah telah membuktikan bahwa hanya pemikiran yang “terdukung” oleh suatu “kebenaran” lah yang bisa bertahan dari berbagai gempuran dari pemikiran lain.  Karena kreatifitas bisa mengarah kemana saja.  Bisa menuju ke The Truth atau sebaliknya bisa juga menuju ke The Deceiver.

Jadi perlu ditambahkan bahwa orang-orang yang tercerahkan itu adalah orang-orang yang berani menggunakan pemahamannya sendiri dan berani mengujinya (diuji) apakah pemahamannya sudah menuju ke Sang Maha Kebenaran.  Dan untuk itu diperlukan metoda-metoda bagaimana kita bisa menguji pemikiran-pemikiran yang muncul itu.

NB: Kadang manusia tidak berani menggunakan pemahamannya sendiri, karena sebenarnya “takut” untuk “duji” 

salam,

-ai-

Posted by adi ok  on  05/27  at  12:05 PM

bismillahirrahmaanirrahiim.. indonesia sedang membutuhkan mereka yang memang mengalami pencerahan, karena memang orang-orang yang tercerahkan yang berani berbuat manfaat, memutuskan keberanian sikap yang kesemuanya solutif.. solusi tak akan solutif jika lahir dari stagnasi..

sayangnya, mereka yg meng-klaim dirinya “tercerahkan” itu hanya sampai tataran pemikiran saja, mengumbar opini, tanpa produktifitas solusi…

opini bisa jadi solutif ketika membawa perubahan kualitas sikap-kualitas hidup yang ditunjukan lewat satu paket indikator iman. yang secara komunal ditunjukan oleh nuansa produktifitas, minimumnya waktu yang terbuang.. langkanya penderitaan..sedikitnya keburukan..

opini bisa jadi solutif, ketika diinteraksikan dengan orang lain dan kemudian mendapatkan respon yang akhirnya berwujud tindakan, yang mengandung manfaat secara subyektif dan obyektif..

Ayo jadi mukmin yang muslim , yang tercerahkan & mencerahkan…

wallahu’alam bishshawab

Posted by ciwid  on  05/25  at  03:05 PM

Agama terutama Islam adalah agama yang diturunkan Allah untuk mengatur manusia. Jadi semua yang ikhlas memeluk agama Islam harus mau diatur oleh Allah sesuai peraturan yang telah diberlakukanNya lewat Al Quran.

Lalu mengenai pendapat anda itu bisa saya artikan dalam kalimat sederhana saja, yakni “Sudah bosan mengikuti peraturan Allah, mari kita bikin peraturan sendiri!” Tepatnya anda sudah termasuk the rebel society, yang ingin merombak sistem yang sudah mapan (sama halnya seperti hippies). Lalu setelah dirombak apakah anda akan mendapat kesempurnaan?

Sudah banyak contoh pengalaman pahit dalam merubah peraturan Allah. Contohnya adalah Bible. Sebagaimana kita tahu bahwa Bible sekarang itu adalah hasil dari sistem yang anda impikan saat ini. Toh apa yang dihasilkan? Bible tidak sesuai dengan sains yang akhirnya berujung pada sekularisme, akibat dari ahli-ahli kitab yang bereksperimen terhadap ayat-ayat Allah sehingga mengaburkan makna sebenarnya dari Bible (yang dulunya adalah Injil).

Jadi sebaiknya jangan mengoprek-oprek sistem yang sudah baku kalau ternyata lebih banyak mudharatnya. Beribadatlah (karena memang itu fungsi kita dihadapanNya) tanpa memikirkan aspek-aspek Islam yang fundamental. Atau apakah anda lebih bangga disejajarkan dengan Islam kepala dingin (sesuai dengan klasifikasi Abdalla)? Sampai-sampai otak anda membeku dan sel-sel otak anda berhenti bekerja yang akhirnya tidak dapat berpikir secara jernih? Lebih baik dengan otak bersuhu normal saja.

Posted by Joko Pramono  on  05/25  at  06:05 AM

Saya sependapat bahwa, berani menggunakan pemahaman sendiri, yang merupakan ciri khas orang-orang “tercerahkan”, merupakan tanda kedewasaan. Namun sayangnya artikel di atas tidak menyinggung soal proses individuasi. Hemat saya, motto aufklerung mengandaikan proses individuasi. Individuasi terjadi ketika individu atau person dilihat sebagai pribadi yang khas dan bebas, dan bukan komponen kelompok maupun grup. Ini tidak berarti bahwa individu mutlak dependen dari kelompok atau masyarakat sebagaimana yang dipahami eksistensialisme model Satre. Kaitan antara individu dan kelompok tetap ada, tetapi tidak mutlak. Proses pencerahan hanya mungkin terjadi jika ada proses individuasi. Sepanjang individu dilihat sebagai komponen dan bagian kelompok yang mutlak, maka proses pencerahan hanya lamunan di siang bolong. Primordialisme merupakan antipoda dari individuasi. Di Indonesia, fenomena sosial yang justru mencolok adalah primordialisme (agama, suku, ras, dsb). Misalnya, di sini, orang pindah agama saja diributkan atas nama kristenisasilah, islamisasi, hinduisasi, dll. Padahal, bisa jadi bahwa pilihan pindah agama itu merupakan pilihan pribadi, dan bukan karena pengaruh, iming-iming dan paksaaan.

Posted by Iwan Hendarmawan  on  05/21  at  04:05 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq