Agama dan Problem Sosial - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
19/04/2004

Agama dan Problem Sosial

Oleh Abdul Mukti

Agama diyakini pemeluknya sebagai pembawa nilai humanistik-transendental seperti perdamaian, kerukunan, keadilan, dan keseteraan. Tetapi, tataran ideal yang menawan itu tidak selalu sesuai dengan logika sosial. Bagaimana kemudian agama bergumul antara kesuciannya dan gerak sejarah manusia?

Identitas masyarakat “agamis” yang melekat pada bangsa Indonesia ternyata tidak selalu mendapatkan pengabsahannya. Ini bisa kita lihat dalam ranah sosiologis. Ada kesenjangan yang menganga antara doktrin keagamaan yang ideal dan fakta empirik yang dapat disaksikan di lapangan. Umumnya, agama, apapun namanya, pada tataran idealnya selalu diyakini oleh pemeluknya sebagai pembawa nilai-nilai adiluhung seperti perdamaian, kerukunan, keadilan, keseteraan dan sejumlah nilai humanistik-transendental lainnya. Pendeknya, agama hadir di muka bumi dengan mengusung seperangkat ajaran yang selalu berkonotasi pada nilai-nilai kebajikan. Karena itu, prilaku yang mengarah kepada kekerasan, terorisme, kedzaliman, keangkuhan, diskriminasi, intoleransi selalu dianggap sebagai contradicto in terminis dengan agama. Karenanya, agama dalam kondisi apapun, oleh pemeluknya yang fanatik, harus dicitrakan sebagai pemilik kebenaran dan kesucian. Biasanya, kaum beragama akan mengajukan alibi klasik; “yang salah bukan agamanya, tetapi pemeluknya”.

Tetapi, tataran ideal agama yang demikian menawan itu tidak selalu sesuai dengan logika sosial. Ada sejumlah kesulitan tersendiri untuk mentransformasikan nilai-nilai ideal agama ke dalam gerak sosial kemasyarakatan. “Kesucian” agama pada gilirannya harus “bertarung” dengan dimensi ruang dan waktu dimana “ketidaksucian” manusia ikut berperan. Agama yang suci harus bergumul dengan dialektika sejarah yang profan. Akibatnya, klaim bahwa agama itu suci seringkali ternoda oleh keprofanan pelaku agama. Dan karenanya, pergumulan antara kesucian agama dengan gerak sejarah manusia seringkali menciptakan ketegangan teologis (theological barrier). Yaitu ketegangan antara keharusan memepertahankan kebenaran teks suci secara skripturalistik dan keharusan melakukan perubahan tanpa harus mematuhi bunyi teks Suci secara rigid. Di sini kaum beragama menjumpai problem teologis.

Sebagai contoh, aksi-aksi kekerasan berlabel agama yang diduga sebagai ekses negatif dari hegomoni kapitalisme dan globalisme adalah bukti bahwa pemeluk agama tertentu sedang mengalami ketegangan. Baik ketegangan dalam memaknai doktrin maupun ketegangan dalam menyikapi modernitas. Akibatnya, produk keberagamaan yang muncul adalah “keberagamaan yang tegang”. Konsep jihad sebagai acuan teologis terorisme yang diyakini kaum fundamentalis sebagai cara kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah ternyata gagal memberikan citra positif terhadap kesantunan agama. Alih-alih membela agama, yang terjadi malah “menjerumuskan” agama. Hal ini terjadi karena kaum beragama tidak sanggup membaca doktrin dan realitas secara kritis. Jatuhnya korban sipil dalam aksi terorisme bermerk agama adalah bukti paling jelas tentang “kekacauan teologis”.

Keberimanan dan Keberislaman

Sekarang marilah kita lihat kecenderungan umum pola keberagamaan kita. Sungguhpun secara retorik masyarakat kita tergolong masyarakat religius, namun labelisasi itu pada kenyataannya harus berani untuk diverivikasi dengan realitas sosial. Sebab, keberagamaan bukan dikembalikan kepada pemiliknya (Tuhan) akan tetapi kepada penerimanya (manusia). Karena itu, untuk mengukur apakah seseorang sudah beragama dengan benar atau tidak, bukan terletak pada pengoperasian simbol-simbol agama secara ritualistik. Tetapi justru terletak pada apakah seseorang sudah mentransforrmasikan smbol-simbol itu ke dalam gerak sosial secara nyata. Sehingga apa yang disebut sebagai Maqasid al-Syari’ah (tujuan syari’at) seperti keadilan, kesejahteraan, perdamaian, kesetaraan dan lain-lain dapat terlihat dan terasa.

Dengan meninjau konstruski cara beragama secara ideal di atas, dimana kita dapat melihat problem kemanusiaan yang konkret sebagai pijakan untuk merumuskan teologi baru, maka kita harus selalu memahami “al-Islam” secara baru. Salah satu barometer keberimanan sesorang adalah sejauhmana ia dapat membuktikannya pada tingkat praksis. Keberimanan selalu bersifat privat dan abstrak sedangkan keberislaman selalu bersifat publik dan praksis. Islam harus selalu dimaknai sebagai proses kerja. Ia pembebasan bukan kebebasan. Seseorang dapat disebut sebagai Muslim jika ia mampu mentransfer ruh keimanan ke dalam sistem budaya-budaya ihsan (akhlak). Sebagai contoh keberimanan yang praksis adalah seperti yang dikatakan dalam hadis Nabi bahwa “tidak beriman seseorang jika membiarkan tetangganya kelaparan sedangkan ia sendiri tidur kekenyangan”. Karena itu, persenyawaan antara Iman, Islam, dan Ihsan menjadi tolok ukur bagi terselenggaranya aksi-aksi sosial keagamaan.

Maka, dalam kaitan ini, ada tiga hal yang perlu dipikirkan sebagai bahan perenungan; pertama, para elit agama (ulama/kiai) harus berani “meninggalkan” tafsir mistis atas agama. Problem-problem konkret kemanusiaan tidak lagi relevan untuk didekati secara tradisional. Ia membutuhkan perangkat yang rasional dan ilmiah. Para elit agama harus jeli melihat denyut perubahan. Problem kemiskinan misalnya tidak lagi cocok didekati secara tradisonal dengan menyebut semata sebagai suratan. Masalah kekeringan yang melanda banyak petani di Jawa tidak pas lagi kalau dipahami hanya semata sebagai ujian dari Tuhan. Ada nalar keagamaan yang lebih tepat yaitu bagaimana menjaga lingkungan itu menjadi bagian dari cara beragama kita. Agama harus masuk sebagai “juru runding” dengan memakai pendekatan yang tepat, bukan apriori tetapi a-postoriori (berangkat dari yang konkrit);

Kedua, kita harus menggaris bawahi bahwa “kebangkitan agama” harus berimplikasi pada kebangkitan umat beragama baik pada wilayah sosial- ekonomi- politik dan pembangunan kultural. Karena itu, strategi membangkitkan agama harus juga melibatkan strategi pembangunan ekonomi-sosial-politik dan kultur. Membangkitkan agama harus selalu dalam pengertian pluralis, tidak sekterian;

Ketiga, agama (Islam) harus selalu dipahami sebagai pola tindak. Aspek afektif (berbuat) dalam beragama harus menjadi prioritas ketimbang aspek kognitifnya. Hal ini bukan berarti mempelajari agama secara teoritis tidak penting. Persoalan agama, dalam hal ini Islam, haruslah selalu berorientasi pada amal. Dengan begini, tafsir keagamaan akan tertuju ke arah “aksi” pembebasan dan pemberdayaan umat. Gerakan-gerakan pembebasan sosio-kultural maupun politik-ekonomis akan mekar dan menjadi mode dan alternatif di mana-mana. Kiai-kiai dan para ulama dengan sendirinya tidak boleh absen dari aksi pembebasan ini. Mereka tidak boleh lagi mengurung diri di “singgasananya”. Mereka—secara harfiah dan metaforik—meminjam bahasa Kang Sobari, harus mencampakkan jubah dan ikut terjun dalam praksis kehidupan.

Inilah panggilan keduniaan para agamawan yang diharapkan dapat menyemarakan hidup keberagamaan, bisa menerjemahkan sukma Islam ke dalam aksi-aksi kemanusiaan secara nyata dan terasa. Bukankah kita tidak ingin disebut-sebut sebagai bangsa yang agamis yang hanya berada pada ruang retorik? Wallahu a’lam bi al-Shawab.

** Penulis adalah Mahasiswa pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

19/04/2004 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (1)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

yang menarik adalah mengenai “kekacauan teologi”. kekacauan teologi memang merupakan akibat dari salahnya penafsiran yang keluar dari realitas sebab teks. perlu kita menilik kembali peran Islam sebagai rahmat dengan kembali pada penafsiran yang tidak hanya tekstual, tetapi coba turun ke wilayah realitas. hal ini untuk menghindari salahnya penafsiran terhadap teks, sehingga tetap menjaga agama seperti agama bukan seperti yang lain.  keberagamaan memang tidak dapat terlihat dari apakah seorang penganut menjalankan simbol-simbol agama sebagai hal yang, mungkin, melebihi ritual yang penting. tapi menurut aku, penggunaan simbol-simbol itu adalah sebagai wujud dari eksistensi sebuah agama, entah apa pun itu. karena, sudah sifatnya bahwa sebuah agama ingin di anggap eksis dengan berbagai cara. permasalahannya terletak pada bagaimana cara tersebut diterapkan.
-----

Posted by E. Priyono  on  04/20  at  02:05 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq