Agama, Sastra Jawa, dan Islam Liberal - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
25/05/2003

Agama, Sastra Jawa, dan Islam Liberal Tanggapan atas Pemikiran Ulil Abshar Abdalla

Oleh Budi Palopo

Tapi kenapa Ulil masih juga melihat Prometheus yang kalah dalam versi Islam? Boleh jadi, keprihatinan semacam itulah yang menggelayuti pemikiran Ulil. Keprihatinan tentang Tuhan yang terberhalakan. Keprihatinan soal Islam yang telah berubah jadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan. Lebih memprihatinkan lagi kalau sampai mengharap ada keledai bisa berdialog dengan manusia.

nalika sun pirsa klebat laku bandhosa
enggal sun priksa guritan luhung kang
tinulis ngriyas lembar ijo kain tutup-e
:la ilaha ilallah…
mengkono unine yen kawaca
sarwa resik ngaligrafi kaendahane

nanging, nalika sun pirsa klebat laku bandhosa
enggal rungu pitakone anak lanang
kanthi lagon dolanan:
sapa wong kang ora njerit, bapa
senajan endah kain tutup-e
jroning bandhosa tetep mayit isine
……

(ketika kutahu kelebat gerak keranda
segera kusimak kalimat agung yang
tertulis di lembaran hijau kain penutupnya
: la ilaha ilallah
begitulah bunyinya kalau dibaca
serba bersih, kaligrafinya pun cukup indah

tapi, ketika kutahu kelebat gerak keranda
segera pula kudengar pertanyaan seorang anak laki-laki
lewat lagu dolanan:
siapa yang tak merasa prihatin, bapa
kendati indah kain petutupnya
dalam keranda tetap mayat isinya
……)

(Jaya Baya nomor 6, 11 Oktober 1992)

SASTRA bukanlah persoalan bahasa an sich. Pada awal mula, segala sastra adalah religius (Y.B. Mangunwijaya). Sastra adalah intellectual exercise, sebuah dunia pemikiran yang menyimpan nilai-nilai kebenaran (Budi Darma). Dan, kendati tak bisa (tepatnya: tak boleh?) disebut sebagai karya sastra, teks dalam kitab suci Alquran jelas cukup sastrawi. Cukup simbolis, interpretatif, dan sangat indah. Nilai-nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya pun tak terbantah.

Untuk menanggapi tulisan Ulil Abshar Abdalla: Agama, Akal, dan Kebebasan (Jawa Pos, Minggu 11 Maret 2003), saya tertarik untuk menyinggungkannya dengan dunia sastra, terutama sastra Jawa. Sebab, Ulil menyebut bahwa tujuan pokok agama adalah untuk meningkatkan martabat kemanusiaan. Dan, ini semakna dengan kalimat agama ageming aji dalam Serat Wedhatama, karya Mangkunegoro IV (?).

’Pemberontakan kreatif’ Islam Liberal ala Ulil yang dihadirkan dalam semangat sebagai penyeimbang hukum-hukum fikih sesungguhnya -kendati tak sama persis- telah pula teruar-uarkan lewat sastra Jawa klasik. Bahkan, jauh lebih berani dan terkesan edan-edanan. Dalam Serat Cebolek, misalnya. Dikisahkan, pada masa kekuasaan Amangkurat IV (1719-1726) dan putranya, Paku Buwana II, di Desa Cebolek -terletak di Tuban, di kawasan pesisir Jawa Timur- ada tokoh yang ’divonis’ sebagai pembangkang agama. Haji Ahmad Mutamakim namanya. Dalam khutbah-khutbahnya, ia menganjurkan untuk meninggalkan syariah (hukum Islam). Menggemparkan. Fondasi komunitas Islam pun terancam guncang. Perdebatan terbuka pun digelar. Puncaknya, tokoh agama dari Cebolek itu diseret untuk diadili di Kartasura.

Beberapa contoh sejarah pembangkangan mistik Jawa yang pernah ditumpas oleh kerajaan-kerajaan terdahulu pun terlontar dalam sidang pengadilan. Syekh Siti Jenar yang dipenggal di Kerajaan Giri, Sunan Panggung yang di bawah Sultan Demak dihukum bakar, Ki Bagdad dari Pajang yang ditenggelamkan ke sungai, dan Syekh Amongraga yang di bawah Sultan Agung ditenggelamkan di laut. Dengan referensi tersebut, Ketib Anom dari Kudus kemudian mengusulkan hukuman dibakar hidup-hidup untuk ’kejahatan’ yang dilakukan oleh Haji Ahmad Mutamakim.

Semangat Renaisans

Mungkinkah kebebasan berpikir yang diperjuangkan Ulil lewat bendera Islam Liberal akan melahirkan ancaman hukuman fisik macam kisah-kisah tersebut? Saya yakin: tidak. Sebab, sejak manusia mampu mengembangkan potensi-potensi rasionalnya, mereka telah membebaskan diri dari belenggu pemikiran mitis yang irasional. Ulil pun telah menyebutkan bahwa pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Namun, pandangan keagamaan semacam itu kemudian tertinggal setelah muncul pandangan antroposentrisme yang mendobrak pandangan keagamaan mitologis secara revolusioner. Manusia dianggap sebagai penguasa realitas, oleh karena itu manusialah yang menentukan nasibnya sendiri, bukan para dewa. Manusia bahkan dianggap sebagai penentu kebenaran.

Pandangan antroposentrisme yang juga disebut humanisme itu muncul dengan datangnya rasionalisme yang tidak lagi percaya bahwa hukum alam bersifat mutlak. Rasionalisme inilah yang melahirkan Renaisans, yaitu suatu gerakan kebangunan kembali manusia dari kungkungan mitologi dan dogma-dogma. Melalui filsafat rasionalisme, gerakan ini telah melahirkan revolusi paham keagamaan bahwa pada dasarnya manusia itu merdeka.

Di dalam Islam, manusia juga digambarkan sebagai makhluk yang merdeka, dan karena hakikat kemerdekaannya itulah, manusia menduduki tempat yang sangat terhormat. Sesunguhnya dalam konsepsi Alquran, posisi manusia itu sangat penting. Begitu pentingnya posisi itu dapat dilihat dalam predikat manusia sebagai khalifah Allah, sebagai wakil Tuhan di muka bumi, yang memberikan gambaran bahwa seolah-olah Tuhan mempercayakan kekuasaan-Nya kepada manusia untuk mengatur dunia ini (Kuntowijoyo, 1991: 162).

Tapi kenapa Ulil masih juga melihat Prometheus yang kalah dalam versi Islam? Entahlah. Yang jelas, saya kemudian teringat peristiwa riil pada tahun 1990-an. Ketika itu, saya tinggal di sebuah rumah kontrakan, di Surabaya. Saat momong anak laki-laki saya yang pertama, di jalanan kampung ada keranda (kereta jenazah) beroda yang diiringkan banyak orang. Pada kain penutupnya yang berwarna hijau ada tulisan huruf Arab berwarna kuning keemasan, kalau dibaca berbunyi ”La ilaha ilallah”. Sebenarnya hal yang demikian itu telah jadi pemandangan biasa. Tapi, entah kenapa, ketika itu saya tiba-tiba saja merasa terusik untuk bertanya pada diri sendiri. Kenapa yang terlihat indah hanya pada kain penutupnya, sementara isi keranda hanyalah mayat? Mungkinkah ini merupakan gambaran bahwa masih ada pemeluk agama Islam yang hanya mengagungkan keindahan kulit dalam memahami persoalan keilahian? Sungguh memprihatinkan!

Boleh jadi, keprihatinan semacam itulah yang menggelayuti pemikiran Ulil. Keprihatinan tentang Tuhan yang terberhalakan. Keprihatinan soal Islam yang telah berubah jadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan. Lebih memprihatinkan lagi kalau sampai mengharap ada keledai bisa berdialog dengan manusia. Dan, bagi saya, suara keprihatinan semacam itu cukup terwakili dalam kalimat ”senajan endah kain tutupe/jroning bandhosa tetep mayit isine” yang terselip dalam gurit pembuka tulisan ini.

Kendati demikian, saya juga menangkap (maaf) semacam kelebat gerak pendangkalan pemikiran, saat Ulil mempersoalkan kata “sembah” dalam tulisannya. Setidaknya, Ulil tampak terjebak pada interpretasi atas teks yang tak terlalu esensial untuk diperdebatkan. Sementara, dalam sastra suluk Jawa, perbincangan sudah menyentuh pada persoalan esensi keilahian (simak: studi filsafat P.J Zoetmulder, yang diterjemahkan Dick Hartoko dalam “Manunggaling Kawula Gusti”. “Wirid Hidayat Jati"-nya R Ng Ronggowarsito pun telah pula memaparkan persoalan gelaran kahananing dat, sebuah interpretasi atas teks penciptaan Adam, yang pola pemaparannya kemudian dikembangkan oleh Danarto lewat cerpen Adam Ma’rifat; sebuah cerpen tentang Allah yang mengejawantah (terbitan Balai Pustaka, 1982)

Dan, kendati tak harus mempersoalkan makna kata “sembah”, dalam Serat Wedhatama telah pula dipaparkan, bahwa ada empat tahapan dalam upaya untuk bisa melakukan aktivitas “sembah” pada Tuhan. Ada sembah raga, sebagaimana telah kita kenal sebagai salat lima waktu, sebuah langkah awal, yang masih perlu tindak lanjut (pakartine amagang laku) ke tahap berikutnya. Yang kedua, sembah kalbu. Di sini ada aktivitas laku menepis sifat serakah (nyunyuda hardaning kalbu), berusaha untuk bisa hidup teratur, bersikap teliti dan hati-hati. Yang ketiga, sembah batin, yang di dalamnya ada sikap tenang dan selalu terus-menerus berintrospeksi. Yang terakhir, sembah rasa. Di tahap inilah permenungan tentang hidup dan kehidupan berlangsung.

Dengan demikian, kendati tanpa harus mempersoalkan makna kata “sembah”, laku dialogal kreatif yang telah dipapar-jelaskan Ulil telah pula tercakup dalam aktivitas sembah yang termaktub dalam sastra Jawa klasik berirama tembang gambuh tersebut.

Dan, setahu saya, garis horizontal telah dijadikan gambaran hubungan kemasyarakatan manusia, termasuk hubungan manusia dengan alam, dengan ilmu pengetahun, dan semacamnya. Sementara, garis vertikal telah dijadikan gambaran tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan. Pertanyaannya: jika garis vertikal dan horizontal disilangkan, pada titik potong ordinatnya termasuk dalam garis horizontal ataukah merupakan bagian dari garis vertikal? Dus, ketika kita melakukan hubungan kemasyarakatan, apakah itu tidak pula berarti bahwa kita juga melakukan hubungan dengan Tuhan? Akhir kata, …sun manembah kanthi obah jumangkah/ tandha sumarah/ dudu apal donga lan pinter cadhong tadhah (Jaya Baya, No 42, 20 Juni 1993). Aku menyembah dengan gerak dan langkah/tanda pasrah/bukan hafal doa dan pintar menadahkan tangan (Red.). **

25/05/2003 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (0)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq