Agama Rentan Jadi Sumber Konflik Politik - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Wawancara
31/03/2002

William R. Liddle: Agama Rentan Jadi Sumber Konflik Politik

Oleh Redaksi

Memang saya melihat itu sebagai masalah, tetapi saya tidak berpendapat bahwa Indonesia akan tenggelam di air laut, sebagai akibat dari konflik agama. Sebenarnya saya agak optimis mengenai masa depan Indonesia, khususnya mengenai soal pemilu tadi.

Sebuah konferensi internasional bertajuk “Tantangan Demokrasi di Dunia Muslim” baru-baru ini digelar di Jakarta. Penanggung jawab acara langka tersebut adalah seorang Indonesianis terkemuka dari Ohio State University, Prof. Dr. William R. Liddle. Berikut ini petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Liddle yang disiarkan Radio 68H dan jaringannya di seluruh Indonesia pada tanggal 21 Maret 2002.

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Kita coba secara spesifik mendiskusikan tema ini dikaitkan dengan keadaan di Indonesia. Menurut Anda, apa tantangan paling pokok dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia?

WILLIAM R. LIDDLE: Salah satu soal yang sering dipermasalahkan adalah sejauhmana ada ketidaksesuaian atau konflik antara negara-negara yang mayoritas beragama Islam dengan demokrasi. Salah satu temuan menarik adalah di beberapa negara yang mayoritas beragama Islam, mereka bisa menjadi demokratis tanpa ada tantangan yang terlalu besar. Kira-kira hal ini sesuai dengan pengalaman Indonesia —di mana Indonesia sekarang menjadi negara Islam terbesar di dunia dan juga negara demokratis ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Namun demikian, saya melihat bahwa tantangan terbesar dari konsolidasi demokrasi pada dua-tiga tahun ini adalah “ketakutan yang berlebihan” —meskipun ada dasarnya— terhadap Islam fundamentalis atau Islam militan.

ULIL: Bagaimana ketakutan itu bisa menjadi halangan terhadap konsolidasi demokrasi?

LIDDLE: Mungkin sebaiknya kita mulai dengan kerangka umum yang dipakai sebagian besar masyarakat Indonesia yang membicarakan masalah hubungan antara Islam dengan demokrasi. Ada orang yang mengatakan bahwa koalisi antar-partai di Indonesia cuma dimungkinkan antara dua kelompok besar: kelompok Islam dan nasionalis. Semua orang suka membicarakan partai politik, masa depan politik Islam di Indonesia dalam kerangka itu. Bagi saya, kerangka itu sangat keliru, sebab tidak ada dua kelompok: Islam dan nasionalis. Kalau sekarang ada yang dinamakan kelompok Islam, maka ia mewakili tidak lebih 3% dari masyarakat Indonesia. Ukurannya tentu bila kita hitung dari hasil pemilu 1999. Dengan demikian, kelompok nasionalis justru meraih 97% dari seluruh masyarakat Indonesia.

ULIL: Yang mungkin tidak diketahui banyak orang adalah bahwa apa yang disebut kelompok nasionalis sebetulnya mereka orang Islam juga. Ada yang pernah mengadakan riset dan menemukan bahwa 62% anggota PDI-P yang mencoblos pada tahun 1999 adalah santri yang taat.

LIDDLE: Ini menarik sekali karena penjelasan tersebut mencerminkan perubahan sosial kultural yang cukup besar pada masyarakat Indonesia. Kita tidak punya statistik seperti itu sejak tahun 1950-an.

ULIL: Kembali ke masalah awal tadi, mengapa ketakutan kepada Islam garis keras bisa membahayakan prospek demokrasi di Indonesia?

LIDDLE: Seperti kita lihat, konflik terbuka atau konflik fisik antara kelompok yang bersaing telah mulai terjadi. Kasus Yogya misalnya, gedung PDI-P dirusak oleh massa PPP. Banyak orang memprediksi bahwa menjelang tahun 2004, akan terjadi clash besar antara dua kelompok itu. Jadi semua orang mulai mempersiapkan diri, termasuk bila terjadi benturan fisik. Itu yang saya khawatirkan. Clash seperti itu bisa mendorong orang yang tidak menginginkan negara Islam menjadi takut dan mereka mencari perlindungan, umpamanya kepada tentara. Tentara tentu bersedia melindungi mereka seperti yang terjadi pada tahun 1950-1960-an. Akibatnya, politik akan menjurus kepada tentara, dan TNI punya pembenaran untuk masuk “gelanggang” lagi.

ULIL: Bukankah konflik antara PDI-P dan PPP di Yogya hanya mencerminkan pertengkaran di tingkat akar rumput? Apakah grassroots yang dihantui rasa takut atau level elit politiknya saja yang mengidap ketakutan berlebihan?

LIDDLE: Kadang-kadang pada level massa justru lebih takut daripada elitnya. Saya baru saja hadir dalam pertemuan antara para pemimpin NU dan Muhammadiyah. Para pemimpin NU dan Muhammadiyah itu mengatakan bahwa Islam di Indonesia tidak berbahaya. Kesan saya, para pimpinan ormas tidak ingin memicu konflik antara satu sama lain, apalagi antara Islam dengan non-Islam.

Tapi pada tingkat desa lain lagi. Pada tahun 1999 saya memantau pemilu di salah satu desa di Jawa Tengah. Di situ saya melihat perbenturan yang cukup tajam, sebab pada waktu itu ketakutan warga desa ditujukan kepada PAN. Di desa itu, PAN dianggap sebagai partai Muhammadiyah dan tidak berbeda dengan Masyumi dulu. Jadi PAN diposisikan sebagai partai Islam yang memperjuangkan cita-cita Islam sehingga partai-partai di luar PAN melawan.

ULIL: Bukankah sejak tahun 1950-an, juga sudah ada fenomena phobia Islam semacam itu? Silang pendapat pada sidang konstituante soal dasar negara, misalnya?

LIDDLE: Benar, tepatnya pada tahun 1955. Pada waktu itu, Masyumi diprediksi akan meraih suara mayoritas, yakni sekitar 60%-70% suara. Ini karena banyak orang, termasuk orang Muhammadiyah dan Masyumi, yang percaya bahwa masyarakat di desa akan memilih partai yang berdasarkan Islam.

ULIL: Ketika itu debat pada sidang konstituante mengenai dasar negara tidak pernah mencapai kata putus sehingga diintervensi oleh Bung Karno. Sebetulnya pada saat itu, meskipun ada perdebatan soal dasar negara tetapi tidak menimbulkan radikalisasi di kalangan massa. Kalaupun proses itu diintervensi oleh TNI bukan karena ada ketakutan akan terjadinya destabilisasi pada masyarakat. Kalau sekarang, apakah ketakutan ini cukup beralasan bagi militer untuk terjun kembali ke arena politik?

LIDDLE: Menurut pendapat saya, hal itu tentu saja tidak cukup beralasan. Saya meletakkan alasan tadi dalam kerangka yang lebih umum. Sumber konflik di Indonesia mulai tahun 1950-an hingga sekarang adalah agama, kedaerahan dan etnisitas. Dalam berbagai tahap perkembangan politik di Indonesia salah satu dari tiga sumber konflik tersebut muncul bergantian atau bebarengan. Sebenarnya sejak hancurnya PKI pada tahun 1966, konflik agama relatif tidak berkembang lagi. Etnisitas juga tidak lagi menjadi sumber konflik sekarang. Unsur kedaerahan juga sama: tidak lagi menjadi alasan pertikaian, sebab sekarang sudah ada UU No. 22 dan 23 1999 yang mengakomodir kepentingan daerah. Tinggal tersisa unsur agama.

Coba kita lihat PPP. Ada dua partai yang mengusung isu syariat Islam: PK dan PBB. Dua partai itu hanya mendapat 1% dan 2% dari seluruh suara. Jadi sama sekali tidak mengancam apa-apa. Mereka hampir di luar gelanggang politik, tetapi kemudian PPP mengusung isu yang sama. Mungkin mereka punya kalkulasi politik tertentu mengapa harus menggulirkan isu syariat Islam. PPP melihat empat partai besar lainnya tidak menggunakan doktrin Islam sebagai dasar mereka. PDIP, Golkar, PKB dan PAN menggunakan dasar, katakanlah, nasionalisme dan cenderung sekuler. Jadi PPP merasa bahwa ceruk kosong ini bisa dimanfaatkan untuk mengail suara.

ULIL: Kenapa isu pelaksanaan syariat Islam rentan menimbulkan kekhawatiran kaum non-Islam?

LIDDLE: Orang Kristen dan Hindu misalnya, merasa akan dijadikan warganegara kelas dua. Mereka diperlakukan sebagai dzimmi. Sementara cita-cita negara Indonesia adalah negara nasional di mana semua agama dianggap sama.

ULIL: Anda menganggap konflik agama begitu signifikan sehingga sampai pada ramalan bahwa pada 2004 yang akan dominan adalah konflik agama. Bukankah faktor etnisitas berpotensi lebih besar dilihat dari sudut eskalasi konflik di beberapa daerah?

LIDDLE: Mungkin saya harus membalikkan petanyaannya kepada Anda, sebab saya tidak tahu di daerah mana kita akan melihat konflik. Memang suatu hal yang baru yang sedang terjadi di Indonesia adalah desentralisasi politik juga, bukan cuma desentralisasi administrasi, seperti kita lihat tuntuntan untuk syariat Islam dilakukan di tingkat kabupaten atau provinsi atau apa. Mungkin sekali kita akan melihat konflik lokal dimana partai-partai sebetulnya mempunyai dasar suku bangsa di berbagai daerah. Jadi kita lihat PDIP yang Batak melawan Golkar yang Melayu, umpamanya sebagai contoh di salah satu daerah. Tapi saya belum melihat gejala-gejalanya.

ULIL: Tapi misalnya di Kalimantan; ada Madura, Dayak dan Melayu yang skala konfliknya begitu mendalam.

LIDDLE: Tapi apakah itu akan berkaitan dengan kepartaian, dengan percaturan politik di dalam pemilu, kampanye partai? Konflik Madura-Dayak tidak ada hubungannya dengan soal kepartaian.

ULIL: Jadi anda melihat ada kaitan antara konflik etnisitas dan agama dengan soal kepartaian yang pada gilirannya berhubungan dengan konsolidasi demokrasi. Dengan mengesampingkan dulu kemungkinan faktor agama sebagai sumber konflik yang makin besar di masa depan, bagaimana Anda melihat prospek demokrasi di Indonesia secara keseluruhan?

LIDDLE: Itu pertanyaan yang bagus, sebab saya kira pembicaraan kita tadi cenderung terlalu membesar-besarkan masalah yang saya bicarakan. Memang saya melihat itu sebagai masalah, tetapi saya tidak berpendapat bahwa Indonesia akan tenggelam di air laut, sebagai akibat dari konflik agama. Sebenarnya saya agak optimis mengenai masa depan Indonesia, khususnya mengenai soal pemilu tadi. Saya percaya pemilu 2004 akan diadakan. Ada beberapa orang yang sudah mulai bertanya apakah akan ada konflik yang terlalu besar.  Tapi saya percaya bahwa warisan atau keberhasilan kinerja Megawati yang utama adalah pemilu. Dan saya kira dia akan behasil. Setelah itu saya cukup yakin bahwa akan ada pemilu juga pada tahun 2009 dan seterusnya. Dan dengan itu kita akan melihat bahwa kaum militan, Islam radikal tidak mengancam sebetulnya. Masyarakat Indonesia akan menjadi lebih tenang mengenai masalah itu. Jadi kalau dalam kerangka yang lebih luas saya sebetulnya optimis.

ULIL: Kalau dilihat dari parameter pemilu tadi, Anda tidak melihat misalnya kemungkinan interupsi atau campur tangan kekuatan militer untuk menghentikan proses yang sudah mulai normal ini, seperti kasus Aljazair?

LIDDLE: Saya sama sekali tidak melihat itu.  Yang saya lihat justru militer sedang mencari visi baru yang belum mereka miliki sejak jatuhnya Soeharto. Seperti kita tahu, Soeharto menguasai tentara, Soeharto tidak dikuasai oleh tentara. Semua ide mengenai dwifungsi dan lainnya itu sebenarnya berasal dari Suharto dan teman-teman dia, dan setelah Suharto tidak ada lagi, orang-orang yang berkuasa di TNI tak tahu mau berbuat apa setelah itu. Termasuk orang seperti Wiranto, sebetulnya adalah ajudan Soeharto. Tidak lebih dari itu.

ULIL: Kalau kita lihat cita-cita partai-partai Islam yang ada di luar soal urusan syariat Islam yang tadi itu, misalnya pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan pemulihan ekonomi, tidak ada satu pandangan yang jelek dan melawan demokratisai, ya kan? Mereka tidak ada yang mengkampanyekan ekonomi tertutup misalnya?

LIDDLE: Memang saya kira yang paling perlu dikembangkan di sini adalah semacam ideologi baru yang menggabungkan kaum kiri untuk pemerataan dengan kenyataan bahwa pasar memainkan peran penting untuk mendapat petumbuhan. Tidak harus semata-mata mengandalkan pasar.

ULIL: Ok. Sekarang kalau kita membuat misalnya semacam segi tiga. Ada keinginan untuk pemerataan ekonomi, ada ekonomi pasar yang sudah tidak bisa lagi dihindari, tapi di segi lain juga ada tuntutan, misalnya, orang Islam untuk menerapkan syariat. Orang Islam bagaimana pun ingin agamanya itu berjalan. Bagaimana Anda merumuskan kira-kira adanya semacam trade off atau kompromi antara pasar bebas, pemerataan, dan juga berjalannya syariat?

LIDDLE: Pertama dan yang paling pokok, saya bukan orang Islam. Mungkin sebaiknya saya tidak menjawab petanyaan ini. Tapi saya baru dari NU dan Muhammadiyah dan yang saya lihat di sana adalah perjuangan dari dua belah pihak yang berdasakan pengertian mereka tentang agama, tetapi kedua-duanya tidak ingin memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu ke dalam konstitusi. Sebab mereka melihat syariat Islam itu lebih luas dari itu. Jadi Anda jangan menyudutkan saya dengan mengatakan bahwa perjuangan syariat Islam itu adalah seperti hanya mengenal satu pilihan saja. Ada banyak pilihan.

ULIL: Saya bertanya karena ini berkaitan dengan tantangan agar politik atau katakan politik partai-partai Islam mendatang mendapatkan platform yang baru, tidak sekedar misalnya syariat atau tujuh kata saja.

LIDDLE: Memang itu yang pokok. Memang saya berpandangan bahwa mayoritas pemilih untuk semua partai besar adalah orang Islam. Yang bisa kita harapkan dari partai-partai seperti itu adalah perjuangan berdasarkan pengertian yang lebih luas tentang Islam. Tetapi kita harus berhati-hati juga karena conversasi ini mungkin terlalu idealis sebab kalau saya lihat partai-partai dan para tokoh partai, saya belum yakin mereka akan memperjuangkan cita-cita apapun kecuali cita-cita kantong mereka.

ULIL: Kita ingin menyampaikan kritik di forum ini bahwa perjuangan Islam tidak hanya sekitar tujuh kata, bisa beribu-ribu kata, berkaitan dengan pemulihan ekonomi, pemberantasan korupsi, kemiskinan, dan sebagainya dan sebagainya.

LIDDLE: Itu hak Anda untuk menentukan apapun sebagai orang Islam. Hak saya sebagai pengamat untuk mengatakan bahwa begitu banyak variasi yang saya lihat di dunia Islam di Indonesia. []

31/03/2002 | Wawancara | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq