Chandra Setiawan: Agama Tak Perlu Pengakuan Negara
Oleh Redaksi
Beberapa agama lokal tidak bisa dicatatkan karena dinilai tidak memeluk agama resmi. Negara seperti mengkondisikan orang untuk berlaku hipokrit dengan mencantumkan agama di KTP mereka, meski tidak sesuai keyakinannya. Yang saya juga tidak habis pikir, mengapa birokrat seolah lebih senang melihat orang kumpul kebo sementara yang kawin tidak boleh. Padahal, perkawinan itu merupakan hak paling mendasar untuk menjalin tali kekerabatan dan memperoleh keturunan.
Diskriminasi agama-agama minoritas atau aliran kepercayaan selalu menjadi problem laten yang tak kunjung usai. Adanya status agama resmi dan tak resmi seiring dengan pengakuan negara yang hanya mengakui lima agama, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Mendagri No. 477/74054 tanggal 18 November 1978, menyiratkan kesan bahwa di luar Islam, Katolik, Protestan, Budha dan Hindhu adalah agama yang tak absah di bumi Pancasila. Sebenarnya, surat edaran tersebut telah dicabut dengan adanya Keppres No. 6 Tahun 2000 yang memberi peluang bagi agama-agama “minoritas” untuk tampil sejajar dengan lainnya.
Dalam wawancara Ulil Abshar-Abdalla dari Kajian Utan Kayu (KUK) dengan Dr. Chandra Setiawan, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), kita akan lebih mengetahui posisi dan kondisi agama minoritas ini. Wawancara dengan pak Chandra yang juga anggota Komnas HAM dilakukan di kantor berita Radio 68H Jakarta tanggal 22 Agustus 2002. Berikut petikannya:
Pak Chandra, sebagai Ketua Umum Matakin, Anda tentu menguasai peta “nasib” orang Tionghoa di Indonesia, terutama penganut Konfusianisme. Apakah selama ini mereka sudah diperlakukan sama dengan warganegara Indonesia lainnya?
Perlakuan yang sama tanpa melihat etnis dan agama itu memang hingga kini masih memerlukan perjalanan panjang. Proses diskriminasi yang ada sekarang sudah berakar dan berjalan lama sekali, yaitu sejak 200 tahun yang lalu. Persisnya, sejak pemerintahan Hindia-Belanda, yang diikuti oleh Orde-orde berikutnya yang memerintah, terutama Orde Baru. Dari pengalaman itu, banyak sekali intervensi negara terhadap kehidupan beragama, termasuk dalam hal kebebasan yang berkaitan dengan hak-hak sipil.
Khusus tentang agama, kita mengenal bahwa agama yang diakui hanya lima. Padahal konstitusi kita sebenarnya tidak pernah mengatur hal seperti itu. Kita tahu, pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang dalam Sidang Tahunan 2002 tidak diamandemen, jelas memberi kebebasan. Tapi dalam kenyataannya, hal itu diabaikan bukan oleh undang-undang, tapi peraturan dan keputusan menteri. Jadi, menteri di zaman Orde Baru punya kekuasaan di atas undang-undang. Bahkan, mereka bisa mewakili Tuhan, dalam artian berhak menentukan kalau ini agama dan ini bukan agama. Nah, itu sampai sekarang masih berlanjut terus.
Dalam hak-hak sipil misalnya, umat Konghucu yang mengalami perkawinan intraumat (sesama penganut Konghucu, Red), tidak dengan penganut agama lain sering mengalami banyak kendala. Kendala itu misalnya dapat dilihat dari banyaknya kantor catatan sipil yang tidak mau mengurus perkawinan intraumat (Konghucu) dengan dalih belum ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (Juklak dan Juknis).
Jadi sampai sekarang perkawinan kawin intraumat Konghucu tidak bisa dicatat di kantor catatan sipil?
Ya, sampai sekarang ada kendala di banyak daerah, meski tidak semua. Di daerah Batam misalnya, sudah beres semua. Mungkin karena etnis Tionghoa yang beragama Konghucu di sana berjumlah lumayan. Tapi di Surabaya, kota sebesar itu, sampai sekarang masih ada umat kita yang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi PTUN. Sebab, kantor catatan sipil menolak mencatatkan perkawinan mereka, dengan alasan Konghucu belum diatur.
Belum diakui sebagai agama atau bagaimana?
Ya, mungkin bahasanya kurang lebih seperti itu. Prinsipnya, mereka tidak mau mencatatkan karena tidak adanya aturan oleh Menteri Dalam Negeri. Jadi, menteri tidak mengeluarkan aturan bahwa perkawinan di luar lima agama resmi bisa dicatatkan. Nah ini masih menimpa umat Konghucu dan umat lain seperti penganut aliran kepercayaaan misalnya.
Beberapa agama lokal pun tidak bisa dicatatkan karena dinilai tidak memeluk agama resmi. Negara seperti mengkondisikan orang untuk berlaku hipokrit dengan mencantumkan agama di KTP mereka, meski tidak sesuai keyakinannya. Yang saya juga tidak habis pikir, mengapa birokrat seolah lebih senang melihat orang kumpul kebo sementara yang kawin tidak boleh. Padahal, perkawinan itu merupakan hak paling mendasar untuk menjalin tali kekerabatan dan memperoleh keturunan.
Kembali ke soal perundang-undangan, khususnya tentang pencatatan sipil. Adakah peraturan-peraturan lainnya yang bersifat diskriminatif atas kaum minoritas?
Ada. Mengenai catatan sipil itu, mungkin perlu kami sampaikan, bahwa kita masih memberlakukan staatsblad produk zaman Belanda. Staatsblad yang membagi-bagi manusia menjadi golongan Eropa, Tionghoa, Indonesia Kristen dan non-Kristen. Itu masih belaku. Anda bisa bayangkan, peraturan Belanda produk tahun 1800-an masih diberlakukan hingga kini. Adapun peraturan lain yang sifatnya diskriminatif juga, yaitu kewajiban menunjukkan surat bukti kewarganegaraan Indonesia. Itu hanya dikenakan warganegara Indonesia yang berasal dari etnis keturunan Tionghoa. Adapun warganegara Indonesia yang keturunan Arab, Belanda atau yang lainnya, tidak dikenai peraturan itu.
Di samping itu, peraturan Departemen Agama (Depag) menyangkut pembangunan untuk tempat ibadah, sampai sekarang masih terhadang di masalah perizinan. Peraturan seperti itu sampai sekarang masih belum dicabut. Bagi sementara kalangan, departemen dalam negeri dan depag dianggap paling besar “jasanya” dalam memperlakukan kaum minoritas secara diskriminatif.
Artinya, masih ada aturan-aturan mengenai tempat ibadah yang restriktif, atau terlalu membatasi dan dianggap tidak fair oleh agama selain Islam?
Ya, hal itu masih ada dan masih berlaku sampai sekarang. Secara khusus saya sebutkan, membangun rumah ibadah saja tidak boleh. Aturan seperti itu berlaku bagi pembangunan tempat ibadah umat Konghucu seperti kelenteng. Jadi nasibnya masih seperti itu. Untuk masalah rumah ibadah itu, kita harus melalui proses panjang, baru kemudian bisa diizinkan. Mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) itu luar biasa sulitnya. Yang saya tahu, memang ada kesulitan membangun gereja misalnya.
Adakah kasus lebih kongkrit belakangan ini tentang kesulitan membangun rumah ibadah?
Yang terakhir ini belum secara kongkrit. Tapi biasanya, mendapatkan IMB itu sangat sulit. Sebab, izin itu memerlukan rekomendasi dari Depag. Dan biasanya Depag susah mengeluarkannya. Izin membuat tempat hiburan nampaknya jauh lebih mudah. Nah, terkadang juga ada sarat persetujuan masyarakat sekitar.
Meskipun negara hanya mengakui lima agama resmi, saya kira tidak ada alasan untuk tidak mencatat setiap perkawinan warga negaranya meskipun di luar lima agama resmi itu. Sebab, negara yang baik, harus memperlakukan setiap warganegaranya secara adil. Di Indonesia itu, sebetulnya tidak ada undang-undang yang mengatur jumlah agama. Tidak ada misalnya satu peraturan yang mengatakan bahwa hanya lima agama saja yang diakui. Sebab agama sebetulnya tidak perlu pengakuan negara. Agama adalah urusan pemeluknya, apakah ia mau mengakuinya atau tidak.
Anda bisa bayangkan, Indonesia ini telah merdeka sejak tahun 1945. Nah’ kalau memerlukan pengakuan negara, berarti sebelum tahun 1945, tidak ada agama di Indonesia. Padahal agama sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan itu lebih awal dari adanya negara.
Bahkan, Konghucu muncul jauh sebelum Islam?
Ya, Konghucu muncul sejak lima ribu tahun yang lalu.
Kalau begitu, dari mana muncul aturan agama yang diakui negara dan tidak?
Ceritanya sebenarnya begini. Tahun 1978, Menteri Dalam Negeri pernah mengeluarkan surat edaran mengenai tata cara pengisian kolom agama di KTP. Di situ disebutkan, bahwa hanya lima agama yang diakui resmi oleh pemerintah. Bagaimana KTP mereka yang menganut selain lima agama itu? Di KTP mereka dicantumkan tanda buka kurung, lalu strip, lalu tutup kurung. Seperti ini: (—). Nah, ketentuan seperti itu, sebetulnya sudah dicabut pada 31 Maret tahun 2000 yang lalu.
Tapi sampai sekarang memang masih berlaku di banyak tempat. Sebabnya beberapa kelurahan atau kecamatan tidak memiliki juklak (petunjuk pelaksana, Red) untuk melaksanakan itu. Inilah bentuk hipokrisi. Kita tahu, PBB saja mengakui semua agama dan kepercayaan lokal. Di Indonesia ini, kalau diteliti, sudah ada kira-kira 11 agama selain lima yang “diakui” negara: seperti Bahai, Konghucu, Yahudi, Sikh dan lain-lain. Di Surabaya sudah ada sinagoge yang berdiri.
Soal perkawinan intraumat Konghucu dan juga perkawinan antaragama selalu menimbulkan problem pelik. Baru-baru ini, artis Yuni Shara harus keluar negeri untuk menikah secara sah. Bagaimana menurut Anda?
Menurut saya, perlu pencatatan semua perkawinan. Sebab, tugas catatan sipil itu ‘kan pencatatan. Perkawinan yang sah itu perlu dicatat, sehingga kita tahu persis mana penduduk kita yang kawin dan lain-lain. Itu kita perlukan sebagai manifestasi negara yang beradab. Tadi saya sebutkan, bahwa negara ini lebih senang melihat warganya melakukan praktik kumpul kebo. Saya jadi heran, mengapa negara yang beradab ini menjadi begitu. Kesimpulan saya, memang pengamalan Pancasila bagi kalangan birokrat terkesan masih jauh panggang daripada api. Dalam kasus-kasus seperti ini, kita memfungsikan kantor catatan sipil sebagai apa? Kalau fungsinya pencatatan, semestinya ‘kan dicatatkan. Dia mau kawin secara apa, asal ada saksinya mesti dicatatkan.
Dalam contoh yang riil, saya prihatin menyaksikan kasus Yuni Shara. Selama lima tahun dia menunggu perkawinannya. Dan akhirnya, perkawinan itu pun dilaksanakan di Australia. Kasus Yuni Shara dan sejenisnya memang ada keterkaitannya dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang itu memang mengatakan bahwa perkawinan itu sah bila dilakukan secara agama, dan agamanya pun harus sama. Sebetulnya, kendala perbedaan agama itu bisa diselesaikan dengan meminta penetapan peradilan seperti kasus Jamal Mirdad dan Lidya Kandow. Yang mengurusi itu adalah Pengadilan Negeri. Setelah mendapat pengesahan Pengadilan Negeri baru kantor catatan sipil mencatatkan.
Tapi karena orang yang terkait kasus itu merasa begitu rumit menjalani hal itu, akhirnya mereka mengambil jalan pintas dengan perkawinan di luar negeri. Mereka lari ke Singapura atau negara lainnya, sehingga perkawinan mereka bisa didaftarkan. Pelarian itu ‘kan hanya bisa dilakukan mereka yang mampu membeli tiket ke sana. Dan itu juga pemborosan devisa. Kita sebetulnya harus malu; kok hal sepele yang menyangkut hak asasi seperti perkawinan ini harus sedemikian rumit. Mestinya, kita memberikan perlindungan dan pelayanan kepada warganegara, apapun agama, ras dan etnisnya.
Pak Chandra, apakah Matakin sudah melakukan usaha-usaha untuk melawan peraturan yang diskriminatif ini?
Kita tidak memakai kata melawan, karena konotasinya kekerasan. Kita menggunakan jalur nonkekerasan saja. Dalam artian, kita melayangkan surat ke presiden. Kita melaporkan kepada presiden sejak presiden dahulu sampai presiden sekarang; sejak Soeharto, lalu Habibie, Gus Dur dan Ibu Megawati. Surat itu sebetulnya berisi hal-hal menyangkut hak-hak sipil terutama umat Konghucu. Masalahnya termasuk menyangkut persoalan perkawinan yang dipersulit. Misalnya mengapa kantor catatan sipil tidak mau melayani perkawinan umat Konghucu sama-sama Konghucu. Dan sampai sekarang, surat itu belum mendapatkan tanggapan sama sekali.
Yang ingin saya tanyakan, apa yang telah dilakukan Matakin untuk mengubah perundang-undangan yang masih kurang ideal itu, selain menyurati Presiden?
Kita memang berharap, di Indonesia ini ada undang-undang antidiskriminasi. Artinya, undang-undang itu memberikan tempat yang sama, bukan hanya bagi umat Konghucu, tapi bagi siapa saja. Karena kita sudah sangat tertinggal kalau dibandingkan dengan negara-negara luar. Bahkan, kalau kita bandingkan dengan negara komunis pun, kita kalah dalam hal pelayanan hak sipil. Hal semacam ini ‘kan ironis. Sebagai sebuah negara Pancasila, kita masih mendiskriminasi kelompok minoritas; agama kita batasi. Padahal, PBB misalnya, mengakui adanya 14 agama besar dunia yang masih tetap hidup sampai sekarang dan ada pemeluknya. PBB juga memberikan tempat bagi penganut kepercayaan lokal (indegenous beliefer). Tapi di Indonesia yang seharusnya memberi tempat untuk itu masih diperlukan waktu untuk bisa menerapkan bagi kita semua. Ironisnya, sejumlah hak-hak sipil semacam perkawinan pun harus dihalangi! Bahkan mengisi KTP-pun orang disuruh munafik.
Bagaimana bentuk kemunafikan itu?
Bentuknya, mereka disuruh memilih salah satu dari agama yang diakui negara. Padahal, agamanya bukan salah satu dari agama “resmi” yang berjumlah lima itu. Jadi, kita diajari menjadi orang munafik. Maka saya pikir terlalu banyak hal-hal substansi yang seharusnya kita benahi. Untuk melakukan itu, pemerintah harus betul-betul mereformasi perundang-undangan agar tidak diskriminatif. Semua perundang-undangan yang sifatnya diskriminatif harus dicabut. Itu penting agar rakyat lebih mempunyai kepercayaan diri, sehingga mereka lebih aktif berpartisipasi dalam pembangunan. Kalau pada praktek di lapangan saja masih ada perlakuan yang diskriminatif, tapi nasionalisme mereka tetap tinggi, apalagi bila diberi perlakuan yang sejajar. Saya yakin, sekiranya mereka di uwongkan (diorangkan), diperlakukan sama, maka partisipasi dalam pembangunan akan lebih meningkat.
Sebagai anggota baru Komnas HAM, apakah Anda akan memperjuangkan ini?
Saya pikir itu menjadi concern kita bersama. Misalnya bagaimana melahirkan undang-undang catatan sipil yang sekarang ini masih berupa rancangan yang mau diajukan. Undang-undang sipil juga harus betul-betul menempatkan fungsi kantor catatan sipil dan fungsi negara secara benar. Kemudian, rancangan undang-undang antidiskriminasi juga harus ada. []
Komentar Masuk (1)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)