Mengaji Teori Politik Ibn Khaldun - JIL Edisi Indonesia
Halaman Muka
Up

 

Diskusi
01/10/2009

Agresivitas Ashabiyyah: Mengaji Teori Politik Ibn Khaldun Reportase Tadarus Ramadan JIL, 28 Agustus 2009

Oleh Saidiman

Kedaulatan mengandaikan adanya otonomi diri individu. Sementara daulah dalam konsep Ibn Khaldun dan dunia Islam pada umumnya tidak mengenal individu. Jean Jacques Rousseau memberikan batasan tentang negara yang bisa disebut sosial kontrak jika ia betul-betul mencerminkan kehendak rakyat. Implikasi pandangan Rousseau ini bisa berujung pada dua bentuk sistem politik: demokrasi dan totalitarisme.

Pertanyaan tentang apakah teori ashabiyyah Ibn Khaldun memiliki relevansi dalam perdebatan teori-teori politik modern mengemuka pada tadarus Ramadan Jaringan Islam Liberal kedua, 28 Agustus 2009. Tadarus kedua ini menghadirkan Dr. Luthfi Assyaukanie (Jaringan Islam Liberal) dan Akhmad Sahal, MA (Pennsylvania University, AS) sebagai pembicara.

Pada dasarnya, menurut Luthfi, Ibn Khaldun menulis sejarah pada karya Muqaddimah. Namun begitu, teori-teori politik justru muncul dominan karena sejarah yang ditulis pada masa lalu hampir selalu adalah sejarah politik. Pada masa sebelum Ibn Khaldun, biasanya buku politik ditulis dalam bentuk buku fikih, misalnya al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya al-Mawardi. Di dalamnya terdapat petunjuk-petunjuk peraktis mengenai bagaimana seharusnya politik dijalankan. Di sisi lain, ada kelompok filsuf yang menulis politik dengan cita-cita negara ideal utopis. Ibn Khaldun menawarkan cara baca baru yang lebih realis.
Pilihan teori politik Ibn Khaldun yang lebih realis tampak konsisten dengan komitmen di awal buku Muqaddimah bahwa sejarah harus ditulis seriil mungkin. Sejarah harus dibedakan dari imajinasi dan harapan-harapan politik. Sejarah harus dibedakan dari dongeng dan keinginan sejarahwan mengglorifikasi sosok-sosok pelaku sejarah. Sejarah harus logis.

Kontrak Sosial dan Masalah Individualisme

Jika ditarik ke dalam konteks perdebatan politik modern, menurut Luthfi, teori Ibn Khaldun mengenai ashabiyyah bisa sejajar dengan konsep imagined communities, contract social, dan state of nature. Luthfi mengartikan ashabiyyah sebagai kumpulan klan, nasionalisme, solidaritas primordial, atau komunitas terbayang (imagined communities).

Social contract theory (teori kontrak sosial), menurut Luthfi, ditemukan dalam pemikiran Ibn Khaldun ketika Ibn Khaldun berbicara tentang baiah. Akhmad Sahal meragukan bahwa konsep baiah bisa diasumsikan sebagai teori kontrak sosial. Teori kontrak sosial yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes, Jean Jacques Rousseau, dan John Locke muncul dengan dasar kepentingan diri dan persetujuan. Bagi Sahal, kepentingan diri selalu terkait dengan perdagangan. “Apakah Ibn Khaldun mengandaikan prinsip perdagangan dalam konsep baiahnya?” tanya Sahal. Kepentingan diri absen dari teori baiah Ibn Khaldun ketika Ibn Khaldun mendefinisikan baiah hanya memiliki unsur pokok ketaatan (I’lam anna al-baiah hiya al-ahdu alã al-thã’ah).

Mengenai state of nature, Ibn Khaldun menekankan bahwa otoritas politik adalah sebuah ide bawaan yang mesti selalu ada pada manusia. Politik sebagai ide bawaan terkait dengan manusia sebagai makhluk sosial. Ibn Khaldun menulis: Anna al-basyara la yumkinu hayãtuhum wa wujudūhum illã bi ijtimãihim (manusia tidak mungkin hidup tanpa bermasyarakat). Dengan demikian, menurut Luthfi, Ibn Khaldun mengemukakan pendapat bahwa negara berangkat dari dorongan alamiah.

Akhmad Sahal memulai pembicaraannya dengan sejumlah pertanyaan. Konsep daulah sebagai kedaulatan, menurut Sahal perlu dipertanyakan lagi. Kedaulatan mengandaikan adanya otonomi diri individu. Sementara daulah dalam konsep Ibn Khaldun dan dunia Islam pada umumnya tidak mengenal individu. Jean Jacques Rousseau memberikan batasan tentang negara yang bisa disebut sosial kontrak jika ia betul-betul mencerminkan kehendak rakyat. Implikasi pandangan Rousseau ini bisa berujung pada dua bentuk sistem politik: demokrasi dan totalitarisme.

Pertanyaan yang lebih jauh adalah dimana individu dalam konsep ashabiyyah? Menurut Sahal, masa di mana Ibn Khaldun hidup, individu belum ditemukan. Dengan demikian, teori Ashabiyyah tampaknya memang tidak mengandaikan individu ada dalam sebuah masyarakat. Ashabiyyah hanya merupakan fakta sosial yang menenggelamkan semua kepentingan individu.

Ketiadaan konsep mengenai individu menjadikan teori politik Ibn Khaldun tidak memiliki relevansi dengan pandangan politik modern, yang justru berangkat dari perhatian utama terhadap individu. Konsep-konsep mengenai kedaulatan dan kontrak sosial modern mendasarkan diri pada kepentingan diri individu. Namun begitu, ketiadaan konsep individu memang adalah tren yang ada dalam pemikiran Islam.

Kawan-Lawan Schmittian

Akhmad Sahal kemudian menawarkan teori friendship (pertemanan) Carl Schmitt. Menurut Sahal, konsep ashabiyyah mungkin bisa dicari padanannya dalam pandangan Schmitt. Gagasan Schmitt, pada dasarnya, adalah kritik terhadap demokrasi dan liberalisme politik. Menurut Schmitt, liberalisme menjadi biang keladi melemahnya sebuah negara (saat itu Schmitt menunjuk Jerman sebagai contoh korban liberalisme). Dengan konsep netralitas, liberalisme tampak tidak punya posisi dan pegangan yang jelas. Lebih jauh, liberalisme yang mendasarkan diri pada individualisme secara langsung mengabaikan solidaritas perkawanan (friendship). Sementara solidaritas perkawananlah yang mendasari sebuah komunitas terbentuk. Problem negara liberal, menurut Schmitt, adalah netralitasnya.

Sampai pada konsep friendship, tampaknya Schmitt menyepakati teori Khaldun. Tetapi, teori friendship tidak hanya mengandaikan solidaritas perkawanan, melainkan juga pengandaian adanya musuh. Dengan mengandaikan adanya musuh, maka solidaritas ke dalam menjadi kuat. Lebih jauh, menurut Sahal, esensi politik sesungguhnya adalah kemampuan menarik garis mana kawan dan mana musuh. Pertanyaannya, apakah Ibn Khaldun juga mengandaikan adanya musuh dalam ashabiyyahnya?

Pertanyaan Sahal ini mengundang tanggapan beberapa peserta. Salah satu penanggap, Ulil Abshar-Abdalla (Gus Ulil) menyatakan bahwa sebenarnya dalam ashabiyyah tidak hanya terkandung unsur solidaritas, melainkan juga agresivitas. Sejarah yang dikemukakan Ibn Khaldun adalah sejarah di mana ashabiyyah menjadi perekat solidaritas yang kemudian dijadikan senjata invasi. Sejarah ashabiyyah adalah sejarah invasi.

Agresivitas di dalam ashabiyyah sangat mungkin dipahami sebagai pengandaian adanya musuh. Dalam sejarah Islam, dikenal pembagian wilayah, yakni wilayah damai (dãr al-salãm) dan wilayah perang (dãr al-harb).

Kalaupun harus dicari relevansi dalam teori-teori politik modern, Ibn Khaldun tampak sejalan dengan Carl Schmitt. Akan tetapi, teori politik Carl Schmitt kurang populer karena ia seolah membangkitkan kembali semangat tribalisme yang pelan-pelan ditinggalkan oleh praktik politik modern seperti demokrasi. 

01/10/2009 | Diskusi | #

Komentar

Komentar Masuk (2)

(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)

pada dasarnya kedaulatan seseorang pastilah berhubungan dengan faktor yang namanya politik, krn pada prinsipnya seseorang bisa bertahan dlm hidup juga krn politik hidup, bgmna kita bersosialisasi, berdagang (mencari nafkah) dan semua aspek kehisupan ini pasti memerlukan strategi politik

Posted by dj  on  03/30  at  09:21 AM

Khaldun mengobservasi city-state di Afrika Utara, daulah sudah menemukan bentuk nya 6 abad sebelumnya .  Adalah mustahil bila individu tidak ada harga, dan belum ditemukan, komitmen bersama adalah komitmen antar individu.

Posted by zul azmi sibuea  on  11/17  at  07:49 AM

comments powered by Disqus


Arsip Jaringan Islam Liberal ini dipersembahkan oleh Ahmad Abdul Haq