“Agnostisisme” Intelektual - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Kolom
11/12/2005

“Agnostisisme” Intelektual

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Saya kira tugas kesarjanaan memang bukanlah semata-mata ‘merawat’ tradisi yang sudah ada, atau menghafal apa-apa yang kita warisi dari para leluhur. Sebaliknya, membuka wilayah-wilayah baru dalam warisan yang sudah ada itu. Tanpa itu, dunia keilmuan tak akan berkembang. Tentu saja, usaha membuka hal-hal yang baru itu tidaklah mungkin jika semata-mata dilandasi oleh motif ideologis, yakni untuk membela posisi-posisi sosial-politik tertentu, atau bahkan agama tertentu.

Di suatu sore yang dingin, 30 November 2005 lalu, saya menghadiri “job talk”, semacam presentasi profesor yang sedang melamar suatu jabatan tetap sebagai tenured professor di sebuah universitas. Jabatan Professor of Islamic Studies di Department of Religion, Boston University memang akan segera kosong, ditinggalkan oleh Prof. Martin Schwartz, seorang ahli di bidang mazhab Hanbali, lebih khusus lagi Ibn al-Jauzi. Prof Martin mengedit, menerjemahkan, dan mengulas karya Ibn al-Jauzi, Kitab Akhbar al-Shifat.

Presentasi pertama diberikan oleh Dr. Kechia Ali, seorang ahli fikih dan murid Prof. Bruce Lawrence dari Duke University. Berbicara dengan tema “Marriage, Gender, and Ownership in Early Islamic Jurisprudence”, Kechia Ali mengulas tema yang sangat spesifik, yaitu kedudukan budak (riqq), terutama bagaimana hukum Islam menangani kasus perceraian dalam perkawinan budak. Tentu, isu kecil ini kurang begitu menarik pada dirinya sendiri, apalagi sebagai fakta sosial perbudakan dalam pengertian tradisional sudah tak ada lagi. Isu ini menarik karena dipakai oleh Kechia untuk melihat bagaimana hukum Islam berkembang dan berevolusi dari abad ke-2 Hijriah hingga masa-masa sesudahnya. Dia memakai Kitab al Mushannaf karya Abdurrazzaq al-Shan’ani sebagai bahan penelitian awal, kemudian beranjak ke karya-karya lain di lingkungan mazhab Hanafi.

Tentu, berita ini tak terlalu relevan dengan publik Indonesia. Apa artinya sebuah presentasi ilmiah yang dilakukan oleh para profesor yang sedang mencari “kerja”? Tetapi, usai mengikuti diskusi terbatas itu, saya tercenung memikirkan beberapa hal.

Pertama, semua yang disampaikan oleh Kechia Ali itu sudah saya ketahui semua, karena pernah saya pelajari di pesantren. Di pesantren dulu, pembahasan tentang budak yang umumnya secara khusus diulas dalam Kitab Ummahat al-Awlad, biasanya kurang menarik, karena sudah tak relevan dengan keadaan sekarang. Namun, di tangan Kechia, bahan-bahan ‘kuno’ itu menjadi sangat memikat. Saya kira, presentasi Kechia menarik bukan karena tema dan bahan yang dia olah. Sebaliknya, karena sudut pandang dan perspektif yang baru dan segar; karena dia memandang bahan kuno itu dengan lensa yang lain.

Saya kira tugas kesarjanaan memang bukanlah semata-mata ‘merawat’ tradisi yang sudah ada, atau menghafal apa-apa yang kita warisi dari para leluhur. Sebaliknya, membuka wilayah-wilayah baru dalam warisan yang sudah ada itu. Tanpa itu, dunia keilmuan tak akan berkembang. Tentu saja, usaha membuka hal-hal yang baru itu tidaklah mungkin jika semata-mata dilandasi oleh motif ideologis, yakni untuk membela posisi-posisi sosial-politik tertentu, atau bahkan agama tertentu. Syarat seorang sarjana dalam pengertian modern adalah dia harus “agnostik” secara intelektual. Maksudnya, dia tak boleh terikat oleh proyek untuk “mendakwahkan” kebenaran ideologi tertentu. Begitu “pamrih” ini menyelinap ke dalam kerja kesarjanaan, maka tidak bisa lain kecuali terjadi distorsi. Sebagai informasi, Kechia Ali bukanlah semata-mata seorang sarjana yang “dingin” dan “berjarak”, tetapi, dalam tingkat tertentu, dia juga seorang “aktivis” yang membela posisi “ideologis” tertentu. Ini terlihat dari kontribusi dia dalam Progresive Muslims yang diedit oleh Omid Safi, buku yang berisi kumpulan esai para intelektual Muslim yang membela suatu posisi Islam tertentu, yaitu posisi progresif. Tentu tak mudah bagi Kechia menjaga keseimbangan antara tuntutan dunia akademik di satu pihak, dan aktivisme politik di pihak lain. Saya melihat, sore itu, Kechia berhasil tampil penuh sebagai seorang sarjana yang melihat “fakta” secara agnostik dan berjarak.

Kedua, usai mengikuti presentasi yang sangat memikat itu, saya lalu ingat Indonesia: mungkinkah hal serupa terjadi di sana? Mungkinkah studi Islam di Indonesia berkembang lebih baik, karena para sarjana yang terlibat di sana mampu bersikap “agnostik” dan berjarak dalam menghadapi bidang studinya, sehingga bisa membuka sejumlah horison baru?

Sebagai informasi, Kechia Ali sedang menggarap dua proyek. Pertama, yang sudah nyaris rampung, menulis sirah Nabi dengan pendekatan “gender studies”, dengan judul Muhammad as Husband. Yang kedua, yang sedang dikerjakan, biografi Imam Syafii, tentu dengan pendekatan baru. Selain itu, Kechia juga telah merampungkan proyek lain tentang etika seksual dalam Islam, dan akan terbit Maret tahun depan oleh penerbit di Oxford, OneWorld.

Tema-tema yang digarap Kechia itu, tentu, tak asing bagi sarjana Islam di Indonesia. Semua orang membaca sirah Nabi, membaca karya-karya Imam Syafii. Tetapi, pertanyaannya, kenapa di tangan dia, bidang studi yang sudah kita anggap basi itu menjadi begitu menarik?  Saya kira, salah satu kata kuncinya adalah etos “agnostik” yang berkembang dalam tradisi akademik di Barat. Etos itu memungkinkan seseorang untuk mengambil jarak kritis terhadap tradisi yang ada, seraya mengembangkan kemungkinan-kemungkinan pembacaan yang baru.

Kata “agnostik” di sini harap tidak dikaitkan dengan istilah ilhad dalam bahasa Arab. Menjadi agnostik dalam dunia akademik berarti bahwa anda siap mengosongkan diri dari pendapat dan predisposisi tertentu saat menghadapi objek yang sedang anda kaji. Anda terjun di sana bukan dengan “kesimpulan” yang sudah jadi, tetapi dengan pikiran kosong yang secara kritis mencoba membangun kesimpulan akhir berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Itulah agnostisisme intelektual, dan itulah prasyarat penting bagi seorang sarjana.

Di lingkungan kita, terutama di lingkungan akademik Islam, etos yang berkembang tampaknya lain sama sekali, yaitu etos yang, meminjam istilah Prof. Naguib Alatas dari Malaysia, disebut restatement atau taqrir. Yakni, etos mengulang sesuatu yang sudah ada dalam tradisi. Oleh karena itu, ukuran kesuksesan dalam tradisi akademik, terutama di lingkungan perguruan tinggi Islam, adalah kepersisan. Makin persis apa yang anda pikirkan dan tuliskan dengan apa yang ada dalam tradisi, makin suskes jalan anda sebagai seorang sarjana. Begitu anda membuka horison “lain” dan kemudian sampai kepada kesimpulan yang “berbeda” maka anda akan berhadapan dengan tembok tradisi.[]

Ulil Abshar-Abdalla, aktivis Jaringan Islam Liberal, mahasiswa Boston University.

11/12/2005 | Kolom | #

Komentar

Komentar Masuk (12)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

Ilustrasi Mas Ulil merupakan refleksi lemahnya tradisi keilmuan kita sehingga karakteristik “agnostik” perlu dicoba untuk ditranspalasikan. Mungkin, ada hal yang lain perlu digali mengenai independensi akademisi. Saya rasa, kita tidak dapat sangkal sepanjang ulama dan pengajar agama salafi kita dalam kondisi kesejahteraannya yang minim akan sulit melahirkan sesuatu lompatan yang luar biasa.

Tapi, celakanya lagi, ulama atau pengajar agama yang terjebak oleh proyek ‘liberalisasi barat’ pun tak kurang bahayanya. Betapa tidak, tradisi tafsir Quran yang begitu kuat misalnya, hendak dilindas begitu saja oleh hermeneutika Bibel yang ‘seakan-akan’ dianggap lebih modern. Padahal, hermeneutika Bibel beranjak dari teks Bibel yang ambigu sehingga perlu justifikasi akal manusia yang jauh dari pewahyuan.

Sementara, tradisi Islam memiliki sejarah yang jauh berbeda. Quran demikian suci dan lengkap sehingga tafsir amat terikat pada konteks, teks, asbabun nuzul, dan hal lainnya yang sudah mensejarah. Sungguh terlalu mahal melepaskan itu untuk sesuatu yang tak pasti.

Lepas dari segalanya, pencarian kebenaran adalah paduan iman dan akal. Sebab, akal terlalu amat terbatas untuk membongkar semua fenomena yang kita alami.
-----

Posted by Mihradi  on  12/26  at  04:13 AM

Sulit juga menemukan profesor di Indonesia yang seperti Bang Ulil katakan. Mungkin karena sudah menjadi budaya Indonesia (barangkali seperti itu) bahwa intelektual sebagai faktor “pelanggeng” ideologi. Seperti halnya intelektual “pemerintah” yang mengamini kebijakan-kebijakan pemerintah walau merugikan rakyat, tentu saja dengan alasan ‘sudah diuji secara ilmiah’. Tidak salah jika sering dikatakan bahwa ini merupakan “pengkhianatan intelektual”.

Seharusnya intelektual memberi solusi yang cerdas untuk permasalahan bangsa ini, bukan sekedar memperjuangkan ide atau ideologinya sendiri tanpa tahu benar salahnya.

Posted by catur  on  12/17  at  12:13 AM

Redaksi Yth,

Baru sekali ini saya membaca tulisan yang datang dari seorang Muslim intelektual, yang mengajak kita untuk menjadi Muslim Agnostic. Mudah-mudahan penulis tidak salah QUOTE mengartikan kata Agnostic, karena pengertian Agnostic di dalam masyarakat Barat umumnya berarti “tidak peduli”. Contohnya jika kita bertanya kepada seseorang mengenai kepercayaannya terhadap Tuhan, banyak jawabannya adalah “Saya seorang Agnostic terhadap agama”, Artinya, dia percaya dengan adanya Tuhan, tapi tidak peduli dengan aturan-aturan agama itu sendiri.

Pengertian Agnostic didalam Thesaurus adalah Definition : Skeptic Synonims : Doubter,Skeptic,freetinker,Unbeliever. Antonym : Believer,faithful one.

Apa sdr Ulil ingin mengajak pembaca menjadi Agnostic terhadap aturan-aturan agama (Islam)? Atau cuma keliru menggunakan kata-kata Agnostic dalam membuat judul dan tujuan tulisan?

Hakim Jufri

Posted by Hakim Jufri  on  12/16  at  03:12 PM

Assalamu’alaikum. Apakah kita bisa benar-benar objektif dan lepas dari subjektivitas dalam menganalisis sesuatu atau dalam mencari kebenaran? Pertanyaan ini akan lebih baik lagi jika Anda mengingat kisah 4 orang buta dan seekor gajah. Ke-4 orang buta itu belum pernah sama sekali mendengar atau tahu perihal gajah. Sehingga, suatu ketika mereka dihadapkan pada seekor gajah dan disuruh “menganalisis” agar dapat memberikan definisi apa itu gajah.

Orang pertama mendefinisikan gajah sebagai binatang kecil seperti ular karena yang dipegang adalah ekornya. Orang kedua mendefinisikan gajah seperti kipas lebar yang empuk karena yang dipegang adalah telinganya. Lalu orang ketiga mendefinisikan gajah sebagai binatang seperti batang pohon kelapa karena ia memegang kakinya. Orang keempat mendefinisikan gajah sebagai binatang yang berbentuk keras dan kecil karena ia memegang gadingnya.

Nah, Anda dapat bayangkan apa jadinya jika ke-4 orang buta itu keras kepala dan mengklaim diri sebagai orang yang objektif dan profesional? Tentu saja terjadi perkelahian. Bahkan, kalaupun ada orang yang tidak buta menerangkan kepada mereka tentang definisi sebenarnya, tentu ke-4-nya juga akan menolak definisi tersebut. Padahal, kalau ke-4 orang itu mau menggabungkan ke-4 definisinya, bukan tidak mungkin mereka akan mendapatkan 50% sampai 70% kebenaran.

Mengapa tidak 100%? Karena kebenaran yang 100% adalah milik Allah. Wassalamu’alaikum.

Posted by Harlis Kurniawan  on  12/16  at  12:12 PM

sepenggal ungkapan dari ulil yang menyiratkan pemahaman “agnostisme” intelektual:

“....mungkinkah hal serupa terjadi di sana? Mungkinkah studi Islam di Indonesia berkembang lebih baik, karena para sarjana yang terlibat di sana mampu bersikap “agnostik” dan berjarak dalam menghadapi bidang studinya, sehingga bisa membuka sejumlah horison baru?”

setarikan napas dengan pikiran julien benda mengenai kenetralan intelektual.

pada hemat saya, yang terjadi dengan para produser pengetahuan (does it sound very marxian?) adalah bukan ketrampilan “membuat jarak” (atawa istilah ulil “berjarak"), melainkan ketrampilan mereka mengolah keterkaitan (attachment) si ilmuwan dan bidang yang digelutinya. untuk menambah nilai jual produknya, beberapa akademisi meyakinkan kliennya bahwa produknya tidak terkontaminasi oleh pamrih (bandingkan dengan gagasan julien benda). akan tetapi sikap semacam ini akan disenyumi oleh warga sekolahan marxian, yang kemudian akan menelisik the hidden agenda of the writing. dengan susah payah ulil mencoba menegaskan pentingnya sikap “agnostik” intelektual (sebagai suatu keniscayaan untuk menciptakan produk bermutu).

“Sebagai informasi, Kechia Ali bukanlah semata-mata seorang sarjana yang “dingin” dan “berjarak”, tetapi, dalam tingkat tertentu, dia juga seorang “aktivis” yang membela posisi “ideologis” tertentu. Ini terlihat dari kontribusi dia dalam Progresive Muslims yang diedit oleh Omid Safi, buku yang berisi kumpulan esai para intelektual Muslim yang membela suatu posisi Islam tertentu, yaitu posisi progresif. Tentu tak mudah bagi Kechia menjaga keseimbangan antara tuntutan dunia akademik di satu pihak, dan aktivisme politik di pihak lain. Saya melihat, sore itu, Kechia berhasil tampil penuh sebagai seorang sarjana yang melihat “fakta” secara agnostik dan berjarak.

bukankah lebih mudah untuk mengakui dan memberi peringatan (warning) kepada konsumer pembaca bahwa tulisannya bisa saja bias karena pengalaman dan alignment seseorang terhadap “sekolah pemikiran” (school of thought) tertentu?

dengan menyertakan pemahaman marxian mengenai “ideologi”, ungkapan “berjarak”, “agnostik intelektual” adalah juga suatu usaha untuk sembunyi dari skrutini keberpihakan.

tugas kesarjanaan, karenanya, tidak hanya: “membuka wilayah-wilayah baru dalam warisan yang sudah ada”, melainkan juga “membuka posisi pembuka (baca: sarjana) dan cara membuka wilayah wilayah baru dalam warisan yang sudah ada”.

Posted by yu senik  on  12/15  at  06:13 PM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq