Agama Sebagai Sumber Kekerasan - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Editorial
20/02/2005

Agama Sebagai Sumber Kekerasan

Oleh Luthfi Assyaukanie

Mengatakan bahwa agama sebagai sumber kekerasan agaknya memang sebuah paradoks, karena pesan inti agama adalah perdamaian. Tapi, menolak keterkaitan itu sama sekali juga merupakan perbuatan naif, karena kita jelas-jelas melihat banyaknya fenomena pembunuhan, terorisme, dan perusakan yang mengatasnamakan agama.

Catatan:
Rubrik Kajian di Jawa Pos sejak 11 Februari 2005 dimuat setiap hari Jumat

Para sosiolog sejak lama berbicara tentang agama sebagai sumber kekerasan. T.K. Oommen, sosiolog asal India, misalnya, menyimpulkan bahwa kekerasan agama bukan hanya disebabkan oleh faktor-faktor eksternal seperti ekonomi, politik, dan psikologi, tapi juga karena agama sendiri menyediakan rujukan yang cukup banyak untuk perilaku semacam itu. Oommen melakukan penelitiannya terhadap semua agama besar dunia, termasuk Islam dan Hindu (T.K. Oommen, Religion as Source of Violence, 2001).

Kaum agamawan dan para moralis biasanya menolak pandangan atau hasil penelitian semacam itu. Bagi mereka, kekerasan bertentangan dengan pesan luhur semua agama. Karenanya tidak mungkin agama menjadi sumber kekerasan. Kalaupun ada kekerasan yang bekaitan dengan agama, maka itu merupakan perbuatan “oknum” pemeluk agama.

Mengatakan bahwa agama sebagai sumber kekerasan agaknya memang sebuah paradoks, karena pesan inti agama adalah perdamaian. Tapi, menolak keterkaitan itu sama sekali juga merupakan perbuatan naif, karena kita jelas-jelas melihat banyaknya fenomena pembunuhan, terorisme, dan perusakan yang mengatasnamakan agama.

Saya kira, temuan para sosiolog itu harus disikapi dengan arif. Sikap emosi dan prasangka buta bukanlah respon yang bijak. Marilah kita mengaca dan memeriksa diri apakah memang agama benar-benar menyediakan amunisi kepada pemeluknya untuk melakukan tindak kekerasan.

Pertama-tama, kekerasan, saya kira, harus dipahami sebagai konsekwensi dari sikap intoleran kepada orang lain (atau pemeluk agama lain). Kalaupun agama tak secara langsung menyuruh umatnya melakukan kekerasan (seperti teror dan perusakan), agama, saya kira, menyediakan pesan yang cukup banyak untuk bersikap tidak toleran.

Saya ingin memberi contoh satu doktrin Islam yang sering digunakan oleh kaum Muslim untuk membenarkan perilaku intoleran dan bahkan tindak kekerasan kepada orang lain; yakni doktrin “amar makruf nahi munkar” yang sangat terkenal itu. Doktrin ini, menurut saya, memberikan peluang bagi intoleransi dan kekerasan.

Amar makruf nahi munkar” artinya menyuruh orang kepada kebaikan dan mencegahnya berbuat hal-hal yang munkar atau dilarang agama. Sebagian kaum Muslim menganggap bahwa “mencegah yang munkar” harus dilakukan pertama-tama dengan kekerasan (secara fisik), karena sebuah hadis dengan tegas menganjurkan: “Jika kalian melihat suatu kemunkaran, ambillah tindakan dengan tangan kalian…” (man ra’a minkum munkaran, fal yughayyir biyadih…).

Doktrin dan pemahaman ini dipakai oleh sekelompok kaum Muslim di Indonesia dan Malaysia untuk membenarkan perbuatan mereka melakukan razia dan perusakan terhadap tempat-tempat yang mereka anggap sebagai maksiat atau kemunkaran. Di Indonesia, kelompok semacam ini diwakili oleh FPI (Front Pembela Islam), sedangkan di Malaysia diwakili oleh JAWI (Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan).

Baru-baru ini, JAWI melakukan serangkaian razia dan penangkapan terhadap anak-anak muda yang sedang berkumpul di kafe dan tempat-tempat umum (Sunday Mail, 23 Januari 2005). Tindakan ini persis seperti yang pernah dilakukan oleh para anggota FPI beberapa bulan lalu. Masyarakat resah dengan tindakan sewenang-wenang itu. Dan mereka menuntut PM Abdullah Badawi segera menertibkan para “polisi moral” itu.

Tapi, para pemimpin JAWI tak merasa bersalah dengan apa yang sudah dilakukannya. Ketika salah seorang pemimpin mereka ditanya mengapa melakukan perbuatan itu, jawabannya persis seperti yang pernah dikemukakan pemimpin FPI, yakni mereka berusaha menerapkan amar makruf nahi munkar dan hadis nabi man ra’a minkum munkaran. [Luthfi Assyaukanie]

20/02/2005 | Editorial | #

Komentar

Komentar Masuk (37)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Bapak Luthfi yang terhormat. hanya beberapa kalimat yang ingin saya sampaikan, mohon maaf jika agak lancang. tapi, nurani ini benar - benar menangis membaca artikel yang bapak tulis. sebenarnya bapak itu benar - benar cinta dan bangga gak sama agama islam? jika memang iya, harusnya bapak gak berkata seperti dalam artikel di atas. coba bapak renungkan dan kaji kembali makna dan maksud hadis dan ayat diatas dan tentunya dengan dibimbing oleh orang yang ahli dalam tafsir alqur’an maupun hadis (kyai atau ulama yang berkompeten di bidang itu). jangan asal menafsirkan.
-----

Posted by muhidin  on  08/09  at  03:08 AM

Tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatas namakan agama mungkin didasari beberapa alasan pembenaran: pertama , karena ingin melaksanakan ajaran agama; ‘amar ma’ruf nahi munkar’.

Kedua, karena aparat penegak hukum yang lemah, lesu dan pengecut, tidak memiliki tanggung jawab. Berdasarkan kedua alasan tadi, sebaiknya fungsi penegakan hukum benar benar dilaksanakan sehingga ada kepastian hukum. kemudian kaum agamawan harus merubah paradigma manajemen dari manajemen malaikat kearah manajemen Allah. Maksud manajemen Allah yaitu memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih keneraka atau kesurga, yang penting pemerintah menyediakan sarana sarananya saja. Contoh: berikan sarana untuk orang orang yang mau berjudi, lokalisasi orang orang mau berasyik ma’syuk. Sediakan pula sarana sarana orang yang mau memuji muji Allah.

Allah mengatakan apabila terjadi perbedaan berdiskulah, kamu dengan bijaksana. Jadi umat Islam sebaiknya harus kembali memahami ajaran dasar yaitu sebagai Dienul Islam. Suatu prinsip yang selalu mengutamakan “selamat dan menyelamatkan”

Posted by Alexon Syazily,SH  on  03/21  at  06:04 PM

Amar makruf ialah mengajak/menghimbau orang untuk berbuat kebajikan, bukan memaksa orang untuk berbuat kebajikan (misal, memaksa orang untuk mendirikan shalat ketika panggilan shalat tiba,dll)

Nahyi munkar ialah mencegah orang untuk melakukan perbuatan munkar (misal, zina, judi, khamar, dsb) dengan mengerahkan segenap kemampuan yang kita miliki (jiwa, raga, harta, kekuasaan, dll), bukan hanya sekadar himbauan belaka

Posted by Ir. Noordin, M.T.  on  03/20  at  08:03 PM

Tentang tindakan FPI, saya justru ragu apakah FPI percaya kepada Tuhan atau tidak, karena kalau hukum tidak bisa menghukum mereka yang bermaksiat Tuhanlah yang akan menghukum mereka. Atau barangkali FPI lebih berhak menghukum mereka daripada Tuhan.

Posted by Lukito Tanimartoyo  on  03/18  at  01:03 AM

Saya sengaja menggunakan judul Islam Liberal Vs Islam literal dalm soal pemberantasan tempat-tempat maksiat. Karena, apa yang di lakukan oleh FPI itu semanta-mata mengamalkan ajaran al-qur’an dan sunnah. Mereka sering di istilahkan sebagai fundamentalis dan Islam literal. Bagi saya, sebagai seorang muslim, jika disebut sebagai fundamentalis, saya bangga. Sebab, berfikir fundamental atau asasiyah berarti berpikir kembali ke asas ajaran Islam, yaitu qur’an dan sunnah. Sedang berpikir liberal berarti berpikir di luar asasi yang diajarkan Islam. Alasan FPI memang sangat literal. sebab, mereka hanya ingin menjalankan ajaran agama, sekaligus beramar makruf nahyi munkar. dalil mereka bukan hanya hadits man raa minkum munkaran… saja. Mereka meyakini hadits bahwa seandainya ada yang berbuat zina di suatu tempat, maka lingkungan sekitarnya akan kena azab juga. Mereka juga meyakini hadits nabi yang mengatakan kalau seandainya kalian tidak beramar makruf nahyi munkar, sehingga maksiat merajalela, maka sekalipun orang-orang shaleh diantara kalian berdo’a, maka doa itu tidak akan di ijabah. Banyak lagi alasan dan dalil-dalil mereka. karena yang saya tahu, Habib Rizieq itu bukan orang bodoh. Dia cendekiawan, alim dan luas ilmunya. Saya hanya menghimbau pada teman-teman di JIL. What are u looking for? Apa seh yang lo-lo orang cari? Sekarang bangsa ini terus dirundung bencana. Mau apa lagi kita? Maaf saja, saya tahu persis latar belakang orang-orang JIL ini. Saya thu persis proses bagaimana mereka menjadi sok liberal, sok modern, sok filosof dan sok-sok lainnya seperti ini. Mereka orang-orang yang terkena shock culture, gegar budaya. Kebanyakan dari mereka berasal dari pesantren tradisional yang hanya manut pada kiayi, taklid buta, terbelenggu pemikiran kiayi dan sebagainya. Setelah mereka keluar dari belenggu itu, mereka meluapkan segalanya, dengan alasan untuk kebebasan, liberalisme. Terus terang, apa yang kalian perjuankan itu adalah hal yang usang dan kampungan!

Posted by Wafa Idrisi  on  03/16  at  06:03 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq